Mongabay.co.id

Kisah Nelayan Pulau Ambo yang Insyaf Ngebom Ikan

 

Jelang sore. Di perairan dangkal Pulau Ambo, kecamatan Balabalakang, Mamuju, Sulawesi Barat. ST dan dua kawannya bersiap. Dari laci kapalnya, dia mengambil benda mirip lontong, tapi tanpa bungkusan daun pisang. Benda itu adalah dinamit (trinitrotoluene/ TNT).

Dari atas kapal, ST menerawang dasar laut, untuk mencari letak kerumunan ikan. Bila menemukannya, maka di situ jadi target ST.

Memantau dengan seksama, kerumunan ikan pun tampak di matanya. Saat yang sama, ST lalu menyulut sumbu ledak dengan api korek, meski sulit karena harus terhempas angin.

Berulang kali ia memantik, sumbu ledak pun terbakar. ST tinggal melempar benda berwarna merah tersebut ke laut.

Tak cukup semenit, dinamit telah menyentuh dasar laut. Untuk sampai meledak, makan waktu sekira 30 menit. Di waktu selanya, ST menjauhkan kapal miliknya. Agar tak bosan menunggu, ia menghisap rokok. Satu hingga dua batang.

ST, sengaja memilih perairan dangkal, letak terumbu karang. Selain ikannya yang banyak, ia mudah menyelam, saat mengambil ikan yang mati nantinya. 2 hingga 3 pikul atau setara 120 kilogram ikan mati, bisa ia angkut ke atas kapal.

baca : Kisah Para Pemburu Hiu Pulau Ambo [1]

 

Citra satelit Pulau Ambo, Mamuju, Sulawesi Barat. Sumber : Satu Peta KKP/ESRI/Mongabay Indonesia

 

Ratusan kilogram tangkapannya, ia pasok ke kelompok tentara yang tengah mengerjakan jalan trans Mamuju-Makassar beberapa puluh tahun lalu—masih wilayah Sulawesi Selatan.

“Dia kasih saya juga uang. Dia langganan saya,” katanya yang ditemui Mongabay Indonesia di rumahnya di Pulau Ambo, Sabtu (20/7/2019)

“Dari mana dapat itu bom?” tanya saya.

“Tentara itu yang kerja jalan kasih,” jawab ST santai.

Daya ledak dinamit sangat keras, para tentara yang dimaksud ST, menggunakannya untuk memecah gunung. Jika di bawah air, dinamit dapat merusak biota laut dan mungkin, mencelakai ST.

Dinamit itu, oleh nelayan setempat, disebut ‘gogos’. Sebab, bentuk lonjongnya serupa hidangan panggang yang terbuat dari campuran ketan dan santan, terbungkus daun pisang.

“Saya sekarang ndak pakai (dinamit lagi),” kata ST.

ST, tak perlu merogoh kocek buat beli sebatang dinamit. Karena, tentara, si langganannya dapat memberikan dia cuma-cuma. Dengan syarat, hasil bomnya dipasok ke mereka.

Pengetahuan soal dinamit atau hulu ledak lainnya, diakui ST sangat minim. Meledakkannya saja ia tak tahu. Apalagi, digunakan dalam air. Lantas, siapa yang mengajarinya? Tentara, pelanggan setia ST.

“Dia juga yang buatkan (rakit), jadi tinggal saya pakai,”

baca juga : Kisah Para Pemburu Hiu Pulau Ambo : Antara Produksi dan Konservasi [2]

 

Hiu macan tangkapan nelayan Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Nyaris tiga tahun, ST menangkap ikan dengan cara ini. Penghasilannya, lumayan untuk mencukupi kebutuhan sandang pangan isteri dan anak-anaknya. Ditambah, saat itu, ia tak susah payah mencari pembeli dan berjam-jam memancing ikan.

Namun, itu kisah kelam ST. Pasca-nelayan asal pulau sebelah tewas terkena ledakan. ST, akhirnya sadar. Sejak itu, ia kembali menggunakan pancing tasi, dengan satu mata kail—yang hampir tiga tahun tak terpakai. ST juga takut, isterinya menjanda dan anak-anaknya menjadi yatim.

Hingga sekarang, ST memancing ikan dengan alat sederhana, meski harus seharian mancing ikan hingga mendapat 100 kilogram.

“Memancing aman!” seru dia bersemangat. “Biar tong hasilnya tidak banyak.”

Kenapa ST berhenti membom ikan? Dengan nada datar ia menjawabnya.

“Takut. Takut juga ditangkap polisi,” ujarnya.

 

‘Rahasia’ Pulau Ambo

Saya dicegat seorang warga Ambo, saat mencoba mewawancarai isteri, dari korban yang terkena ledakan bom racikan pupuk urea. Ia bercerita, bahwa suami tetangganya tewas mengenaskan saat kejadian beberapa tahun lalu. Tubuhnya hancur terkena ledakan.

Kenangan kelam itu pula, yang nyaris buat tetangganya depresi berat. Karenanya, warga melarang saya untuk menyungkil kisah kelam itu kembali. Warga Ambo juga punya memori kolektif tentang. Mereka sangat prihatin.

