Mongabay.co.id

Pembangunan Jembatan Sumatera-Bangka, Bagaimana Dampak Ekologi dan Sosial Budaya?

 

 

Sebuah jembatan akan dibangun, menghubungkan Sumatera Selatan dengan Pulau Bangka sepanjang 15,2 kilometer. Jembatan ini berawal dari Desa Tanjung Tapa, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Provinsi Sumatera Selatan hingga Desa Permis, Kabupaten Bangka Selatan, Provinsi Kepulauan Bangka-Belitung, yang dimulai 2020. Apa dampaknya?

“Tampaknya gambut tersisa atau yang tengah diupayakan direstorasi di OKI kian sulit terjaga. Hadirnya jembatan membuat wilayah gambut kian terbuka, mendorong banyak pihak datang, khususnya di sekitar jembatan. Mulai pembangunan infrastruktur permukiman baru, pergudangan, pelabuhan, dan lainnya,” kata Muhammad Hairul Sobri, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Sumatera Selatan, Sabtu [10/08/2019].

“Selain itu hutan lindung berupa kawasan mangrove yang selama ini sudah rusak kian terancam,” lanjutnya.

Herman Deru, Gubernur Sumatera Selatan, di Griya Agung, Palembang, Jumat [19/07/2019], menjelaskan usulan pembangunan jembatan penghubung Sumatera Selatan dengan Bangka tersebut menelan biaya sekitar Rp15 triliun. Sudah disetujui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat [PUPR].

Dijelaskannya, dikutip dari Tempo, pembangunannya sudah menarik sejumlah investor, seperti dari Cina, tapi akhirnya diputuskan menggunakan APBN. Saat ini, tengah dilakukan penilaian dan kelayakan.

Baca: Lahan Gambut Seluas 615.907 Hektar Bakal Direstorasi, Begini Rencananya

 

Pembangunan jangan merusak bentang alam, terlebih menghancurkan ekosistem. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Anggaran Rp15 triliun, kata Hairul, bukan biaya murah. Apalagi kalau sumber pendanaan merupakan utang negara, rakyat yang harus memikul beban. “Perlu perhitungan matang dan berkeadilan agar dampak kesejateraan rakyat terjamin,” katanya.

Sebagai informasi, luas gambut di Kabupaten OKI sekitar 750 ribu hektar dari total luas di Sumatera Selatan sekitar 1,2 juta hektar. Tapi, sebagian besar gambut di OKI sudah menjadi konsesi dan perkebunan sawit. Sementara, hutan lindung berupa kawasan mangrove yang luasnya sekitar 190 ribu hektare, tersisa sekitar 90 ribu hektar.

Sementara restorasi gambut di Sumatera Selatan targetnya seluas 615.907 hektar. Wilayah yang akan direstorasi adalah areal pasca-kebakaran 2015 yaitu 12.237 hektar HGU; 160.053 hektar IUPHHK; 48.420 hektar APL; 28.377 hektar kawasan hutan; 1.941 hektar kawasan hutan lindung; dan 39.336 hektar kawasan konservasi.

Wilayah gambut di Kabupaten Musi Banyuasin [Muba], Banyuasin dan OKI dikerjakan dari 2017-2019. Sementara 2020, restorasi gambut di Sumatera Selatan difokuskan pada Kabupaten Muaraenim, Musirawas dan Muba.

Doni Al Maleeq, pendidik dan budayawan Bangka Selatan, yang rumahnya tak jauh dari lokasi rencana pembangunan jembatan di Desa Permis, menilai jembatan tersebut akan memberikan dampak positif bagi masyarakat Bangka. “Transportasi darat dari Bangka ke Sumatera, khususnya Sumatera Selatan, menjadi cepat,” katanya pada Juni 2019.

Namun, dia juga khawatir jembatan ini kian mendorong banyak pendatang untuk melakukan eksplorasi penambangan timah. “Bangka ini sudah rusak akibat penambangan timah. Jangan sampai adanya jembatan justru mendorong penambangan meningkat. Pemerintah Bangka harus ketat dan tegas soal ini. Misalnya, melakukan moratorium, termasuk pula pembukaan hutan di Bangka untuk perkebunan yang merusak alam,” katanya.

 

Nelayan tradisional yang menggantungkan hidup mencari ikan dengan peralatan sederhana. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Nasib nelayan di Selat Bangka

Muhammad Hairul Sobri berharap, pembangunan jembatan ini jangan hanya untuk kepentingan perluasan dan akses eksploitasi sumber daya alam, terutama HTI, sawit, dan pertambangan. “Perlu ada perhatian khusus bagi nelayan yang menggantung hidupnya di Selat Bangka. Setidaknya, pembangunan ini tidak akan berdampak pada rusaknya wilayah tangkapan ikan nelayan.”

