Mongabay.co.id

Saat Hati Terpukau Cenderawasih, Sang Burung Surga dari Arfak [dengan: Video]

 

Langkah Seblon Mandacan (18) gesit saat menyusur jalan setapak Pegunungan Arfak yang licin dan basah. Langit masih gelap, sekitar pukul 4 pagi. Saya berjalan perlahan di belakang Seblon. Diperlengkapi dengan senter di kepala, kami menelusuri kabut hutan pegunungan Arfak di ketinggian 1.900 m dpl.

Sungguh perjuangan luar biasa untuk bangun dan menguatkan hati untuk berjalan di pagi itu. Dingin menusuk tulang. Angin pun masih tembus, meski tubuh telah dibungkus jaket dan baju berlapis di dalamnya.

Beberapa kali saya harus memegang pohon atau dahan yang ada di kiri dan kanan agar tidak terpeleset. Setiap langkah kaki harus berpijak tepat di tempat yang tepat. Hujan dari sore hingga malam hari sebelumnya membuat perjalanan ini lebih menantang.

Tujuan perjalanan ini adalah untuk berjumpa dengan superb bird of paradise  (Lophorina superba) atau nyet dalam bahasa lokalnya. Burung endemik pegunungan Papua. Ia masih tergolong famili cenderawasih dan hanya dapat dijumpai pagi hari beberapa saat setelah matahari bersinar. Bagi siapa yang mau melihatnya, sudah harus berada di lokasi tempatnya bermain, sebelum burung itu datang.

“Disitu tempat nyet bermain. Jam 6 sampai jam 7 biasanya dia datang. Kita masuk dalam blind ini agar burungnya tidak bisa lihat kita,” kata Seblon. Dia menunjuk sebuah pohon tumbang berlumut tempat superb sering hinggap.

Kami berlindung di bawah blind. Semacam terpal tempat berlindung artifisial agar burung tidak menyadari kehadiran manusia. Selama 1,5 jam kami hanya bisa diam dan menunggu. Nyamuk pun hinggap di muka dan jari, tanpa berani kami tepuk karena akan menimbulkan suara.

Saya pun hanya bisa harap-harap cemas saat teringat sebuah referensi yang menyatakan  bahwa burung ini sangat sensitif dan tidak mudah untuk dijumpai.

Tiba-tiba, dari kejauhan lamat-lamat terdengar suara.

 

Sepasang superb bird of paradise (Lophorina superba). Dok: INFIS

 

Seblon menunjuk sebuah pohon tumbang dimana seekor superb jantan sedang hinggap. Ia memperhatikan situasi di sekelilingnya, saat dirasa aman ia memanggil sang betina. Betina pun hinggap di dekatnya, pertunjukan spektakuler itu pun dimulai.

Sang superb jantan mengembangkan bulu biru mengkilap lehernya sambil menari-nari mengelilingi betina. Berbagai atraksi ia tampilkan dalam menit-menit yang sensasinya tak mungkin saya lupakan.

Setelah berhasil merekam video berbagai macam aksi burung superb, saya langsung keluar blind dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada Seblon, sang anak muda kalem dari Kampung Minggrei.

 

Kampung Minggrei, sebuah kampung kecil yang ada di Pegunungan Arfak, Papua Barat. Kampung ini dikelilingi oleh hutan yang masih utuh. Dok: INFIS

 

Menjaga Keberadaan Burung Surga

Sejak dua tahun lalu Seblon dan warga Kampung Minggrei, Distrik Warmare, Papua Barat banyak yang menjadi pemandu. Sudah banyak tamu-tamu yang datang ke kampungnya untuk melihat berbagai macam jenis burung cendrawasih atau yang sering disebut Bird of Paradise. Burung surga.

Salah satu tamu yang mereka layani bersamaan dengan perjalanan saya adalah Tim Laman, seorang wildlife photographer yang sudah mendunia. Ia datang bersama dengan Ed Scholes peneliti burung dari Cornell Lab of Ornithology yang berbasis di Amerika Serikat.

Tim dan Ed sudah kedua kalinya mengunjungi Kampung Minggrei. Sekali kunjungan mereka bisa tinggal di kampung 2-3 minggu.

