Mongabay.co.id

Akhir Cerita Si Macan Tutul Jawa di Kandang Peraga

Macan tutul jawa, yang sering disebut macan kumbang ini, tersebar merata dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa. Foto: Conservation International/Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

 

 

 

 

 

Sekitar pukul 6.00 pagi, satpam Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ) Surakarta, mendapati macan tutul, satu penghuni baru kebun binatang ini tak bernyawa. Pada 25 Juli lalu, satwa liar itu genap 216 hari dalam penguasaan manusia hingga ajal tiba.

Sebelumnya, 22 Desember 2018, macan tutul betina itu masuk perangkap BKSDA Wilayah I Jawa Tengah. Pemasangan kandang perangkap menyusul banyak kambing milik warga di Gunung Lawu diserang binatang buas. Selama November-Desember, sekitar 30 kambing jadi mangsa.

Kambing-kambing itu biasa ditemukan mati dengan luka di leher dan kepala. Tak mau menanggung rugi, sebagian warga memilih menjual ternak sebelum kena mangsa binatang buas.

Ronda pun digelar, untuk mengantisipasi serangan. Warga juga berupaya menakut-nakuti dengan membuat long bumbung (meriam dari bambu), dan menyalakan obor di dekat kandang ternak.

Tiga perangkap pun disiapkan. Setelah menunggu hampir satu bulan, satu perangkap dengan umpan kambing di Desa Wonorejo, Kecamatan Jatiyoso, Karanganyar, bisa memperdayai macan tutul betina Jawa ini.

 

Sariawan?

Kematian macan tutul Jawa di kandang display TSTJ mendapat sorotan warga dan kelompok pecinta satwa. Aan Shopuanuddin, Ketua Forum Rakyat Peduli Gunung Lawu, mengatakan, macan tutul yang tertangkap seharusnya segera lepas liar.

“Yang perlu dilakukan itu memastikan ketersediaan pangan di hutan Gunung Lawu cukup. Kalau pangan cukup, kami meyakini macan itu tak turun hingga ke permukiman warga,” katanya seperti dikutip Solopos, baru-baru ini.

Akun Angelique Donna Bassle di Facebook, mempertanyakan, siapa yang bertanggung jawab atas kematian macan tutul Jawa ini.

“Induk matul menyusui sekarang meninggal, saat kami ke sana kemarin pun tidak diinfokan kalau sudah meninggal. Siapa yang bertanggung jawab….” tulisnya diunggah 3 Agustus lalu.

Salinan surat diduga dari Direktur Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indra Exploitasia bertanggal 31 Juli beredar melalui WhatsApp Group.

Isi surat meminta laporan kematian macan tutul kepada kepala BKSDA Jawa Tengah, yang ditembuskan kepada Walikota Surakarta, Direktur TSTJ, Ketua Umum PKBSI. Surat itu juga mencatat, kematian macan tutul sebagai kejadian kedua kematian satwa dilindungi setelah sebelumnya gajah Sumatera.

Bimo Wahyu Widodo Dasir Santoso, Direktur TSTJ mengatakan, kematian dan kelahiran satwa dilindungi selalu dilaporkan ke BKSDA Surakarta. Ada berita acara kematian, otopsi, pemeriksaan organ untuk mengetahui penyebab kematian, dan diawetkan kalau layak.

“Melepasliarkan bukan wewenang kami, ada prosedur berjenjang. Kami lembaga konservasi pasti ada lahir dan mati, kita mesti bijaksana menyikapi,” katanya kepada wartawan.

“Yang jelas, dalam prosedur perawatan satwa kita sudah punya, seperti buaya muara yang ditangkap, sekarang masih hidup, jadi fokus bukan masalah lepas liar. Tapi, bagaimana kami mengelola titipan negara sebaik dan semampu mungkin.”

Lewat pesan singkat kepada Mongabay, Bimo mengatakan, macan tutul Jawa yang mati ada indikasi sakit sariawan, dan gangguan pencernaan.

Untuk penelitian lebih lanjut, katanya, organ dalam satwa dikirim ke Balai Besar Veteriner (BBVet) Wates, Yogyakarta. Menurut bagian pelayanan dan informasi BBVet kepada Mongabay, sampel organ yang dikirim untuk pemeriksaan histopatologi.

“Kami informasikan juga hasil histopatologi hanyalah salah satu unsur penunjang dalam diagnosa. Tentu, informasi akan lebih pas jika sudah dikombinasi dengan data lain, dalam hal ini oleh dokter hewan kebun binatang Surakarta.”

BBVet juga memeriksa feses satwa untuk uji parasit. BBVet menerima sampel pada 26 Juli, selang sehari setelah macan tutul dinyatakan mati.

Dokter hewan TSTJ Siti Nuraini ketika dimintai konfirmasi menyarankan menghubungi direktur TSTJ. Satwa predator yang berusia 2,5 tahun panjang 80 centimeter, tinggi 60 centimeter dan berat 30 kilogram ini, selama di TSTJ mendapat makan daging ayam dan sapi. Sebelum masuk kandang peraga, selama seminggu masuk karantina.

Dalam video yang beredar di media sosial, macan tutul Jawa ini tampak stres dan panik saat berada di kandang jebakan. Dia berusaha melarikan diri dengan menabrakkan kepala di jeruji besi. Jeruji terlalu kokok.

