Mongabay.co.id

Sekolah di Zona Lahar Gunung Berapi ini Makin Rentan Karena Penambangan Pasir

 

Sebanyak 271 foto drone digabungkan untuk mendapat foto utuh dari udara tentang situasi sekolah SMPN 3 Bebandem, Kabupaten Karangasem, Bali dan sekitarnya.

Hasilnya, sebuah visual yang jika menggunakan drone dalam sekali potret harus dari ketinggian sekitar 50 km. Sementara drone tim Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB) ini hanya mampu sekitar 500 meter. Dari tampilan visual ini, sebuah peta risiko bencana dipresentasikan pada lebih dari 350 siswa SMPN 3 Bebandem, guru, dan tim Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Karangasem pada Kamis (14/8/2019).

Asep Saepuloh dari ITB memberikan peringatan serta rekomendasi sebagai mitigasi bencana kegunungapian. Namun, ratusan siswa sekolah, guru, dan warga sekitarnya makin rentan tak hanya karena berada di zona lahar, debu dan abu vulkanik, serta awan panas Gunung Agung. Juga longsor dan banjir akibat alur sungai makin dalam, cekung, dan melebar karena penambangan pasir.

baca : Hati-hati, Gempa di Bali Berpotensi Tsunami Tinggi

 

Tim ITB memperlihatkan foto udaranya dan membandingkan kondisi tahun lalu. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Foto drone dan peta ditayangkan. Foto udara kondisi 2018 dan terbaru diambil saat pelatihan siaga bencana 13-14 Agustus 2019. Dalam satu tahun saja, perubahan mencolok terlihat. Kondisi hulu beberapa puluh meter dari sekolah makin terlihat bopeng karena tambang material bangunan, kerikil, batu, dan pasir. Tembok sekolah jebol karena banjir mengikis pondasi bangunan akibat cekungnya sungai.

Sedikitnya ada tiga potensi bencana yang kini dihadapi sekolah. Pertama jika Gunung Agung erupsi, ada awan panas, debu dan abu vulkanik, serta lahar hujan yang melewati zona sekolah. “Lokasi sekolah ini berdiri adalah material letusan di masa lalu,” ujar Asep.

Di kiri dan kanan sekolah adalah zona awan panas, pernah melewati sekolah dari jejak sisa material letusan tahun 1040 dan terakhir 1963. “Kondisi jalur awan panas dan lahar sudah sejajar, tak ada lembah lagi. Kekhawatiran jika erupsi sebesar itu, sangat berisiko,” paparnya. Kalau dihitung, jarak dari pusat erupsi sekitar 10 km ke Spentriba, kependekan SMPN 3 Bebandem ini.

Jika kecepatan awan panas paling lambat diasumsikan 150 km/jam. Berapa waktu tiba ke sekolah? Jarak dibagi kecepatan, 10/150 adalah 0,067 jam, Dijadikan menit, maka dikalikan 60 menit, hasilnya 4 menit. Hanya ada waktu 4 menit menuju tempat aman.

baca juga : Pasca Longsor, Pemerintah Bentuk Kampung Siaga Bencana di Geopark Batur Bali. Seperti Apa?

 

Anak-anak SMPN 3 Bebandem, Karangasem, Bali simulasi evakuasi menuju titik kumpul di halaman sekolah. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Dalam empat menit sejauh mana yang bisa dicapai siswa? Jika kecepatan lari dewasa sehat rata-rata 15 km/jam dan punya waktu 4 menit, berarti jarak terjauh yang bisa ditempuh 1 km. “Jika lari ke jalan raya utama sekolah hanya sampai di ujung jalan, masih di zona awan panas,” lanjut Asep. Untungnya pintu masuk sekolah langsung ke jalan, ada titik aman di pura terdekat, sementara lapangan Budakeling jaraknya 3 km.

Potensi kedua adalah longsor karena aliran lahar dan hujan. Dari perbandingan foto 2018 dan 2019, material tambang terlihat sudah masuk ke aliran sungai dan labil, berpotensi robekan longsor. Makin cekung atau dalam, maka pondasi sekolah makin rapuh. Proses erosi makin cepat.

Potensi bahaya ketiga, lahar. Potensi volume lahar di hulu jauh akan lebih besar namun ada situasi bottle neck di samping sekolah. Aliran sungai menyempit dan menikung. Jika kecepatan lahar meningkat maka energinya besar. “Mampet dan makin rawan. Bisa ambrol. Apalagi di hulu ada TPA, bisa terjadi banjir lahar dan sampah,” ingat Asep.

menarik dibaca : Belajar Mitigasi Bencana Dari Refleksi 200 Tahun Gempa Dahsyat di Bali  

 

Anak-anak SMPN 3 Bebandem, Karangasem, Bali simulasi evakuasi menuju titik kumpul di halaman sekolah. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Ada sejumlah rekomendasi untuk sekolah, pemerintah dan penghuni sekolah. Pihak sekolah terus siaga karena potensi bahaya tak hanya gunung api, juga longsor. Untuk BPBD Karangasem, jika ada program pengembangan kesiapsiagaan bisa saling mengisi. Sementara untuk pemerintah, diperlukan tata kelola ruang. “Lahar bisa ditambang selama memperhatikan rancangan tata ruang, di mana menambang, menimbun sampah, dan pemukiman,” pungkas Asep.

