Mongabay.co.id

Bagaimana Nasib Warga Halmahera Selatan Pasca Gempa?

Gereja di Desa Jibubu, juga roboh, rata dengan tanah kena gempa. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indnesia

 

 

 

 

 

Hari itu, 14 Juli sekitar pukul 17.20, Hasyim Tomadehe, baru pulang dari kebun di Desa Jebubu, Kecamatan Gane Barat Selatan, Halmahera Selatan, Maluku Utara. “Mandi dulu karena badan terasa kotor setelah seharian bekerja,” kata lelaki 65 tahun ini.

Saat mandi, tiba-tiba terjadi guncangan. Awalnya, pelan tetapi beberapa detik kemudian goncangan sangat kuat   hingga merobohkan rumah. Kampung Jebubu, pun rata dengan tanah.

“Saya lari tanpa baju. Telanjang. Beruntung ada yang berteriak. Saya langsung menyambar sarung di tali jemuran samping rumah,” katanya.

Usai gempa, air laut sempat turun sekitar 50 centimeter. Bahkan, air seperti mendidih menyembur dari dalam tanah. Gempa begitu kuat hingga menyebabkan rekahan tanah di sepanjang pantai Desa Jebubu.

Baca juga: Kala Gempa Kekuatan 7,2 SR Guncang Halmahera

Frans Dokomine bercerita, ketika gempa berusaha menyelamatkan anak dan istri dari dalam rumah. Mereka selamat.

Dia berusaha mengambil barang dalam rumah. Tak disangka, gempa   begitu kuat hingga rumah roboh, rata dengan tanah. Frans masih di rumah. Tembok terasa menghantam lutut Frans hingga cidera serius. Tempurung lutut hampir terlepas.

“Diawali goyangan kecil, kuat begitu cepat. Mungkin tiga detik goyangan dahysat itu membuat rumah saya roboh. Rumah langsung ambruk. Sempat berusaha berdiri dan lari ke luar tapi kalah cepat. Tembok langsung runtuh menimpa lutut saya,” katanya.

Dalam kondisi cidera, tak ada yang menolong, orang-orang panik berlarian menyelamatkan diri. Frans berusaha keluar melalui celah dinding papan.

“Saya berusaha sekuat keluar dari reruntuhan, akhirnya ada warga menolong dan membawa saya mengungsi ke daerah agak tinggi. Besoknya, baru mendapat perawatan petugas kesehatan.”

Rumah Frans, tak hanya roboh, dapur juga hangus terbakar. Bahkan, ponakan laki-lakinya usia dua tahun, Andre,  alami luka bakar serius. Bayi itu sempat dirawat ke Rumah Sakit Umum Bacan di Labuha. Setelah sepekan Andre, mulai pulih dan pulang ke Jebubu.

“Saat kejadian, dia sedang tertidur,” kata Yosephine Dukomanie, neneknya.

Korban gempa juga terjadi di desa lain, seperti di Gane Barat Selatan, Joronga, Gane Timur dan Pulau Bacan bagian timur.

Mereka alami kerusakan bangunan, bahkan ada korban puluhan orang. Gempa Halmahera Selatan, korban meninggal 14 orang.

Meski begitu, data Posko Penanggulangan Bencana Gempa Bumi Halmahera Selatan, per 25 Juli 2019 menyebutkan, korban meninggal dunia ada 12 orang.

Data tim Gabungan Pos Komando dan Pos Lapangan Penanganan Darurat Bencana Gempa Halmahera Selatan menyebutkan, ada 66 desa di   Halsel terdampak gempa kekuatan 7,2 magnitudo. Puluhan ribu orang sempat mengungsi dan ribuan rumah rusak berat maupun ringan.

Rinciannya, 12 orang meninggal dunia, luka berat (34), luka ringan (95), 44.063 jiwa mengungsi, 1.565 rumah rusak ringan,  1.214 rusak berat. Ada 44 fasilitas umum rusak ringan dan 42 rusak berat. Kerugian materi karena gempa 14 Juli lalu itu diperkirakan lebih Rp300 miliar.

Helmi Botutihe, Penanggung Jawab Posko Penanggulangan Bencana Gempa Halmahera Selatan mengatakan, kerugian terbesar untuk rumah penduduk, dan fasilitas umum terutama 27 gedung sekolah.

“Juga, kerusakan jalan, jembatan, dermaga maupun fasilitas umum lain seperti mesjid dan gereja,” katanya, akhir Juli lalu.

Kerusakan rumah maupun fasilitas umum terbanyak di Gane Barat, Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan, Kepulauan Joronga, Bacan Timur Tengah, dan Bacan Timur Selatan.