Rustandi Adriansyah, Ketua AMAN [Aliansi Masyarakat Adat] Sumatera Selatan, juga mencemaskan nasib nelayan yang selama ini mencari ikan di Selat Bangka. Baik nelayan di sepanjang pesisir timur Sumatera Selatan maupun di Pulau Bangka. “Bentang alam pasti berubah dengan hadirnya jembatan, khususnya gambut dan mangrove. Nelayan tentunya akan merasakan,” katanya, Minggu [11/08/2019].

Rustandi berharap, pemerintah melakukan kajian akurat terkait dampak lingkungan, sosial dan ekonomi yang dirasakan masyarakat. “Khususnya, terkait zona tangkapan ikan nelayan,” katanya.

Rabin Ibnu Zainal, Direktur Pinus [Pilar Nusantara] Sumsel, mengatakan jembatan tersebut jelas memberikan dampak ekonomi bagi pemerintah terkait transportasi. Tapi, dia berharap pemerintah melakukan kajian dampak lingkungan. Selain mengancam berkurangnya kawasan gambut, hutan mangrove, juga aspek kriminalitas.

Masyarakat Bangka yang selama ini hidup relatif tenang atau angka kriminalitas rendah, bukan tidak mungkin mengalami perubahan, khususnya keamanan. Pemerintah bukan hanya fokus pada fisik jembatan, juga mengantisipasi berbagai dampak tersebut,” ujarnya, Minggu [11/08/2019].

 

Pecahan keramik dari masa Dinasti Tang di Kanal 8 Sumatera Selatan. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Jaga situs pemukiman masyarakat Sriwijaya

Conie Sema, seniman dari Teater Potlot, teater yang terus menyuarakan persoalan rawa gambut di Sumatera Selatan, termasuk keberadaan situs permukiman Sriwijaya di Cengal, Tulungselapan dan Air Sugihan di Kabupaten OKI mengatakan, harus ada jaminan perlindungan terhadap keberadaan situs pemukiman Sriwijaya tersebut. Sebab, hadirnya jembatan menyebabkan kawasan gambut terbuka. Banyak pihak akan mengelola kawasan gambut menjadi infrastruktur maupun lainnya.

“Apalagi sebagian besar gambut di sana sudah dikuasai perusahaan atau pribadi. Hanya sebagian kecil yang dikuasai negara. Sementara situs, sebagian besar berada di kawasan konsesi perusahaan dibandingkan perorangan,” katanya, Minggu.

Seperti diberitakan Mongabay Indonesia sebelumnya, kawasan gambut di Cengal, menurut Nurhadi Rangkuti, arkeolog dan mantan Kepala Balar Sumsel, di masa lalu merupakan sebuah bandar Sriwijaya yang ramai dikunjungi berbagai kapal dari belahan dunia. Sebagaimana ditulisnya dalam artikelnya “Teluk Cengal: Lokasi Bandar Sriwijaya” di Kemendikbud.

 

Peta persebaran lahan gambut di Sumatera Selatan. Sumber: HaKI [Hutan Kita Institute]

 

Berdasarkan data Balai Arkeologi Sumsel, di wilayah Air Sugihan yang masuk Kabupaten OKI dan Banyuasin, terdapat 58 situs Sriwijaya yang tersebar di Desa Banyubiru [24], Desa Kertamukti [18], Desa Riding [6], Desa Nusantara [5], dan Desa Bukit Batu [3]. Ini belum termasuk di Cengal dan Tulungselapan.

“Kami berharap, setiap pembangunan di Sumsel benar-benar dikaji dampaknya bagi lingkungan. Bukan hanya ekologi juga sosial dan budaya, sehingga setiap pembangunan tidak meninggalkan jejak kelam bagi sejarah bangsa. Seperti halnya pembangunan pabrik PT. Pusri yang menghabisi situs permukiman Kuto Gawang di Palembang,” kata Conie.

Sebelumnya Conie Sema mengatakan restorasi gambut di Sumatera Selatan dari 2017-2019, belum ada program terkait restorasi gambut di lokasi penemuan situs permukiman Kerajaan Sriwijaya, seperti di Cengal. “Restorasi tidak menyelamatkan, jangan pula pembangunan menghancurkan,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version