 

Pintu Gerbang Taman Satwa Taru Jurug, Surakarta. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Teliti penyebab macan keluar dari habitat

Hendra Gunawan, guru besar yang memiliki studi tentang macan tutul Jawa kaget dan prihatin atas kejadian ini. “Di alam bebas satwa ini sudah terancam, di kandangpun belum tentu menjamin aman dari ancaman kematian. Saya sayangkan, kematian justru di tempat yang seharusnya aman, karena terpelihara, terawat, terawasi dan di bawah supervisi dokter hewan,” tulisnya menjawab pertanyaan Mongabay, melalui pesan elektronik.

Dia bilang, jangan berspekulasi soal sebab kematian sebelum ada analisis laboratorium. Dia berharap, hasilnya diumumkan transparan agar menjadi pelajaran hingga kasus sama tidak terulang.

Menurut Hendra, macan tutul keluar dari hutan (habitat) bisa jadi akumulasi beberapa sebab, seperti habitat atau terkait populasi.

“Dalam ukuran populasi tidak bertambah, namun terjadi degradasi kualitas habitat, hilangnya ruang habitat atau terfragmentasinya habitat, macan tutul bisa saja keluar dari habitat sebagai respon terhadap daya dukung habitat menurun,” katanya.

Degradasi kualitas habitat, katanya, bisa karena kerusakan hutan dari penebangan liar, kebakaran, kemarau panjang maupun penggarapan hutan hingga satwa mangsa berkurang.

“Dampaknya, sudah sering diberitakan seperti baru-baru ini ada macan tutul mati, keluar hutan maupun berkonflik dengan manusia. Umumnya, di sekitar hutan produksi yang digarap.”

Dia miris, 50% populasi macan tutul di Jawa, berada di hutan produksi. “Ke depan, akan terus dihadapkan pada ancaman persaingan penggunaan ruang habitat dengan manusia,” kata pengajar Pascasarjana IPB ini.

Fragmentasi habitat, katanya, biasa karena pembangunan infrastruktur berbentuk jalur memanjang yang memotong kawasan hutan seperti jaringan jalan, terutama jalan raya dan tol, jaringan irigasi, dan jaringan listrik saluran udara tegangan extra tinggi (Sutet).

Fragmentasi juga karena genangan waduk lebar dan memanjang. Berbagai hal itu, katanya, sudah terjadi di Pulau Jawa dan ada kecenderungan meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan pembangunan wilayah yang memerlukan ruang.

Menilik kasus penurunan macan tutul dari Gunung Lawu ke permukiman, katanya, perlu dilihat lebih jauh guna mengetahui penyebab pastinya.

“Tetapi dari jenis kelamin betina, kemungkinan bukan karena teritorial. Yang bersifat teritorial, yang jantan dan betina berada di dalam teritori jantan yang mengawininya,” kata guru besar riset bidang konservasi keragaman hayati, di Pusat Litbang Hutan, Badan Litbang dan Inovasi, KLHK ini.

Hendra bilang, penyebab paling mungkin karena kekurangan satwa mangsa atau sulit mendapatkan mangsa di habitat alaminya.

Dalam pengamatan Hendra, dugaan ini makin kuat dengan melihat perilaku memangsa ternak secara berulang. Perilaku memangsa ternak bisa karena si macan tutul terpaksa, misal, karena sakit hingga tak mampu berburu di alam. Atau, katanya, sedang mengasuh anak hingga perlu mendapatkan makanan dengan mudah dan cepat agar tak terlalu lama meninggalkan anaknya.

“Apakah macan tutul betina yang turun dari Gunung Lawu, sedang mengasuh anak? Yang mengetahui tentu dokter hewan yang memeriksanya kala itu.”

Dalam catatannya, selama periode 2001-2015, terjadi 71 kasus konflik macan tutul dengan manusia, 69% berupa pemangsaan ternak, 24% memasuki permukiman dan 7% ditangkap atau dibunuh karena dianggap membahayakan.

Mengatasi konflik macan tutul Jawa dengan manusia, kata Hendra, harus menyeluruh dan terintegrasi karena mencakup aspek ekologi yang harus dipandang dalam skala lanskap. Juga, aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan dan sosial politik atau kebijakan karena menyangkut penataan ruang dan sinergitas antarprogram pemerintah.

Anton Ario, dari Forum Konservasi Macan Tutul Jawa (Formata) dan Conservation International Indonesia mengatakan, perlu mitigasi guna mengurangi konflik antara macan tutul dan manusia. Mitigasi, katanya, bisa dengan menjauhkan kandang ternak dari hutan, memberi penerangan cukup, membuat kandang aman bagi ternak, dan tak memancing satwa ini masuk wilayah yang dihuni manusia.

Kalau terjadi konflik, katanya, seringkali macan tutul jadi peran antagonis. “Padahal, mereka sudah tahu di lingkungan tempat tinggal ada macan tutul,” katanya, saat dihubungi Mongabay, Rabu (7/8/19).

“Kalau sudah ada kejadian rata-rata yang jadi korban adalah macan tutul, ada rasa balas dendam masyarakat karena ternak dicuri,” katanya, seraya berharap ada harmonisasi antara manusia dan macan tutul hingga bisa hidup berdampingan.

 

Keterangan foto utama:    Macan tutul Jawa atau yang disebut juga Macan Kumbang tersebar merata dari ujung barat hingga ujung timur Pulau Jawa. Foto: Conservation International/Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

 

Pengunjung melihat ke arah dalam kandang harimau Sumatera di TSTJ Solo. Harimau Sumatera ini tak punya pasangan. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version