“Pemkab Halsel, mengusulkan pembangunan infrastruktur melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Kami segera usulkan, karena ada jalan nasional maupun provinsi rusak.”

 

Perempuan dan anak di pengungsian di Desa Jibubu, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Berbagai kendala

Kondisi korban gempa di Halsel, memprihatinkan. Bantuan sulit sampai. Warga di Gane Dalam dan Gane Luar, memanfaatkan bahan pangan dari kebun-kebun mereka untuk bertahan hidup.

Torang kalau soal makan tak terlalu bermasalah karena masih ada pisang, kasbi (singkong-red) dan sagu, jadi masih bisa makan. Yang kami rasakan paling menderita adalah tenda pengungsian. Sampai hari kedua, masih ada warga duduk di alam terbuka karena tidak punya tenda,” kata Argaiya Sangaji, warga Gane Dalam.

Lelaki 67 tahun ini mengatakan, selama tiga hari kedinginan terutama malam hari. Pakai tenda seadanya, dan tanpa selimut.

Di Gane Dalam, pada hari ketiga bahkan ada warga berkelahi berebut terpal untuk tenda. “Dorang bakalae (berkelahi-red) berebut terpal karena tak semua orang dapat terpal untuk tenda,” kata Fadila, warga Gane Dalam.

Akses ke lokasi terdampak bencana begitu sulit hingga bantuan terkendala. Di Gane Luar, Kecamatan Gane Timur Tengah dan Gane Dalam Gane Barat Selatan, hingga hari ketiga belum mendapatkan sentuhan pelayanan karena tak ada akses jalan darat.

Warga rata- rata mengungsi ke ketinggian dengan jarak cukup jauh dari kampung. Di Desa Sekeli, Gane Barat Selatan, misal, saat gempa, mereka mengungsi sampai lima kilometer dari kampung.

Begitu juga di Desa Yamli, Gane Barat Selatan, warga mengungsi ke ketinggian di perkebunan sawit sekitar tiga kilometer dari kampung. Di Gane Luar, warga mengungsi sekitar 1,5 kilometer dari desa.

Meski begitu, ada juga warga beberapa desa mengungsi tak jauh dari kampung. Di Gane Dalam, warga mengungsi ke lapangan sepak bola di ketinggian di desa itu.

Warga dengan kampung rusak parah, sampai saat ini masih bertahan di pengungsian. Siang hari, kembali ke rumah tetapi malam hari tidur di pengungsian. Mereka khawatir, gempa susulan hamper setiap saat mengancam jiwa.

Kalau bertahan di rumah yang sebagian besar hancur, warga terpaksa tidur di teras sambil berjaga jaga kalau terjadi gempa.

Kondisi kesehatan pengungsi juga memperihatinkan. Dukungan sanitasi   seperti tempat mandi, cuci dan toilet serya air bersih, terbilang minim.

Informasi terakhir dihimpun Mongabay, ada beberapa fasilitas MCK (mandi, cuci dan kakus) di tempat pengungsian dibuat pemerintah daerah. Sejauh ini, belum semua lokasi pengungsian memperoleh MCK memadai.

Masalah lain, tempat pengungsian tak memiliki dapur umum maupun posko kesehatan memadai. Beberapa tempat pengungsian yang saya datangi, tak ada dapur umum atau posko kesehatan.

 

Kondisi kerusakan bangunan di Desa Gane Luar, Kecamatan Gane Timur Tengah. Foto: Soleman/ Mongabay Indonesia

 

Petugas kesehatan berkeliling memberikan pelayanan. Warga terpaksa berusaha memenuhi kebutuhan makan dan lain-lain sendiri.

Di Desa Jibubu, Gane Barat Selatan, warga berharap ada petugas kesehatan di posko Gane Dalam yang berjarak sekira empat kilometer.

Di desa ini, sebenarnya ada bidan dan dokter Puskesmas. Bidan Desa Jibubu, telah meninggalkan desa sehari pasca gempa, dan dokter di Puskesmas Gane Dalam, sedang hamil.

”Kami tidak bisa berharap kepada siapapun untuk berobat. Bidan yang membantu mengobati warga juga sudah pergi ke Bacan, bersama keluarganya. Kalau dia kembali masyarakat akan menolak karena saat warga menderita dia pergi cari selamat sendiri,” kata Yunias Wogo Wogono, warga Jibubu.

Persoalan lain, akses menjangkau wilaya-wilayah terdampak bencana. Sebut saja, pendistribusian bantuan untuk korban seperti bahan makanan dan obat-oabatan terhambat karena transportasi sulit.

Akses transportasi ke daerah terdampak di Gane Barat, Gane Barat Selatan hingga Joronga, hanya dengan transportasi laut. Mobilisasi bantuan sampai ke Gane Timur, Gane Timur Tengah dan Gane Timur Selatan, pakai kapal.

