Mongabay.co.id

Cerita Warga Setahun Pasca Gempa Lombok

Petani Sembalun beraktivitas di sawah mereka. Setahun setelah gempa, pertanian Sembalun tidak terlalu terpengaruh oleh gempa. Sementara pariwisata mati suri selama setahun. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

Kabut belum sepenuhnya hilang dari Sembalun, Lombok Timur, ketika Arifin dan istrinya, Ulma, bersama putra mereka bergegas ke sawah. Membawa kantong keresek kecil, sabit, pisau, hanya mengenakan baju kaos, mereka melawan dingin.

Pagi itu, udara Sembalun sekitar 13 derajat celcius. Keluarga ini panen seledri. Seledri mereka tanam di sepetak lahan mulai panen. Pekan ini, panen kedua. Mereka juga panen stroberi.

Baca juga: Warisan Leluhur Selamatkan Warga Adat di Lombok ini dari Gempa

Pada Sabtu dan Minggu, ratusan wisatawan datang ke Sembalun. Peluang bagi mereka menjual stroberi. Seledri dijual di pasar tradisional Sembalun, dibeli pengepul, lalu dibawa ke Pasar Paok Motong dan Pasar Mandalika, Kota Mataram. Satu kilogram seledri Rp9.000–Rp19.000.

Di lahan sekitar itu juga, petani lain sibuk menata bawang yang dikeringkan. Ada juga menyemprot tanaman bawang. Mereka hanya bertegur sapa ketika berpapasan. Mereka tak ada berbicara tentang, setahun silam.

Perbincangan gempa hanya terjadi di warung kopi, kantor pemerintah, dan penginapan. Ketika saya berkunjung ke Sembalun, dua pekan lalu, perbincangan didominasi kemungkinan gempa lagi. Apalagi baru-baru ini, terjadi gempa di Maluku Utara, dan Bali.

Baca juga: Belajar dari Gempa Lombok, Daerah Rawan Perlu Kesiagaan Bencana

Pada 29 Juli 2018, gempa berkekuatan 6,4 SR mengguncang Lombok, Nusa Tenggara Barat. Gempa Minggu pagi itu berdampak ke Kecamatan Sembalun dan Sambelia (Lombok Timur), dan Kecamatan Bayan (Lombok Utara).

Arifin dan Ulma, ingat betul ketika gempa terjadi 29 Juli 2018. Saat itu, mereka akan panen seledri dan stroberi. Wisatawan sedang ramai.

 

Grafis perkembangan rekonstruksi pasca gempa di Nusa Tenggara Barat. Sampai tanggal 26 Juli 2019, 53.113 unit rumah yang sudah diselesaikan. Foto: BPBD NTB/Mongabay Indonesia

 

Sepanjang Juni–September, puncak pendakian Gunung Rinjani, melalui Jalur Sembalun. Banyak wisatawan, berarti banyak penginapan terisi. Arifin dan Ulma, tak perlu repot jauh-jauh menjual hasil panen mereka.

Kali ini, berbeda.“Tidak seramai dulu,’’ kata Arifin.

Arifin bilang, bukan pelaku usaha tetapi petani. Ketika krisis karena gempa berulang-ulang, keluarga mereka mampu bertahan. Hasil tani mampu membiayai kehidupan.

Berbeda dengan warga Sembalun, yang mengandalkan pendapatan pada sektor pariwisata. Usaha tiarap. Arifin bersyukur, lahan tani mampu menopang keperluan keluarga.

Arifin yakin, di tengah krisis, sektor pertanian paling tangguh. Dia berharap, pemerintah tak melulu memerhatikan sektor pariwisata Sembalun, juga pertanian.

“Kami mampu bangun rumah rusak dari hasil sawah,’’ katanya.

Arifin, salah satu korban gempa dengan rusak berat. Rumah lama menyisakan pondasi. Dia membangun rumahn semi permanen dari uang pribadi.

Proses pencairan bantuan rumah berbelit, membuat Arifin tak mau menunggu. Dia tak tahu bagaimana ke depan, uang akan diganti atau tidak atau justru dapat rumah baru. Dana bantuan Rp50 juta untuk korban rusak berat, hanya boleh untuk membangun rumah, tak nisa ambil uang.

