Mongabay.co.id

Pahlawan Konservasi: Wawancara dengan Rangkong Indonesia

Tidak mudah mengungkap sindikat perburuan enggang gading ini, butuh kerja keras untuk membongkarnya. Foto: Yokyok Hadiprakarsa

 

 

Dengan paruh menawan, bulu warna-warni, suara parau, dan perilaku unik, rangkong bisa dikatakan salah satu kelompok burung paling kharismatik di daerah tropis. Rangkong ditemukan luas di seluruh wilayah tropis Afrika dan Asia-Pasifik, namun tidak ada negara yang memiliki lebih banyak spesies ini selain Indonesia, 13 jenis. Di Indonesia, Pulau Sumatera ada 9 spesies, diikuti Kalimantan.

Keberlangsungan hidup rangkong di Indonesia terancam akibat perusakan habitat. Daerah hutan hujan yang luas ditebangi untuk perkebunan dan pertanian, sementara banyak hutan tersisa terkena dampaknya, sementara sumber kehidupan rangkong seperti makanan dan tempat tinggal sangat bergantung pada pepohonan di hutan hujan tropis.

Beberapa spesies juga menjadi target perdagangan satwa liar, yang paling terkenal, rangkong gading [Rhinoplax vigil], yang paruhnya padat [tonjolan mencolok di atas paruh] yang sering disebut “gading rangkong” sangat dicari di China.

 

Enggang Cula di Indonesia. Foto: Rhett A. Butler

 

Berkurangnya populasi rangkong memberikan dampak nyata dan signifikan terhadap kondisi hutan di Asia, karena rangkong penebar benih yang sangat penting di ekosistem. Ketika mereka hilang, fungsi ekologis ekosistem hutan terdegradasi.

Bahkan sampai saat ini, penurunan populasi rangkong di Indonesia relatif kurang diperhatikan. Tetapi, hal itu berubah pada 2013 ketika Yokyok “Yoki” Hadiprakarsa, pendiri Lembaga Konservasi Rangkong Indonesia, yang lebih dikenal Rangkong Indonesia, menerbitkan laporan yang memperkirakan perdagangan satwa liar telah membunuh 500 ekor rangkong gading hanya dalam sebulan di Kalimantan Barat saja. Temuan itu mengejutkan dan mendesak LSM serta Pemerintah Indonesia untuk bertindak.

Hari ini, Rangkong Indonesia merupakan salah satu organisasi terdepan yang bekerja pada konservasi rangkong di Indonesia. Dalam kunjungan Mongabay baru-baru ini ke Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Mongabay berkesempatan pergi dengan Dian Hardiyanti dari Rangkong Indonesia ke salah satu proyek LSM ini, bersama komunitas Dayak Iban di Sungai Utik. Dalam kunjungan tersebut, Mongabay juga mewawancarai pendiri Rangkong Indonesia, Yoki Hadiprakarsa.

 

Dian Hardiyanti. Foto: Rhett A. Butler

 

Yoki Hadiprakarsa di lapangan. Foto: Rangkong Indonesia

 

Wawancara dengan Dian Hardiyanti dan Yokyok Hadiprakarsa

Mongabay: Apa latar belakang Anda dan bagaimana mulanya bekerja untuk pelestarian rangkong?

Dian: Latar belakang pendidikan saya adalah Sarjana Ilmu Sains di Universitas Pakuan, Bogor. Hasrat saya bekerja untuk pelestarian lingkungan membuat saya melakukan penelitian tentang perdagangan penyu ilegal untuk tesis akhir saya.

Setelah menyelesaikan studi, saya bertemu Yoki yang mengundang saya bergabung dengan proyek penelitian rangkong yang sangat ambisius ini, yaitu mengenai penilaian populasi rangkong di Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Saya pikir ini akan menjadi kesempatan berharga untuk meningkatkan pemahaman saya dan memperluas pengetahuan sebagai peneliti dan ahli konservasi.

 

Julang Jambul-hitam [Rhabdotorrhinus corrugatus]. Foto: Rangkong Indonesia/Aryf Rahman

 

Julang Emas [Rhyticeros undulatus]. Foto: Rangkong Indonesia/Riki Rahmansyah

 

Yoki: Saya memiliki passion terhadap alam, itulah sebabnya saya mengambil pendidikan sebagai ahli biologi hidupan liar sebagai jalur hidup. Pada 1999, saya menerima beasiswa penelitian dari Wildlife Conservation Society – Indonesia Programme [WCS-IP] dan menghabiskan satu tahun penuh menyelesaikan penelitian sarjana tentang rangkong di Stasiun Penelitian Way Canguk, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Sumatera.

