Mongabay.co.id

Sudah Saatnya Pemelihara Orangutan Diproses Hukum

 

 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] telah meluncurkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi [SRAK] Orangutan 2019-2029. Dokumen ini melanjutkan SRAK Orangutan 2007-2017.

Ketua Forum Orangutan Aceh [FORA], Akmal Qurazi mengatakan, SRAK Orangutan yang disahkan melalui Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK.308/MENLHK/KSDAE/KSA.2/4/2019 pada 26 April 2019, harus juga jadi landasan penegakan hukum terhadap pemelihara orangutan.

“Selama ini, ketika ada masyarakat atau siapapun yang memelihara orangutan, pemiliknya tidak tersentuh hukum. Hanya orangutan disita, sementara pelaku dilepaskan tanpa diperiksa,” ungkapnya.

Menurut Akmal, saat orangutan masih kecil atau bayi, banyak yang tertarik memelihara. Tapi, saat sudah besar si pemelihara kesulitan memberi makan, lalu diserahkan ke lembaga konservasi. Orangutan diambil, masalah dianggap selesai.

“Penegak hukum selama ini tidak pernah mencari tahu asal usul orangutan, apakah hasil perburuan atau bukan,” katanya.

Ketika pemelihara tidak ditindak sesuai aturan, jangan bermimpi orangutan akan berkurang di pusat rehabilitasi. Masyarakat masih banyak tertarik memelihara satwa dilindungi itu.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem tidak menyentuh pemelihara orangutan karena salah satu alasannya lebih mengutamakan sosialisasi dan pendekatan persuasif.

“Aturan tegas harus ada,” jelasnya.

Baca: SRAK Orangutan 2019-2029 Diluncurkan, Strategi Apa yang Diutamakan?

 

Orangutan sumatera yang kehidupan dan habitatnya harus kita lindungi dari segala bentuk kejahatan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Aceh bersama lembaga mitra, sejak 2013 sampai 2018, telah menyita 40 individu orangutan yang dipelihara atau diperjualbelikan. Dengan rincian, 2013 [7 individu], 2014 [3 individu], 2015 [8 individu], 2016 [9 individu], 2017 [6 individu], dan 2018 [7 individu].

“Untuk pelaku yang memperjualbelikan orangutan sumatera diproses sesuai hukum. Sementara masyarakat yang kedapatan memelihara hanya diperingati dan orangutannya disita,” ujar Sapto Aji Prabowo, Kepala BKSDA Aceh.

Sapto berpendapat, untuk menyelamatkan sekitar 13.000 individu orangutan yang hidup di hutan Leuser, baik di Provinsi Aceh maupun Sumatera Utara, masyarakat yang kedapatan memelihara orangutan harus ditangkap. Diproses sesuai aturan berlaku, tidak hanya menyita orangutan.

“Selama ini pemelihara orangutan tidak pernah diberikan ganjaran hukum. Ini tidak akan menjadi pelajaran untuk orang lain dan membuat perburuan tetap terjadi,” ungkapnya.

Sapto mengatakan, selama ini ketika sang pemilik bosan memelihara, umumnya orangutan sudah besar, mereka tinggal serahkan ke BKSDA. Masalah selesai. “Ini harus diubah, mereka harus ditangkap dan dijerat sesuai aturan,” terangnya.

Baca: Hukuman Ringan untuk Penembak Orangutan dengan 74 Peluru

 

Evakuasi orangutan dilakukan untuk menyelamatkan satwa dilindungi ini dari konflik atau habitatnya yang rusak. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Manager Anti Kejahatan Satwa Liar Centre for Orangutan Protection [COP], Daniek Hendarto sependapat dengan pernyataan Kepala BKSDA Aceh. Catatan COP menunjukkan, hingga kini belum ada pemelihara orangutan, khususnya orangutan sumatera, ditangkap dan diproses hukum.

“Selama ini, kami dari lembaga masyarakat sipil selalu mendorong agar pemelihara dihukum, guna memberi efek jara,” terangnya.

Salah satu cara menghentikan perburuan orangutan adalah dengan memutuskan rantai perdagangan. Ini bisa dimulai dari orang yang memelihara. Terlebih UU No 5/18990 sudah cukup lama ditetapkan, tidak dalam jangka sosialisasi.

“Dari pemelihara, penegak hukum bisa menelusuri asal orangutan itu. Kalau dibeli dari siapa, dan selanjutnya,” urainya.