Mama DN, panggilan isteri sang korban. Selama di pulau Ambo, saya kerap berpapasan dengan dia. Bila bertemu, kami saling sapa. Dia ramah, juga murah senyum.

“Singgah ki’,” ajak dia, tiap kali berpapasan di jalan.

Saban pagi atau sore, Mama DN menyapuh jalan desa yang terletak di belakang rumahnya, tanpa upah. Dia melakukannya sejak kepergian sang suami.

Mama DN, satu diantara keluarga korban, yang hingga saat ini masih menetap di Pulau Ambo. Dari informasi yang terhimpun, sedikitnya ada tiga korban meninggal dunia akibat bom ikan. Para keluarga korban lainnya, memutuskan untuk meninggalkan pulau seluas 10,6 hektare ini.

Meski telah menelan korban, praktek destructive fishing masih ada di Pulau Ambo. Dan hal ini, menjadi ‘rahasia’ tersendiri bagi warga.

Meski begitu, beberapa nelayan yang diduga masih aktif melakukan praktek ini, menolak untuk diwawancara.

baca juga : Janji Ali yang Tak akan Mengebom Ikan Lagi

 

Kondisi litoral Pulau Ambo, Mamuju, Sulawesi Barat. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Surga Pembom Ikan

Ridwan Alimuddin pernah melakukan riset soal destructive fishing di Kawasan Indonesia Tengah, termasuk di Pulau Ambo, kecamatan Balabalakang, Kabupaten Mamuju. Dalam risetnya, ia mendapat ‘keunikan’ di Pulau Ambo, yang ia sebut sebagai ‘surganya’ pembom ikan.

Fishing ground-nya (wilayah pancing) itu relatif terisolasi. Kan beda misalnya dengan yang di Supermonde, itu kan relatif dekat dengan daratan Sulawesi. Pulau Ambo agak terpencil. Tapi di sisi lain, pasarannya itu gampang,”kata Ridwan yang juga pegiat literasi di Majene, Sulwar saat dihubungi Mongabay Indonesia, Rabu (31/7/2019).

Pendiri Armada Pustaka Mandar tersebut mengatakan tangkapan ikan hasil pemboman banyak dijual ke Kabupaten Kota Baru, Kalimantan Barat dan Kelurahan Manggar, Balikpapan Timur, Kalimantan Timur. Jenis ikan yang paling diminati pasar yakni ikan biji nangka merah (goatfish).

Goatfish itu masuk ke wilayah Kalimantan untuk memasok kebutuhan pangan laut bagi pekerja kebun sawit di Kalimantan hingga Malaysia. Sebelum diedar ke pasar, ikan itu sebelumnya dikeringkan.

“Ikan (goatfish) itu tidak bisa dipancing, karena ikan itu kan bergerombol. Terus kalau mau (tangkap) pakai jaring di terumbu karang, susah itu. Kan pasti robek-robek. Jadi kalau mau efektif, terlepas apakah itu merusak lingkungan atau apa, ya pakai bom,” kata Ridwan.

Ramli Zaenal, 42, Kaur Pelayanan Desa Balabalakang Timur membenarkan, pelaku pembom ikan masih tetap ada, kendati ia tak berani menyebut secara pasti siapa orangnya.

“Kurang tahu, tapi masih ada saya dengar,” katanya saat ditemui ditemui Mongabay Indonesia di rumahnya, Sabtu (20/7/2019)

Yang marak di telinga Ramli, yakni penggunan potassium cyanide. Bahan ini, mudah didapat, baik di toko bahan kimia atau toko online.

perlu dibaca : Nasib Suku Bajo, Pengembara Laut yang Dicap Pelaku Bom Ikan [Bagian 1]

 

Wilayah sandar kapal nelayan Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Bila bom akan mematikan ikan, bahan ini tidak. Ikan hanya jatuh pingsan bila terkena. Itu kenapa, cairan ini disebut ‘bius’. Meski tampak tidak merusak, dampak cairan bius, sebenarnya lebih parah dari bom. Inilah yang diakui ST.

“Kalau kami di sini tidak biarkan pembius, mending bom dari pada pembius. Kalau bius itu, ke mana ikut arus di situ kena (ikan atau terumbu karang),” kata ST.

Beberapa kali, ST dan kawan-kawannya menangkap ‘pembius’ ikan di sekitar Pulau Ambo. Nelayan itu kata dia berasal dari pulau sebelah.

“Itu lagi saya di marahi petugas (Polres) Mamuju,” kata dia.

ST bilang, pelaku pembom ikan masih berkeliaran di pulau ini. Mereka bersembunyi dengan ragam modus. Salah satunya, diduga menyamar jadi penangkap teripang.

“Kalau di sini itu, sembunyi-sembunyi. Biasa kita kira pergi memancing, ternyata pergi membom. Atau dikira menyelam (tangkap) teripang, padahal membom,” katanya.