Dari Gane Dalam, bantuan diangkut lagi pakai mobil agar bisa sampai ke wilayah-wilayah terdampak. Kesulitan akses jalan membuat biaya pengangkutan mahal.

Untuk mengangkut bantuan ke Gane Timur Tengah dan Selatan dari Ternate, bisa dengan kapal atau gunakan truk   penyeberangan dengan kapal fery. Lalu, menuju Gane Timur ke Gane Barat dan dibongkar di Saketa, sebagai posko lapangan.

Begitu juga bantuan dari Labuha, Bacan, harus menggunakan kapal dari Babang, menyisir Gane Barat, Gane Barat Selatan hingga Gane Timur Selatan dan Gane Timur Tengah.

Bantuan yang sampai ke posko lapangan di Saketa, didistribusi lagi pakai kapal ke daerah yang terdampak gempa. Ada juga yang mendistribusi dengan truk atau mobil dengan kondisi jalan sangat buruk.

Distribusi ke Gane Barat Selatan dan Kepulauan Joronga— menjangkau beberapa desa di Pulau Joronga hingga ke Gane Barat Selatan–, pakai kapal. Pengangkutan melalui transportasi laut ini hingga lama sampai ke lokasi dan biaya cukup mahal.

Kebanyakan bantuan perorangan didistribusikan melalui alat transportasi angkutan kapal regular yang melayari kawasan ini. Sedang bantuan pengungsi dari pemerintah ada pakai beberapa kapal dari Pemerintah Halsel dan Malut.

Untuk bongkar muat bantuan juga terasa sulit dan lambat karena pelabuhan laut di desa–desa terdampak hampir semua hancur. Kapal sulit sandar

Saking sulitnya. ada penyumbang bantuan korban gempa di Bacan, Gane Barat dan Gane Timur, harus menyalurkan hanya sampai ke posko lapangan di Saketa. Tak pelak, terjadi penumpukan bantuan di Saketa, beberapa hari pasca bencana.

Saat Mongabay, menyambangi Seketa, sempat ada penolakan bantuan masuk ke posko penuh. Petugas Posko lantas meminta dibuat berita acara serah terima dan didistribusikan langsung ke lokasi bencana.

“Kami mungkin tidak bisa menampung lagi bantuan karena di posko juga bantuan penuh. Naik turun dari kapal habis itu naik lagi ke kapal atau truk.”

“Kami aparat saja tidak mampu, apalagi warga terkena musibah gempa tidak mungkin kita paksa ikut membantu mengangkut naik turun barang di kapal maupun truk. Mereka juga di pengungsian,” kata Kem Hay, petugas posko di Pelabuhan Saketa, sepekan pasca bencana.

Ada juga distribusi bantuan menggunakan kapal laut berukuran sedang dengan daya angkut 160-170 gross ton. Kapal ini   jadi alat angkutan regular yang melayari rute Gane Barat, Gane Barat Selatan dan Pulau Joronga.

Belum lagi akses komunikasi juga sulit. Di daerah-daerah terdampak gempa seperti Gane Dalam, Gane Luar, akses komunikasi minim. Beberapa daerah di Gane, tak ada akses komunikasi. Untuk mendapatkan jaringan telpon, warga harus naik ke gunung dari kampung berjarak sekitar tiga km.

Dari sana, mereka mencari tempat yang bisa mendapatkan sinyal telepon, selajutnya bisa menelpon menyampaikan informasi ke luar. Di Gane Dalam, sampai saat ini belum ada tower jaringan telpon selular. Padahal, Gane Dalam adalah ibu kota kecamatan Gane Barat Selatan.

Di Gane Luar, sebelum gempa ada akses telepon selular, setelah gempa jadi sulit. Untuk mengakses informasi atau memberi kabar kepada sanak keluarga, harus mencari tempat di ketinggian.

 

Rumah warga di Desa Jibubu yang hancur rata dengan tanah dihantam gempa. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indoensia

 

 

Perlu dukungan provinsi dan pusat

Masa tanggap darurat bencana gempa bumi di Halsel, sempat diperpanjang selama satu minggu , setelah tahap pertama, resmi berakhir Senin (28/7/19).

Sebelumnya, Pemerintah Halsel melalui Wakil Bupati Iswan Hasyim beralasan , perpanjangan tanggap darurat itu karena masih terjadi gempa susulan yang membuat warga panik dan takut kembali ke rumah. Selain itu, agar pengungsi dapat tertangani dengan baik sampai pulih.

“Kami   masih perpanjang satu minggu agar kondisi bisa pulih di tanggap darurat biar masyarakat dapat tertangani dengan tuntas,” kata Iswan.