Asep Saepuloh dan I Gusti Bagus Eddy Sucipta adalah dua doktor ITB yang menjalankan program edukasi bencana kegunungapian dari ITB, didukung sejumlah pihak seperti USAID, dan di Bali ada komunitas Sky Watcher dan I am An Angel (IAA), sebuah komunitas sosial di Bali. Kegiatan serupa pada awal November 2018 di SMPN 5 Kubu, Karangasem.

Ida Wayan Arimbawa, Kepala Pelaksana BPBD Karangasem mengatakan pihaknya sedang membahas revisi rencana tata ruang dan wilayah (RTRW) mitigasi bencana. Merekomendasikan konsep tata ruang pengurangan risiko bencana. Misalnya tidak melakukan penambangan sekitar tempat ibadah dan daerah resapan.

 

Siswa berlatih membuat masker darurat dari baju kaos. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Pembahasan tata ruang zona bahaya di kawasan rawan bencana (KRB) III atau 6 km diharapkan tidak ada pembangunan akomodasi untuk wisata kecuali destinasi wisata yang sudah ada. Penambangan hanya diperbolehkan di bawah sabo dam tertinggi, sebagai penahan lahar dingin buatan. Agar tak tergerus. “Perlu sinergitas pengusaha dan pemerintah,” katanya.

Tak perlu jauh mendaki ke hulu untuk melihat padatnya aktivitas penambangan di area ini. Di depan sekolah, jalan raya tak pernah sepi dengan hilir mudik truk-truk pembawa material. Pos-pos dengan petugas pungutan bertebaran di beberapa titik.

Kurang dari 3 menit dari sekolah, sebagian jalan raya dan jembatan masih ambrol diterjang hujan membawa material. Jalur sungai penuh gunungan pasir dan batu siap diangkut. Alat berat nampak bekerja mengeruk alur sungai, untuk menambang materialnya. Pepohonan yang terbawa banjir masih berserakan.

I Wayan Jati, Kepala Sekolah SMPN 1 Bebandem tak menyangka bagian Timur sekolahnya ambruk tergerus suangai saat musim hujan lalu. “Air melewati sekolah. Sekolah berisiko karena aliran lahar. Kami tetap mengedukasi, simulasi ini sangat penting bagi kami. Agar anak kami tanggap bencana,” urainya.

Sekolah dengan bantuan tim ITB sudah memasang rambu-rambu evakuasi mulai dari tiap kelas, mengarah ke dua titik kumpul di halaman dan gerbang sekolah. Ia mengatakan saat ini jumlah siswa 364 orang, guru dan pegawai 33 orang.

Kalimat yang terus diulang-ulang para fasilitator pelatihan ini, bencana adalah bahaya dikali kerentanan. Kerentanan ini yang harus diturunkan. Jika bahaya tinggi, kerentanan rendah mendekati nol, maka tak jadi bencana. Yang dikhawatirkan kesiapsigaan menghadapi. “Agar kerentanan turun, perlu tahu potensi bahaya di sekitar kita untuk diantisipasi,” ujar Asep.

 

Iringan truk tak henti-henti hilir mudik di kawasan hulu dan hilir sekolah mengangkut material tambang galian C batu dan pasir. Jalur lahar terlihat makin dalam dan melebar. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Eddy mengingatkan sejumlah hal yang harus diperhatikan saat erupsi. Saat terjadi bencana, prioritaskan telpon untuk gawat darurat, pantau radio lokal untuk aktivitas gunungapi. Jangan gunakan lensa kontak karena mengakibatkan kerusakan kornea. Jika terdapat abu dalam wadah air, biarkan mengendap dahulu. Karena setelah tercampur abu, PH air berubah, sudah asam. Kurangi paparan abu vulkanik dengan masker N95 atau masker jenis lain asalkan bisa masih bisa leluasa bernafas.

Dalam simulasi awal, ketika alarm dari pengeras suara dibunyikan, anak-anak masih belum menyadarinya. Ketika bunyi alarm berikunya berbunyi baru mereka merunduk dengan tas di atas kepala sambil berlari kecil menuju pintu keluar kelas, lalu titik kumpul.

Sonia, siswa perempuan yang menyeret kakinya saat berjalan, dituntun temannya keluar ke lapangan menuju titik kumpul terdekat. Dalam simulasi ini, siswa dituntut peduli dengan temannya, tiap kumpul diabsen.

Saat evaluasi yang difasilitasi Yanendra, relawan siaga bencana, diketahui masih ada motor diparkir tak sesuai, yakni menutup jalan evakuasi. Untuk efektifitas, kepala motor harus di bagian depan, agar mudah dan hemat waktu ketika terburu-buru.

Tim teater siaga bencana yang sudah lulus pun hadir dan mempertunjukkan teater siaga bencana. Salah satu inovasi sekolah ini dalam menumbuhkan pengetahuan dan kepekaan. Mei, Eka, dan Putu mengajak siswa di almamaternya melepas trauma ketika beberapa bulan hidup dalam kecemasan saat Gunung Agung beberapa kali erupsi pada akhir 2017 lalu.

 

Exit mobile version