“Seperti orang tidak ada otaknya yang pake bom begitu. Kalau ditangkap ko memang bebas ji, tapi habis uangmu juga membayar. Baru kalau sudah bebas, membom lagi itu.”

menarik dibaca : Cerita Namu, Dulu Desa Pengebom Ikan Kini Surga Keindahan Alam

 

Hiu yang didaratkan di Pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Sejak Jaman Jepang

ST bisa dibilang sudah lama menggeluti praktek demikian. Namun, rupanya ada yang lebih lama dari dia.

Ridwan dalam risetnya menemukan, praktek pengeboman ikan di Kecamatan Balabalakang, terkhusus Pulau Ambo telah dilakukan sejak zaman kolonial Jepang. Saat itu, para nelayan mengakali isian rudal.

“Diambil dari sisa mesiu bahan peledak,” sebut Ridwan. “Nanti belakangan yang mengenalkan untuk menggunakan (bom) pupuk itu dari nelayan Taiwan.”

Kesaksian serupa ST kata Ridwan, juga ada. Namun, asal bomnya bukan dari tangan tentara, melainkan pekerja tambang batu bara di Kalimantan.

Sebelum sampai ke tangan nelayan. Bom itu kata Ridwan, diselundupkan ke pemangku pasar ikan di Kalimantan Timur.

“Dan, orang itu juga yang melepaskan kalau ada yang tertangkap. Dia bisa bayar Rp50 juta sampai Rp100 juta kalau ada yang tertangkap,” ujar Ridwan.

baca juga : Di Pulau Solor, Bom Ikan Berganti Lumbung Ikan Desa, Bagaimana Hasilnya?

 

Proses pengukuran hiu hasil tangkapan nelayan pulau Ambo. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Peran Pemerintah

Pulau Ambo, kini terancam abrasi. Diprediksi dalam setahun, bibir pantai tepi barat terkikis 2 meter.

2015 lalu, Tim dari Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Hasanuddin (Unhas), melakukan penilitian di gugus kepulauan Balabalakang. Di Pulau Ambo, mereka mengamati bencana abrasi.

Ahmad Bahar, dosen konservasi sumber daya hayati laut Unhas ini melihat abrasi tepi barat di Pulau Ambo, selain karena gelombang, juga disebabkan karena rusaknya pemecah ombak alami, ­yaitu terumbu karang.

“Itu terumbu karangnya sudah banyak rusak. Mereka (warga Ambo) akui memang. Jadi gampang sekali tergerus,” katanya saat ditemui di Unhas.

Terumbu karang merupakan struktur besar bawah air. Spesies karang yang membangun terumbu karang dikenal hard coral (HC) atau karang keras. Terumbu karang ini berguna meredam arus dan gelombang laut.

Dari survey yang dilakukan tim FIKP Unhas, ditemukan bahwa, persentase tutupan karang keras dan ‘lembek’ (soft coral/SC) tidak mencapai angka 50. Dengan rincian, HC hanya 10 persen, sedang SC 15 persen.

Ahmad bilang, di tepi barat, tim FIKP mendapati kondisi terumbu karang yang rusak. Dugaan kuat, disebabkan karena terkena ledakan bom.

Pada 2018, tepi barat Pulau Ambo diterjang gelombang. Akibatnya sebuah masjid dan tiga rumah milik warga porak poranda. Padahal 20 meter dari tepi pantai sekarang, kata warga, dulunya masih terdapat pemukiman.

“Cepat sekali itu. Wah bahaya sekali,” respons Ahmad saat saya menunjukkan foto kerusakan di Masjid di Pulau Ambo karena abrasi pantai.

perlu dibaca : Perairan Teluk Hadakewa: Dulu Marak Potas dan Bom Ikan, Sekarang Dilindungi lewat Adat

 

Masjid di Pulau Ambo yang terkena abrasi. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Lantas, bagaimana peran pemerintah?

Lukman Sanusi, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabupaten Mamuju mengklaim, sejauh ini pihaknya selalu mendorong nelayan di Pulau Ambo agar memakai alat tangkap yang ramah lingkungan.

“Karena dapat berdampak buruk terhadap ekosistem laut,” katanya saat dihubungi Selasa (30/7/2019).

Lukman bilang, pihaknya kerap menggelar sosialisasi di kalangan nelayan di Pulau Ambo. Harapannya tak lain untuk menekan penggunaan bom, bius, atau alat tangkap lainnya yang dapat merusak lingkungan laut, macam, merusak terumbu karang, penurunan jumlah ikan, mengganggu penghasilan nelayan lain, dan bisa sewaktu-waktu mencederai nelayan.

Respons nelayan kata dia, sangat baik. Sebab menurut Lukman, komunitas nelayan sadar, bahwa laut merupakan masa depan mereka.

“Kami juga mengupayakan, untuk melibatkan unsur terkait dalam pencegahan penangkapan ikan dengan menggunakan bom,” ujarnya. “Kami bekerjasama dengan pihak Polairud dan Lanal Mamuju.”

Kalaupun nelayan pembom ikan tidak beralih, katanya dapat diancam pidana 5 tahun penjara dan denda maksimal 2 miliar bila tertangkap tangan sedang melakukan pengeboman ikan.

Ancaman pidana itu sesuai dengan Undang-undang (UU) No.45/2009 tentang Perikanan.

 

Exit mobile version