Kini, tanggap darurat tahap kedua sudah berakhir. Proses penanganan beralih ke tahap transisi dan rehabilitasi rekonstruksi korban gempa.

Iswan, melalui siaran pers mengatakan, akan berkoordinasi soal persiapan peralihan komando dan pengendalian dari Satgas Penanggulangan Bencana Alam kepada pemerintah daerah.

Selain itu, akan ada sinkronisasi data satgas hingga pemerintah daerah dapat meneruskan sesuai pola yang terbentuk oleh satgas. “Ada rencana mengalihkan posko dari Saketa ke Labuha, hingga memudahkan.”

Ketika ditemui di Bacan, Iswan mengatakan, kesulitan memenuhi semua kebutuhan penanganan pasca bencana. Mereka sangat memerlukan dukungan pemerintah provinsi dan pusat.

Pemerintah Halsel, katanya, sudah kewalahan, terutama penyediaan logistik bagi pengungsi. Dia khawatir, wabah penyakit karena sanitasi buruk di pengungsian.

“Kita mengalami keterbatasan logistik dan lain-lain. Penanganan sangat panjang. Kami khawatir karena kemampuan pemerintah daerah terbatas. Kami sangat harapkan ada ada bantuan dari provinsi dan pusat lebih cepat,” katanya.

Baginya, tak hanya soal logistik tetapi persoalan lingkungan dan kesehatan bagi warga. Mereka di pengungsian dalam waktu cukup panjang akan rentan berbagai penyakit.

“Jika tidak tertangani dengan baik, bisa saja ada wabah penyakit yang dampak lebih dahsyat lagi.”

 

Belajar mengajar terhenti, perlu sekolah darurat

Sementara soal pendidikan, dengan berbagai fasilitas seperti sekolah rusak hingga memerlukan sekolah darurat.

“Kami juga sudah menyampaikan ke dinas terkait segera meminta ke guru dan kepala sekolah segera mengaktifkan belajar mengajar. Misal, membangun sekolah darurat bagi anak-anak,” katanya, misal, dengan pakai tenda BNPB. Informasi dari di lapangan, sampai saat ini aktivitas pendidikan belum berjalan sama sekali.

Memasuki minggu ke empat bencana, belum ada kegiatan belajar mengajar. Ada 38 desa dari 10 kecamatan di Halsel memerlukan sekolah darurat.

Data Dinas Pendidikan Kalsel menyebutkan, sarana sekolah perlu penanganan 44 SD, 20 SMP dengan 5.644 siswa.

Di SDN Gane Luar dan Gane Dalam, misal, gedung sekolah mereka tidak bisa digunakan lagi. Sebagian gedung rata dengan tanah, sebagian retak dan terancam roboh. SD Gane Luar,    rata dengan tanah. Di Gane Dalam, ruang kelas terancam roboh hingga tidak bisa terpakai lagi.

Para siswa belum bisa bersekolah. Mereka bertahan di tenda-tenda pengungsian. Anak- anak juga masih trauma dan takut kembali ke rumah.

“Kami berharap pemerintah daerah segera membangun sekolah darurat atau mendatangkan tenaga pengajar di pengungsian yang tersebar di sejumlah desa di Kalsel,” kata Naima Daud, orangtua siswa di Desa Jibubu.

Naser Rasyid, Kepala Sekolah Dasar Negeri Pasipalele dihubungi Mongabay menyatakan, aktivitas sekolah belum bisa berjalan karena sekolah rusak parah. “Kita sangat butuh sekolah darurat,” katanya. Dia setuju kalau sekolah darurat pakai tenda bantuan untuk pengungsi dari BNPB.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Maluku Utara bakal menggandeng Dinas PUPR dengan membentuk tim inventarisir sekolah rusak.

Imran Yakub, Kepala Dikbud Maluku Utara, menyatakan, sebagian dinding sekolah SMA di Halsel retak. Pemkab Halsel juga berjanji mengupayakan relokasi rumah warga rusak di sejumlah daerah, seperti, Desa Gane Dalam, Desa Yomen dan Desa Jibubu.

Di Desa Jibubu, warga meminta relokasi. “Kami rasa desa ini sudah tidak layak hingga harus relokasi. Saat gempa terjadi retak cukup panjang di dalam kampung. Saat gempa, air menyembur dari dalam tanah, seperti ada mata air. Kami takut bisa terjadi seperti di Palu,” kata Hasyim Tomadehe, warga Jibubu. Kondisi Kampung Jibubu, luluh lantak.

 

Keterangan foto utama:  Gereja di Desa Jibubu, juga roboh, rata dengan tanah kena gempa. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indnesia

Kondisi rumah warga Gane Dalam yang rusak parah. Foto: Husen Allhadar/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version