Tahun yang sama, saya juga memulai pemantauan jangka panjang rangkong di sana, yang membuat saya ditugaskan oleh WCS-IP sebagai ahli biologi hidupan liar junior. Setelah lulus tahun 2000, saya memiliki peluang besar mempresentasikan penelitian rangkong pertama saya di Konferensi Rangkong Internasional (IHC) ke-3 di Thailand. Ini menjadi pencapaian besar saya karena pengalaman inilah yang mengungkap dan memperkenalkan saya pada komunitas rangkong internasional.

Tahun-tahun awal karir profesional, saya menghabiskan sebagian besar waktu di stasiun penelitian, memantau populasi dan pemulihan rangkong. Pada 2004, saya mendapat kesempatan khusus melakukan survei rangkong di seluruh Provinsi Sumatera Selatan. Kemudian, penelitian ini digunakan untuk tugas pascasarjana saya di Sekolah Kehutanan dan Sumber Daya Alam Warnell di Universitas Georgia, Amerika Serikat.

Pada Konferensi Rangkong Internasional ke-4 di Afrika Selatan, saya ditunjuk sebagai wakil ketua untuk Jaringan Rangkong Asia. Saat ini, saya adalah anggota Steering Committee Kelompok Spesialis Rangkong IUCN-SSC dan Koordinator Penelitian Kelompok Kerja Rangkong Gading. Di tingkat nasional, saya baru-baru ini ditunjuk sebagai Ketua Kemitraan Nasional Konservasi Rangkong.

 

Yoki Hadiprakarsa di lapangan. Foto: Rangkong Indonesia/Nanang Sujana

 

Enggang Cula. [Buceros rhinoceros]. Foto: Rangkong Indonesia/Riki Rahmansyah

 

Mongabay: Aktivitas apa saja yang Anda lakukan? Dan seperti apa keseharian Anda?

Dian: Saya seorang peneliti di Rangkong Indonesia. Saya fokus pada penelitian rangkong di Kabupaten Kapuas Hulu. Setiap bulan, kami mengunjungi desa dan hutan untuk melakukan wawancara dengan penduduk setempat.

Kami bertanya perspektif mereka tentang rangkong, seperti apa kearifan lokal mereka tentang rangkong, apakah pernah berburu di masa lalu, apakah memiliki hukum adat untuk melindungi rangkong, apakah mereka menggunakan bagian tubuh rangkong untuk upacara tradisional, dan bagaimana mendapatkannya dari alam liar. Secara umum, Suku Dayak memiliki hubungan kuat dengan rangkong, karena digunakan untuk kebutuhan adat dan merupakan tokoh dalam mitologi sebagai simbol keberanian.

Pada setiap kunjungan, kami menghabiskan 10 hari di hutan untuk melakukan survei populasi, mencakup delapan spesies rangkong. Kami menandai tempat ditemukan beserta sarangnya. Kami menganalisa kualitas habitat, termasuk prevalensi [keterkaitan] pohon yang penting untuk makanannya.

Secara umum, rangkong sangat penting untuk budaya tradisional Suku Dayak.

 

Rangkong Gading. Foto: Rangkong Indonesia/Yoki Hadiprakarsa

 

Rangkong Gading. Foto: Rangkong Indonesia/Yoki Hadiprakarsa

 

Yoki: Selama penelitian sarjana, saya menemukan konservasi rangkong di Indonesia masih sangat kurang dalam berbagai aspek, terlepas dari kenyataan Indonesia memiliki jumlah rangkong terkaya dengan 13 spesies dan habitat terbesar di Asia. Sebagai contoh, dalam pencarian literatur saya hanya menemukan 40 publikasi ilmiah selama empat dekade terakhir terkait rangkong di Indonesia. Sebagian besar penelitian dilakukan orang asing, tidak ada tindakan konservasi integratif untuk rangkong Indonesia. Ini temuan pahit yang mendorong saya terus bekerja.

Sejak saat itu, saya mengambil setiap kesempatan untuk bekerja dengan rangkong, dengan atau tanpa dukungan pihak manapun. Pada 2009, saya meluncurkan situs Rumah Informasi Rangkong Indonesia. Idenya sederhana, memberikan informasi rangkong, artikel populer maupun ilmiah. Saya juga mengumpulkan informasi penampakan/kehadiran rangkong dan publikasi ilmiah tentang rangkong.

Untuk ini, saya tidak mendapatkan apapun, karena sulit untuk memperoleh dukungan finansial untuk spesies yang tidak terkenal. Kemudian, saya mulai menggunakan semua media sosial bersama dengan web.

Setelah kembali dari Amerika, saya menghabiskan sebagian besar karir profesional untuk bekerja dengan berbagai agen pembangunan proyek-proyek berkaitan pelestarian keanekaragaman hayati dan konservasi. Saya juga bekerja independen pada isu-isu terkait keberlanjutan di berbagai konsesi dari pertambangan hingga kelapa sawit.

