- Indonesia adalah negara kunci untuk ikut memetakan kondisi dan mengendalikan dampak perubahan iklim di semua negara kepulauan dan negara pulau. Pengalaman Indonesia dalam melaksanakan mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim, menjadi kekuatan utama untuk mengatasi isu tersebut
- Dengan bergandengan tangan di antara negara kepulauan dan negara pulau, Indonesia optimis semua dampak perubahan iklim yang sudah dan akan datang bisa diatasi ataupun dikendalikan. Dampak itu, terutama untuk yang akan terjadi di wilayah lautan dunia
- Sebagai komitmen untuk membantu negara kepulauan dan negara pulau, Indonesia berani menggelontorkan dana senilai Rp14 miliar yang disalurkan melalui skema kerja sama dengan Badan PBB untuk Pembangunan (UNDP)
- Dana Rp14 miliar tersebut akan digunakan untuk membiayai beragam program penanganan dampak perubahan iklim di seluruh negara yang tergabung dalam Forum archipelagic and island states (AIS) yang di dalamnya beranggotakan 49 negara kepulauan dan negara pulau
Dampak perubahan iklim yang sekarang terjadi di seluruh dunia, akan dirasakan oleh seluruh penduduk dunia beserta sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Ancaman tersebut akan semakin cepat terjadi, jika tidak ada upaya penanganan yang dilakukan oleh negara-negara di dunia. Termasuk, di dalamnya adalah Indonesia, negara dengan jumlah pulau yang banyak dan garis pantai terpanjang kedua di dunia.
Bagi Pemerintah Indonesia, isu perubahan iklim adalah isu yang harus direspon ekstra cepat dan kilat. Hal itu, karena wilayah Indonesia terdiri dari banyak pulau dan dipisahkan oleh lautan yang menguasai dua per tiga wilayah Indonesia. Kalau wilayah laut sampai terdampak, maka pulau-pulau akan terancam juga dengan cepat.
Pandangan itu diutarakan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan saat berbicara di Jakarta, pertengahan Juli lalu. Menurut dia, Indonesia harus menunjukkan komitmennya untuk terlibat dalam upaya penanganan dampak perubahan iklim bersama negara pulau dan kepulauan yang ada di dunia (archipelagic and island states/AIS).
Di mata Luhut, Indonesia adalah salah satu negara kepulauan besar yang ada di dunia dan karenanya harus bisa berperan untuk menginisiasi upaya penanganan dampak perubahan bagi negara-negara yang masuk dalam kelompok Forum AIS. Peran tersebut sangat penting, karena itu bisa membantu negara-negara dalam upaya mengendalikan dampak perubahan iklim.
Untuk itu, Luhut mengatakan, Indonesia berkomitmen mendukung pendanaan untuk pembiayaan penanganan dampak perubahan iklim di seluruh negara yang tergabung dalam forum AIS. Pendanaan tersebut dilakukan melalui kerja sama dengan Badan PBB untuk Pembangunan (UNDP) dengan nilai mencapai USD1 juta atau sekitar Rp14 miliar.
“Dana tersebut untuk penanganan krisis perubahan iklim,” ucapnya.
Adapun, dana yang disumbangkan tersebut, menurut Luhut, berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) yang dikucurkan selama tiga tahun dari 2019 hingga 2021. Dana tersebut diharapkan sudah bisa digunakan untuk operasional negara AIS mulai 2020 mendatang.
baca : Begini Seruan Indonesia Atasi Dampak Perubahan Iklim untuk Negara Kepulauan di Dunia
Inovasi Pembiayaan
Menurut Luhut, perjanjian pendanaan bersama dengan UNDP, akan memperkuat berbagai proyek yang menyangkut perubahan iklim, perlindungan laut, dan sekaligus memberikan dukungan melalui aksi nyata untuk menciptakan solusi keuangan inovatif bagi negara-negara kepulauan, terutama yang kecil wilayahnya dan rentan terhadap bencana.
Jalinan kerja sama tersebut, kata Luhut, juga menjadi lanjutan dari komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam penanganan dampak perubahan iklim di negara AIS. Komitmen tersebut ditegaskan dalam pertemuan tingkat menteri Forum AIS 2018 yang digelar di Manado, Sulawesi Utara pada November.
Adapun, penandatanganan perjanjian pendanaan tersebut dilakukan langsung oleh Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim Kemenko Maritim Purbaya Yudhi Sadewa dan Kepala Perwakilan UNDP untuk Indonesia Christophe Bahuet dan disaksikan langsung oleh Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
“Pendanaan 1 juta dollar AS dari Pemerintah (Indonesia) ini dan UNDP akan top up, akan digunakan agar sekretariat Forum AIS bisa segera berjalan,” sebutnya.
baca juga : Indonesia Kembali Serukan Blue Carbon Untuk Penanganan Perubahan Iklim
Sesuai perjanjian tertulis, Indonesia dan UNDP akan bergerak bersama untuk menyalurkan dana USD1 juta untuk negara yang menjadi anggota Forum AIS. Adapaun, dana tersebut disalurkan untuk menciptakan mekanisme pembiayaan inovatif untuk aksi perubahan iklim dan sekaligus menciptakan ekosistem lautan secara berkelanjutan.