 

***

Pada awal rekonstruksi gempa, semua berbicara tentang bencana. Berbagai organisasi perangkat daerah (OPD) berbicara tentang mitigasi. Bahkan, di tengah perjalanan, gubernur-wakil gubernur NTB yang dilantik pada September 2018, jadikan mitigasi bencana salah satu program unggulan, lewat tagline NTB tangguh.

Tidak ada perbincangan di OPD yang tak memasukkan mitigasi bencana. Iklan-iklan di media massa, berita massa lokal, tak pernah absen berbicara tentang mitigasi.

Semua perbincangan itu runtuh ketika Maret 2019, terjadi guncangan gempa. Dua orang wisatawan Malaysia meninggal dunia di tempat wisata. Satu orang pemandu wisata juga tewas. Belasan lain luka parah. Publik sadar, apa yang menjadi wacana mitigasi bencana itu sebatas kertas. Belum ada standar prosedur operasi di tempat-tempat wisata ketika bencana. Begitu juga di Sembalun.

Setahun setelah gempa, saya melihat, Puskesmas Sembalun– terletak di Desa Sembalun Bumbung— satu-satunya rujukan hingga kini belum diperbaiki. Atap jatuh. Tembok retak. Beberapa bagian rusak karena gempa setahun lalu belum tersentuh. Para petugas kesehatan masih melayani pasien di puskesmas darurat tu.

Juni lalu, pemerintah resmi membuka jalur pendakian Rinjani melalui Sembalun. Pendakian yang dibuka dibatasi, karena kondisi belum stabil. Pengunjung dilarang naik puncak dan turun ke Danau Segara Anak. Pembukaan pendakian berarti membuka ingatan setahun silam, saat banyak wisatawan terjebak di Rinjani, puluhan terluka, dan harus dirujuk ke RS Selong, melewati jalur Sembalun yang terjal.

Tak ada juga petunjuk atau jalur evakuasi andai terjadi bencana di Sembalun, baik gempa maupun gunung meletus. Jalur-jalur evakuasi yang pernah dibuat beberapa tahun silam, tak juga diperbaharui.

Padahal, dalam waktu dekat ini, Sembalun jadi tuan rumah Asia Pacific Geoparks Network Symposium. Sebagai salah satu geopark dunia, Rinjani adalah laboratorium hidup. Tema besar APGN kali ini, tentang mitigasi bencana. Sayangnya, tanda-tanda mitigasi belum terlihat di Sembalun.

 

Rumah warga, sebagian belum jadi, di Sajang, Kecamatan Sembalun Lombok Timur. Sembalun, merupakan daerah yang terkena dampak para pada gempa 29 Juli 2018. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Kusnadi, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Nusa Tenggara bilang, masa setahun setelah gempa ini mestinya semua yang berkaitan desain besar mitigasi bisa tuntas. Proses rekonstruksi dan rehabilitasi pun, memerhatikan mitigasi itu.

Kusnadi ingat, bulan kedua setelah gempa, KPUPR merilis kondisi daerah-daerah rawan buat permukiman. IAGI, sudah sering berbicara tentang proses rekonstruksi dan rehabilitasi itu memerhatikan kondisi. Fakta di lapangan, bebeberapa daerah ‘merah’ untuk pembangunan rumah justru masih tak ada perubahan. Padahal, daerah itu masuk kategori merah atau rawan.

Wacana dulu, setiap kompleks permukiman ada jalur evakuasi. Pengalaman di beberapa titik gempa, banyak korban jiwa. Korban selamat keluar dari rumah mereka justru tertimpa tembok tetangga.

Rumah sempit, tak ada jalur evakuasi rawan jatuh korban. Pemerintah, katanya, bisa mengintervensi selama proses rekonstruksi. Sebelum mendirikan rumah, harus jelas dulu mitigasi. Rumah saat ini diklaim bisa tahan gempa, katanya, tetapi bukan jaminan tidak bermasalah kemudian hari. Jalur evakuasi dan prosedur penyelamatan, katanya, harus masuk rekonstruksi.

Begitu juga kantor pemerintah, sekolah, fasilitas kesehatan, harus memerhatikan mitigasi itu. Di beberapa kantor pemerintah, setelah gempa, ada dipasang tanda panah jalur evakuasi. Menurut Kusnadi, tanda itu belum cukup. Masyarakat, katanya, harus terlatih siap menghadapi bencana.

Dia bilang, mengajarkan soal bencana bukan berarti menakut-nakuti, tetapi dengan pengetahuan lebih bagus, masyarakat tahu apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana, dan bisa waspada.

