Mongabay.co.id

Darah Naga, Pohon Aneh di Samudra Hindia

 

 

Inilah salah satu pulau paling aneh di Planet Bumi. Socrota namanya. Sejak lama, pulau ini memiliki berbagai julukan fantastis sekaligus misterius, mulai dari The Lost World, Alien Island, serta orang di Timur Tengah menyebutnya Tempat Persembunyian Dajjal, dan sebagainya. Para pegiat lingkungan punya nama khas, The Galapagos of the Indian Ocean.

Letaknya cukup terpencil. Dilihat dari peta, Socotra dekat Teluk Aden, Samudra Hindia. Tepatnya di timur tanduk Afrika [Somalia] sejauh 240 kilometer. Bila dari Yaman, posisinya di selatan sejauh 380 kilometer.

Secara administrasi, pulau ini masuk wilayah Yaman, meski begitu, secara geografis, bagian dari Afrika. Sejak lama Socrota terlewat para penjelajah, dan nyaris tak terjamah peradaban. Hingga kini, alamnya tak berubah sejak ribuan tahun.

Pulau Socotra telah terpisah 34 juta tahun dari daratan Arabia, sehingga membuatnya begitu unik. Selain lanskap, keragaman flora dan faunanya yang khas, tak ada di tempat lain.

Baca: Bumi Pernah ‘Menelan’ Seluruh Samudranya di Masa lalu. Akankah Terulang Lagi?

 

Pohon Darah Naga di Pulau Socrota, Samudra Hindia. Sumber: WIkimedia Commons/Boris Khvostichenko/Attribution-Share Alike 4.0

 

Menurut UNESCO, 37% dari 825 spesies tanaman Socotra, 90% spesies reptilnya, dan 95% spesies siput daratnya tidak ditemukan di tempat lain di dunia. Socrota tempat hidup populasi burung darat dan laut yang signifikan secara global [192 spesies burung, 44 di antaranya berkembang biak di pulau-pulau, sementara 85 jenis adalah migran, termasuk yang terancam.

Kehidupan lautnya juga sangat beragam. Ada 253 spesies karang pembangun terumbu, 730 spesies ikan pesisir, dan 300 spesies kepiting, lobster, beserta udang.

Yang paling banyak dikenal orang tentu saja pohon Darah Naga, dengan bentuk aneh. Dracaena cinnabari tidak hanya memiliki wujud khas, namun juga mengeluarkan getah merah atau resin jika batangnya ditoreh, sehingga banyak orang mengenalnya sebagai darah naga.

Getah ini sejak lama dimanfaatkan sebagai bahan obat, di era keemasan Romawi, Mesir, dan Yunani. Juga untuk membuat pernis oleh para pembuat biola Italia sejak abad ke-18.

Pohon ini pertama kali dideskripsikan oleh James Raymond Wellsted pada 1830-an yang menamainya Pterocarpus draco. Tetapi, ahli botani Skotlandia bernama Isaac Bayley Balfour yang menggambarkan spesies tersebut dan memberikan nama ilmiahnya pada 1880.

Pohon bisa tumbuh setinggi 10 meter dengan lebar 3 meter. Secara umum, jika dilihat, bentuknya seperti payung dengan dahan dan cabang melebar ke samping, yang ujung dahannya dipenuhi daun-daun.

Bentuk pohon dapat dikaitkan dengan percabangan dichotomous, masing-masing cabang terbagi dua bagian. Batang membelah setiap kali pohon berbunga. Itulah sebabnya ahli botani dapat menghitung perkiraan usia pohon dengan menghitung jumlah percabangan.

Bentuknya yang tak lazim ini ternyata berfungsi untuk kehidupannya. Daun-daunnya yang rimbun mengurangi proses penguapan dan membantu bertahan hidup di daerah yang suhunya sangat panas.

 

Pohon Darah Naga, dengan bentuk aneh, hidup di sini. Sumber: Atlas Obscura/Rod Waddington

 

Juga, menguntungkan bibit pohonnya agar dapat bertahan hidup dan tumbuh karena bayangan ‘payung’ yang meneduhkan. Di bawah pohon yang teduh ini, banyak ditemukan tanaman kecil dan hewan yang memanfaatkannya untuk berlindung dan berkembang biak.

Oleh penduduk setempat, getahnya telah dimanfaatkan untuk berbagai hal. Selain pengobatan pencernaan, juga diare, demam, gangguan pernapasan, dan sakit tenggorokan. Lalu digunakan sebagai zat pewarna, cat, lem, sabun, pernis untuk furniture, dupa, dan campuran bahan kimia.

Tapi, ini juga yang membuat masa depan pohon Darah Naga terganggu. Pemanfaatan getah berlebihan mengganggu kehidupan sang pohon. Begitu juga penggembalaan kambing sering memakan bibit dan biji tanaman yang tumbuh. Ditambah lagi, pohonnya sering ditebang untuk dimanfaatkan kayunya, sebagai kayu bakar. Masalah lain, meningkatnya pembangunan di pulau itu, terutama pembuatan jalan, serta pengunjung setiap tahun.

 

Peta Socotra. Sumber: Wikimedia Commons/Oona Räisänen/CC BY-SA 4.0

 

IUCN [International Union for Conservation of Nature] mengklasifikasikan statusnya “Rentan”.  Diyakini, perubahan iklim berpengaruh pada makin sulitnya pohon baru tumbuh dan berkembang. Kini, makin sedikit pohon beregenerasi alami, dan banyak pohon kehilangan bentuk ‘payung’ nya yang berarti tumbuh tidak sempurna. Socotra sedang mengering, hujannya tidak merata dan selebat dulu.

Menurut Globaltrees.org, habitatnya hilang sebanyak 45% pada 2018. Saat ini, usaha-usaha untuk pelestarian dilakukan. Akan tetapi, sama sekali tidak cukup menyelamatkannya dari kepunahan di masa depan. [Berbagagai sumber]

 

Exit mobile version