“Pendanaan ini juga bertujuan untuk meningkatkan penggunaan sumber daya laut secara berkelanjutan,” tegasnya.
Pentingnya menjamin pembiayaan, menurut Luhut, karena dampak dari perubahan iklim adalah terjadinya pemanasan global yang tidak bisa dihentikan. Akibatnya, terjadi kenaikan permukaan laut dan mengancam negara kepulauan dan negara pulau, terutama yang wilayah darat atau jumlahnya penduduknya kecil. Ancaman tersebut harus bisa dihentikan, dengan berbagai cara dan metode penanganan.
Luhut menyebutkan, saat ini ada negara pulau yang jumlah penduduknya ada di kisaran 10 ribu hingga 200 ribu. Negara seperti itu, menjadi salah satu yang paling terancam keberadaannya berkaitan dengan dampak perubahan iklim. Untuk itu, Indonesia yang berperan sebagai negara kunci dalam mendukung adaptasi perubahan iklim, ingin berkontribusi untuk melaksanakan mitigasi dampak perubahan iklim.
“Misalnya, dengan memberikan pelatihan SDM (sumber daya manusia) yang sebenarnya sudah kita lakukan, tapi sekarang kita formalkan. Indonesia siap untuk berbagi keahlian dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, manajemen bencana, restorasi mangrove, dan terumbu karang,” papar dia.
Kepala Perwakilan UNDP untuk Indonesia Christophe Bahuet menyatakan keterlibatan Indonesia menjadi langkah penting dalam upaya mewujudkan lautan dunia berkelanjutan dan akan menjadi senjata utama perjuangan masyarakat dunia untuk melawan dampak perubahan iklim. Bagi dia, laut yang sehat dan tidak tercemar akan menjadi sumber kehidupan dan mata pencaharian yang baik.
“Saya berterima kasih karena Pemerintah Indonesia telah bersedia menjadi negara yang pertama kali merealisasikan komitmennya untuk membiayai Forum AIS,” ucapnya.
perlu dibaca : Indonesia Harus Belajar Riset untuk Adaptasi Perubahan Iklim
Negara Kunci
Bagi Christophe, apa yang dilakukan Indonesia tersebut, menjadi penegas bahwa Indonesia saat ini sedang bergerak aktif untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan seperti yang sudah dicatat dalam dokumen tujuan pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals (SDGs). Dan karenanya, itu sejalan dengan UNDP yang mendukung pembangunan Indonesia untuk lebih lagi.
“Bagi kami, AIS forum inisiatif bukti komitmen Indonesia untuk mencapai SDG’s, terutama untuk mengatasi perubahan iklim. Kami menyambut baik insiatif ini dan akan melaksanakan banyak kegiatan,” pungkas dia.
Diketahui, Forum AIS berdiri pada November 2018 dengan Indonesia berperan sebagai inisiator. Dalam forum tersebut, terdapat 49 negara yang bergabung menjadi anggota. Di antaranya adalah Kuba, Pulau Comor, Siprus, Fiji, Guinea-Bissau, Jamaika, Madagaskar, Selandia Baru, Papua Nugini, Saint Kitts dan Nevis, Sri Lanka, Seychelles, Singapura, Kepulauan Solomon, Suriname, dan Timor Leste.
Di dalam forum AIS, semua negara anggota bisa terlibat dan berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan seperti sektor swasta, masyarakat sipil, dan akademisi. Keterlibatan tersebut bertujuan untuk menggali isu dan mencari solusi berkaitan dengan dampak perubahan iklim serta perlindungan laut di seluruh dunia.
Perubahan iklim sudah menyebabkan gleiser dan es di kutub-kutub bumi mencair dan mengakibatkan permukaan laut naik hingga masuk ke wilayah pesisir atau daratan. Di Indonesia, pemanasan global ini salah satunya berdampak pada tenggelamnya 2 dukuh (wilayah bagian dari sebuah desa) di Kabupaten Demak, Provinsi Jawa Tengah, karena banjir rob.
Dampak perubahan iklim, juga diketahui bisa memicu tenggelamnya sekitar 2000 pulau kecil di Tanah Air pada 2030. Analisa itu dipublikasikan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan PBB pada 2009. Akibat perubahan iklim juga, dampak negatif menimpa terumbu karang di sejumlah kawasan, termasuk di kawasan Pasifik Barat.
Kemudian, kenaikan suhu air laut hingga 4 derajat yang diakibatkan pemanasan global, juga akan menyebabkan sekitar 89 persen terumbu karang di wilayah Pasifik Barat dan sekitarnya mati. Tak hanya itu, dampak negatif dari pemanasan global juga mengakibatkan turunnya pemasukan di sektor pariwisata maupun perikanan.
Baik Luhut maupun Christophe sepakat, permasalahan yang kompleks akibat dampak dari perubahan iklim, sudah menjadi tantangan nyata bagi Indonesia dan negara kepulauan serta negara pulau yang ada di dunia. Untuk itu, perlu upaya nyata dengan cara bergandengan tangan dalam memerangi persoalan tersebut sampai menemukan solusi yang jitu.