“Dulu, ketika saya jelaskan tentang potensi tsunami di Kota Mataram, banyak kaget dan bertanya. Panik. Mereka mengaku lebih lega setelah saya jelaskan. Artinya, selama ini masyarakat tak tahu ancaman bencana di daerah mereka,’’ kata Kusnadi.

Dia bilang, ingatan masyarakat tentang bencana sangat pendek. Mereka cepat lupa dan abai. Saat ini, ketika bencana masih menjadi isu utama di NTB, pemerintah harus mengambil kebijakan strategis. Soal mitigasi, katanya, tak wacana semata, tetapi mesti terimplementasi.

Kusnadi juga mengusulkan, pemerintah membuat semacam museum bencana berisi semua “peninggalan” dampak bencana di NTB. Barang-barang tersisa dari gempa Lombok, bangunan rusak, foto-foto, video, kliping berita, semua dikumpulkan di satu tempat. Bila perlu, di desa-desa dibangun semacam tugu peringatan atau museum mini.

“Ini untuk mengingatkan anak cucu, pernah bencana di daerah kita.”

 

Pekerja membangun rumah korban gempa di Sembalun Lombok Timur. Bantuan uang dari pemerintah pusat bagi korban gempa hanya boleh membangun rumah tahan gempa. Pembangunan itu diawasi ketat oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Rumah tahan gempa

Karyadi, warga Dusun Bual, Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, mendapat kerjaan jadi porter pendakian Gunung Rinjani pada Juli 2018. Rupiah dari upah membawakan barang pendaki sudah dia bayangkan. Kalau pendaki naik ke puncak, dengan pendakian 4-3 malam, duit bersih Rp1.000.000, sudah siap dia bawa pulang. Karyadi menyiapkan perlengkapan pribadi dan keesokan hari berangkat menuju Senaru, pintu pendakian Rinjani.

Sembari menunggu ada tamu, dia menyiapkan semua perlengkapan pendakian dari tenda, sleeping bag, kompor, dan logistik selama pendakian. Semua bahan masuk dalam dua keranjang yang dihubungkan oleh sebatang bambu seukuran lengan orang dewasa. Ciri khas porter pendakian Rinjani adalah memikul semua barang bawaan, seperti memikul bibit padi.

Minggu subuh, Karyadi bersiap mendaki. Bersama para porter Senaru dan pendaki, dia melangkah. Beban berat di pundak, dingin menusuk tak dia hiraukan.

Belum melangkah jauh, tiba-tiba bumi berguncang. Para pendaki panik, termasuk Karyadi. Karyadi sudah terbiasa merasakan gempa, tetapi skala kecil. Karyadi teringat anak istri di rumah dan membatalkan pendakian, langsung menuju rumah.

Lutut Karyadi lemas lihat rumah rata dengan tanah. Dia tegar kala melihat, istrinya, Nursilip dan tiga anaknya selamat.. Saat gempa mereka sedang di luar rumah.

“Memang tidak ada batang besi rumah kami,’’ kata Karyadi.

Rumah itu dibangun bertahap, mengandalkan penghasilan sebagai porter. Pada 2013, Pemerintah Lombok Utara, memasukkan nama Karyadi sebagai warga layak mendapatkan bantuan bedah rumah.

Ketika mendapatkan bantuan perbaikan rumah, Karyadi tak ada petunjuk maupun pendampingan. Dia hanya menandatangani beberapa berkas, beberapa hari kemudian material tiba. Walaupun janji 1.000 biji bata, Karyadi hanya menerima 700 biji. Dia tak tahu tempat dan cara mengadukan masalah itu. Baginya, walaupun jumlah tidak sesuai, yang penting dia mendapat bantuan cuma-cuma.

Tetangga Karyadi, Siartino, juga demikian. Pada 2016, dia mendapatkan bantuan bedah rumah dengan terima bata lebih banyak, 2.000. Dia menandatangani sejumlah dokumen, setelah dihitung kembali bata yang sampai ke rumah hanya 1.800.

Dia mendapatkan bantuan semen dan seng. Sama seperti Karyadi, dia merogoh kocek agar bisa membangun rumah lebih besar. Rumah besar tanpa tulang dan pondasi yang kokoh itu bernasip sama pada Minggu pagi, 27 Juli 2018, rata dengan tanah.