“Saya melakukan pekerjaan sebagai fotografer untuk satwa liar di Indonesia sudah lebih dari 25 tahun. Saya mulai bekerja di Papua pertama kali pada tahun 2004,” ungkap Tim.

 

Masked Bowerbird (Sericulus aureus). Dok: INFIS

 

Western Parotia (Parotia sefilata). Dok: INFIS

 

Baginya yang menjadikan burung di hutan Papua spesial dibandingkan dengan hutan lain di Indonesia adalah sangat banyak spesies unik yang hanya bisa dijumpai di Papua. Bird of Paradise dan Bowerbird adalah contoh yang paling dikenal.

Pada kunjungan keduanya di Kampung Minggrei, Tim akan fokus untuk memotret vogelkop superb bird of paradise (Lophorina superba) dan western parotia (Parotia sefilata), dan magnificent bird of paradise (Diphyllodes magnificus).

Ia juga akan mencari burung yang ada di atas gunung yaitu black sicklebill (Epimachus fastosus) dan arfak astrapia (Astrapia nigra). “Ada banyak spesies disini yang bisa untuk dipotret,” katanya.

Tentunya tamu akan datang untuk mengamati burung ataupun memotret burung selama hutan masih ada dan burung pun tak hilang.

Menyadari keunikan kekayaan alam itu, Aren Mandacan selaku Kepala Kampung Minggrei meminta warga melindungi burung-burung cendrawasih serta tidak menebang pohon-pohon yang ada di kampung.

“Sudah tiga tahun ini kami tidak perlu beli beras. Dengan adanya tamu, kami bisa makan gratis karena bisa makan sama-sama dengan tamu. Selain itu kami juga dapat uang,” katanya.

Aren Mandacan pertama kali mengenalkan potensi kampungnya kepada Shita Prativi pemilik Macnificus Expedition dan Founder Papua Bird Club. Shita sendiri belajar memandu burung dari suaminya Kris Tigine (alm) yang memulai memandu tamu-tamu yang mau berpetualang di Papua sejak tahun 1992.

Menurutnya, pengamatan burung di Arfak mulai ramai pada tahun 2007 setelah banyaknya laporan perjalanan dan publikasi tentang keragaman burung-burung Papua setelah para tamu mendapat imperesi baik selama kunjungan mereka di sini.

 

 

“Di Minggrei potensi [alamnya] luar biasa. Burung cendrawasih-nya lumayan lengkap. Kemudian burung-burung yang lain spesiesnya juga banyak. Dalam sekali tour bisa melibatkan sampai 25 orang. Banyak sekali warga yang terlibat sehingga mereka bisa mendapatkan manfaatnya dari menjaga burung,” tutur Shita.

Shita pun menyebutkan dalam satu kali kunjungan dengan jumlah tamu 8 orang dan tinggal di kampung selama 5 hari, uang yang diterima masyarakat di Kampung Minggrei sekitar Rp20-30 juta. Mulai dari penginapan, memasak, pemandu, kendaraan, pemilik blind dan porter.

Shita menyebut, dia dan timnya tak lagi menerima tamu karena sudah full booked hingga tahun 2021.

Menurutnya, dengan mereka menjaga burungnya, banyak keuntungan yang diterima warga Kampung Minggrei. Tidak hanya sekali, tapi dalam jangka waktu lama. Mereka pun bakal menjaga dan tak akan lagi merusak kekayaan alam yang ada.

Sebagai tamu yang merasakan dan tinggal sendiri di Kampung Minggrei, Ed Scholes kagum dengan kerja keras warga Kampung Minggrei.

“Anda tidak harus menjadi peneliti burung untuk datang kesini dan melihat cenderawasih. Siapapun bisa datang dan melihat mereka disini,” kata Ed.

Dia juga berharap suatu saat cucunya masih dapat menyaksikan burung cenderawasih western parotia bersuara nyaring yang memanggil-manggil dari dalam hutan Kampung Minggrei.

 

Seblon Mandacan (kiri), pemuda Desa Minggrei saat mendampingi penulis. Dok: INFIS

 

* Een Irawan Putra, penulis adalah Direktur Indonesia Nature Film Society (INFIS), praktisi dokumentasi audio visual, sering beraktivitas di alam bebas.

Exit mobile version