Baca juga: Pemeliharaan, Tantangan Tingkat Tinggi Konservasi Orangutan

 

Kekerasan terhadap orangutan terus terjadi. Penegakan hukum harus dilakukan terhadap pelaku kejahatan satwa liar dilindungi ini. Foto: Centre for Orangutan Protection

 

Laju deforestasi 

Laju deforestasi juga menjadi ancaman keberhasilan SRAK. Senior Manajer Program The Nature Conservancy [TNC] Kalimantan Timur, Niel Makinuddin menjelaskan, faktor utama yang mengancam populasi orangutan adalah konversi habitat dan perburuan. Berkaca SRAK 2007-2017, orangutan masih dianggap hama, angka perburuan tinggi, dan tingkat kesadaran masyarakat rendah.

Menurut dia, dari tiga subspesies orangutan di Kalimantan, Pongo pygmaeus morio merupakan penguhuni Kaltim dan sebaran utamanya di Berau-Kutim [bentang alam Wehea dan Kelay]. Sebagian lagi ada di Sabah. Subjenis Morio ini jumlahnya paling sedikit dan paling terancam dibandingkan Pongo pygmaeus pygmaeus [Kalimantan Barat] dan Pongo Pygmaeus wurmbii [Kalimantan Tengah].

“Konversi habitat menjadi ancaman paling mematikan yang harus dijawab tuntas. Di Kaltim, skala besarnya adalah perkebunan sawit,” jelasnya.

Niel mengatakan, deforestasi sesungguhnya hal dinamis, kesimpulannya bisa naik dan turun. Pada 2017, laju deforestasi naik dikarenakan sudah ada kepastian hukum penggunaan lahan berupa Perda Nomor 1 tahun 2016 tentang RTRW [Rencana Tata Ruang Wilayah].

“Ini namanya deforestasi terencana. Artinya jauh sebelumnya, sudah ada izin namun belum berani aksi karena belum ada kepastian hukum. Meski demikian, tingkat deforestasi 2017 masih dibawah angka target penurunan emisi gas rumah kaca Kalimantan Timur,” ujarnya.

Selanjutnya 2018, laju deforestasi turun. Ini menunjukkan, deforestasi tidak selalu meningkat. “Kedepan, saya optimis laju deforestasi bisa dikendalikan. Sebab beberapa daerah, contoh Kabupaten Berau, lebih menekankan upaya peningkatan produksi per hektar dibandingkan memberikan izin baru atau perluasan,” jelasnya.

Saat ini, Niel mengungkapkan, Dinas Perkebunan dibantu para mitra kerja LSM dan akademisi, mendata dan menata tutupan hutan atau forest coverage di kawasan perkebunan yang jumlahnya sekitar 640 ribu hektar, tersebar di 7 kabupaten di Kalimantan Timur. Beberapa pihak meyakini angka luasannya, bahkan lebih besar, namun angka tersebut sementara karena masih terus didata dan ditata.

“Ini merupakan upaya perbaikan tata kelola tutupan hutan di kawasan perkebunan. Ancaman habitat orangutan memang ada, namun berbagai pihak terus berupaya memperbaiki dan mencegah. Tidak mudah pastinya karena berhadapan dengan modal besar,” katanya.

 

Tim Rescue BOSF di Nyaru Menteng, Kalimantan Tengah, menyelamatkan orangutan jantan yang dipelihara warga Desa Bangkuang selama tiga tahun. Foto: BOSF/Indrayana

 

CEO BOSF [Borneo Orangutan Survival Foundation], Jamartin Sihite mengatakan, pihaknya membutuhkan hutan luas dan rimba, untuk menampung ratusan orangutan yang dirawat di pusat rehabilitasi BOSF. Sekitar 140 orangutan dirawat di Samboja Lestari dan 360 orangutan berada di Kalimantan Tengah. Lebih dari separuhnya antri untuk segera dikembalikan ke alam.

Hutan kehje Sewen yang saat ini dimanfaatkan BOSF, sudah terlalu sempit. Pasalnya, ruang jelajah satu individu orangutan membutuhkan puluhan kilometer. Sedangkan, di Kehje Sewen, tidak semua bagian cocok dijadikan tempat tinggal orangutan.

“Untuk satu kali pelepasliaran, harus diketahui kondisi lokasinya. Apakah pakan cukup, jenis tumbuhan dan bagaimana ancamannya. Tidak semua bagian Kehje Sewen cocok didiami orangutan,” jelasnya.

Jamartin menyambut baik kehadiran SRAK 2019 – 2029. Menurutnya, kondisi orangutan di Kalimantan Timur memang terancam deforestasi. Program SRAK akan berhasil jika semua pihak bekerja sama, bahu-membahu.

“Semua pihak harus menjadi solusi. Bukan saling lempar tanggung jawab. Keberhasilan SRAK adalah masa depan kehidupan orangutan,” pungkasnya.

 

 

Exit mobile version