Pada masa-masa itu, saya menyaksikan awal mula krisis rangkong gading dan dengan dukungan Chester Zoo Conservation Fund, saya memutuskan melakukan penelitian pertama mengenai masalah ini. Temuan-temuan tentang sejauh mana krisis berlangsung, berhasil mengejutkan dunia.

Sejak saat itu, saya memutuskan untuk mendirikan Lembaga Konservasi Rangkong Indonesia atau Rangkong Indonesia sebagai bagian dari unit penelitian di Yayasan Rekam Nusantara, yang kami dirikan bersama Ridzki dan empat rekan lainnya. Setelah itu, saya coba melakukan advokasi di tingkat nasional dan global untuk mengajak masyarakat untuk mengambil tindakan terhadap krisis rangkong gading.

Untungnya usaha-usaha ini berhasil, kebijakan telah diberlakukan di tingkat internasional dan nasional. Perubahan-perubahan berdampak pada sumber ancaman, langsung maupun tidak, yaitu perburuan dan perdagangan ilegal.

Bagaimana caranya? Nah, saat ini salah satu LSM konservasi internasional besar yang paling terkenal telah memprioritaskan rangkong gading. Pemerintah Indonesia telah meluncurkan rencana aksi konservasi nasional selama 10 tahun ke depan [2018 – 2028]. Rencana aksi ini sangat penting bagi pemerintah untuk mengalokasikan lebih banyak anggaran dan mengarahkan para mitranya untuk mengimplementasikan rencana tersebut. Untuk kepastian, pemerintah membentuk Kemitraan Nasional Konservasi Rangkong, bukan hanya untuk rangkong gading.

Dari perspektif global, Rencana Aksi Konservasi Global juga berlaku dan menjangkau beberapa bagian negara, serta LSM yang juga memprioritaskan konservasi rangkong.

Saya cukup puas dengan hasil ini, yang merupakan momentum tugas kami selama ini. Dengan Rangkong Indonesia dan Yayasan Rekam Nusantara, kami akan selalu bekerja di garis depan untuk konservasi burung rangkong di Indonesia.

 

Yoki Hadiprakarsa di lapangan. Foto: Rangkong-Indonesia/Nanang Sujana

 

Julang Jambul-hitam [Rhabdotorrhinus corrugatus]. Foto: Rangkong Indonesia/Aryf Rahman

 

Mongabay: Bisa jelaskan lebih detil inisiatif yang Anda lakukan?

Yoki: Rangkong gading [Rhinoplax vigil] adalah rangkong yang paling banyak diburu karena paruhnya yang padat dan unik. Pada 2013, di Kalimantan Barat saja, kami menemukan setidaknya 6.000 ekor dibunuh oleh kelompok pemburu yang oportunis atau terorganisir. Banyak dari mereka tinggal di daerah rangkong gading muncul dan mereka membunuhnya untuk kelangsungan hidup mereka sehari-hari. Ini fakta pahit yang harus kita hadapi.

Namun, ada banyak kisah sukses mengenai hubungan menguntungkan antara manusia dan burung melalui birdwatching [mengamati burung] yang memberikan penghasilan pada masyarakat sekitar sambil memastikan burung-burung itu tetap hidup. Kami sangat percaya bahwa komunitas ini memiliki potensi besar untuk menjadi garis depan konservasi, menjaga kelestarian rangkong. Gagasan ini mungkin bisa dilaksanakan jika ada hubungan ekonomi antara burung dan masyarakat tanpa membunuh burung-burung tersebut.

Tiga tahun lalu, kami memprakarsai proyek penjaga rangkong, bekerja sama dengan Yayasan Konservasi Alam dari India yang didanai Whitley-Segré Conservation Fund. Proyek ini menjadi inisiasi dasar program penjaga burung rangkong dengan orang-orang Sungai Utik dan sekitar. Inisiatif itu akan menjadi yang pertama di Indonesia.

 

Kangkareng Perut-putih [Anthracoceros albirostris]. Foto: Rangkong Indonesia/Riki Rahmansyah

 

Mongabay: Apa saja yang menjadi temuan kunci [utama] dari penelitian Anda?

Dian: Kami menemukan rangkong gading semakin sulit ditemukan, bahkan di hutan terpencil, yang memerlukan dua hari perjalanan dengan perahu. Ini pasti akibat perburuan dan hilangnya habitat mereka. Habitat terbaik untuk rangkong adalah hutan primer, tetapi malah kami menemukan populasi rangkong terbaik di hutan desa [hutan sosial]. Hipotesa saya adalah masyarakat tradisional tersebut melindungi hutannya. Misal, ketika mereka pergi berburu, mereka juga memantau hutan.