Ada 67 keluarga mendiami Bual, dusun terakhir di Desa Bayan, berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Jalan menuju dusun ini baru dua tahun ini dirabat. Rumah warga berkelompok, tidak dalam satu kompleks.

Mulyana, Kepala Dusun Bual mengatakan, bantuan bedah rumah masuk tiga kali ke dusun itu. Pertama pada 2013, 2016, dan 2017. Mulyana belum menjabat ketika bantuan tiba.

Menurut dia, ketika bantuan bedah rumah turun, tak ada penyampaikan tentang standar rumah yang akan dibangun. Masyarakat hanya dilarang mengurangi volume dari yang disyaratkan, kalau menambah dengan dana pribadi dianjurkan.

Tak ada penjelasan tentang kawasan tempat tinggal mereka itu rawan gempa, tak ada penjelasan standar rumah tahan gempa.

Kondisi di Bual ini, merupakan gambaran dari pengawasan buruk pemerintah terhadap program bantuan yang mereka salurkan. Ukuran keberhasilan program adalah, ketika warga membangun rumah. Apalagi, kalau warga membangun rumah lebih besar dari rencana.

Pada 22 Juni 2013, Lombok Utara, diguncang gempa berkekuatan 5,4 SR. Daerah paling terkena dampak Kecamatan Tanjung. Desa paling parah Desa Sokong, Medana, dan Sigar Penjalin. Jumlah korban terdampak 29.045 jiwa (8.432 keluarga).

Rumah rusak berat 1.319, rusak sedang 2.660, dan rusak ringan 8.355. Dari ribuan rumah rusak saat itu adalah yang baru mendapat bantuan bedah rumah.

Pengamatan saya pada 2013, rumah roboh adalah yang tak memiliki tulang dan tak berkolom. Rumah bahan lebih banyak batako. Justru rumah, semi permanen maupun rumah berdinding bambu utuh. Ia bisa terlihat juga dari kompleks-kompleks perkampungan tradisional di Lombok Utara, yang masih mempertahankan rumah berdinding bede atau bambu, tak sedikit pun rusak karena gempa. Begitupun gempa 2018, rumah-rumah di perkampungan tradisional itu berdiri tegak.

Rumah-rumah warga rusak berat pada gempa 2018, memiliki ciri sama dengan rumah rusak berat saat gempat 2013, tak memilili tulang, tak berpondasi kuat, batako, dan sama-sama rumah bantuan bedah rumah.

Tak ingin terulang, pembangunan rumah pasca gempa 2018, berdesain rumah tahan gempa (RTG). Ia sudah teruji dalam berbagai percobaan. Yang jadi masalah, RTG berupa tiang beton dan tembok bata. Warga masih trauma.

“Awalnya, memang terasa repot, tapi dalam proses bisa berjalan lancar. Apalagi setelah ada beberapa pilihan jenis rumah. Intinya, rumah tahan gempa,’’ kata Ahsanul Khalik, Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB.

Masyarakat yang tergabung dalam kelompok masyarakat rapat menentukan jenis rumah mereka. Didampingi fasilitator, mereka merancang semua, termasuk fasilitator mengasistensi. Setelah itu, barulah pengajuan bahan ke aplikator. Bahan diberikan, uang dalam rekening bisa cair bertahap sesuai pengerjaan.

Proses ini terkesan berbelit, tetapi,kata Khalik, dengan tahapan berjenjang memastikan rumah yang dibangun benar-benar sesuai. Jangan sampai, katanya, hanya ingin mengejar kecepatan, rumah tak tahan gempa.

“Setiap hari tim kami turun memastikan.”

Ketika ada bangunan asal-asalan, fasilitator dan pengawas memerintahkan untuk membongkar, dan memperbaiki sesuai standar.

“Beberapa temuan yang tak bagus kualitasnya diganti, dibongkar,’’ kata Khalik, seraya bilang, juga aplikator nakal, pemerintah bertindak tegas.

BPBD menyerahkan, ke aparat penegak hukum kalau ada yang bermain, seperti mengurangi volume atau kualitas. Bukan hanya soal dana, juga keselamatan penghuni.

 

Keterangan foto utama:

Petani Sembalun beraktivitas di sawah mereka. Setahun setelah gempa, pertanian Sembalun tidak terlalu terpengaruh oleh gempa. Sementara pariwisata mati suri selama setahun. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

Exit mobile version