Dalam konteks budaya, rangkong digunakan dalam banyak ritual tradisional, seperti tarian selamat datang untuk tamu di antara Suku Iban dan Punan, serta upacara pernikahan dan kelahiran di Dayak Pangin dan Dayak Punan.

Masyarakat Dayak Punan dan Iban memiliki hukum adat yang dibangun dari mitologi bahwa rangkong adalah pahlawan atau dewa mereka. Misalnya, ada kepercayaan jika Anda mendengar rangkong badak memanggil selama konflik suku berlangsung, Anda harus mengikuti panggilan itu karena akan membawa Anda ke tempat aman.

Budaya Dayak terkait erat dengan rangkong. Karena itu, jika mereka membiarkan rangkong punah, mereka akan kehilangan budayanya.

 

Yoki: Pada tingkat spesies, penelitian saya menemukan bahwa perburuan berdampak serius terhadap populasi rangkong gading di alam liar. Di beberapa daerah, rangkong gading telah hilang karena kombinasi mematikan perburuan dengan hilangnya habitat. Seperti yang terjadi di Taman Nasional Kutai. Sayangnya, di tengah proyek kami yang berlangsung ini, kami menemukan fakta perburuan masih saja terjadi, meskipun tetap ada penurunan populasi yang drastis dan peningkatan penegakan hukum. Mengapa ini masih terjadi? Permintaan masih ada di luar sana! Termasuk beberapa indikasi permintaan terhadap burung hidup!

Di tingkat lokal, saya menemukan bahwa masyarakat memiliki potensi besar untuk mendapatkan manfaat dari keberadaan rangkong melalui ekowisata burung.

 

Enggang Cula [Buceros rhinoceros]. Foto: Rangkong Indonesia/Aryf Rahman

 

Mongabay: Secara umum, apakah masyarakat sudah menyadari status rangkong?

Dian: Masyarakat umum tidak begitu mengenal burung rangkong. Karena materi pendidikan yang ada di sekolah, mereka lebih cenderung mengetahui spesies fauna dari negara lain ketimbang fauna asli Indonesia. Orang sering terkejut ketika mengetahui rangkong itu terancam punah.

Bahkan di ruang publik, pihak berwenang masih sering membuat kesalahan atau kurang memahami spesies rangkong. Peran kami adalah untuk mendidik mereka tentang burung rangkong dan statusnya di alam liar. Kami melakukan kampanye dan peningkatan kesadaran di beberapa desa dan mengunjungi sekolah-sekolah.

 

Yoki: Di tingkat global, pengetahuan tentang burung rangkong di Indonesia masih sangat kurang. Bahkan media mainstream masih sering menukar burung rangkong dengan burung tukan dan membuat kesalahan lain seperti menggunakan nama yang salah untuk spesies yang seharusnya. Apalagi, memahami status perlindungannya. reka. Namun berkat media sosial, kesadaran publik tentang rangkong sudah mulai tumbuh.

Paradigma konservasi satwa liar secraa global harus diubah untuk mendukung spesies yang tidak populer atau kurang dikenal yang saat ini menghadapi ancaman serius.

Rangkong adalah salah satu harta karun keanekaragaman hayati terbesar di Indonesia. Fungsi ekologis mereka dalam memelihara hutan hujan tropis kita yang luas tak bisa tergantikan begitu saja. Orang Indonesia harus bangga bahwa kita memiliki mereka dalam hidup kita, baik sekarang dan di masa depan.

 

Kangkareng Perut-putih [Anthracoceros albirostris]. Foto: Rangkong Indonesia/Riki Rahmansyah

 

Mongabay: Apakah Anda memiliki saran untuk siapa pun yang ingin berkarir pada dunia konservasi di Indonesia?

Dian: Sangat sedikit orang di Indonesia yang bekerja bidang konservasi. Orang-orang sering berpikir bahwa pekerjaan ini sulit, dibayar rendah, dan mengharuskan Anda pergi ke daerah-daerah terpencil yang terlihat berbahaya.

Tetapi, jika semangat dan bekerja keras, Anda akan dapat mengatasi semua tantangan dan menemukan peluang. Jika Anda memilih penelitian konservasi sebagai karier, Anda harus serius, sabar, dan selalu ingin tahu. Jika Anda seorang life-long learner, karier di konservasi sangat bermanfaat.

 

Foto utama: Kepala rangkong gading. Foto: Rangkong Indonesia/Yoki Hadiprakarsa

Penerjemah: Akita Arum Verselita. Artikel Bahasa Inggris di Mongabay.com dapat Anda baca di tautan ini.

 

 

Exit mobile version