Mongabay.co.id

Bongkar Muat Batubara PLTU Pangkalan Susu Potensi Cemari Laut, Berikut Foto dan Video

 

 

 

 

Tampak dari kejauhan, beberapa kapal pengangkut batubara tengah memindahkan hasil tambang ke tongkang. Air laut sekitar tak biru lagi, tetapi terlihat kehitanan. Dulu, laut Selat Malaka ini biru dengan lumba lumba acapkali terlihat. Pemandangan ini sudah hal langka.

Kapal nelayan mendekat ke kapal besar yang tengah memindahkan batubara ke tongkang. Awalnya, ada empat alat bekerja memindahkan batubara. Ketika kapal kami mendekat, hanya ada satu masih beroperasi, yang lain setop.

Kapal-kapal yang membawa batubara pada akhir Juli itu akan memasok bahan listrik ini ke PLTU Pangkapan Susu, Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Pangkalan Susu, Langkat, Sumatera Utara.

Data Yayasan Srikandi Lestari, ada empat PLTU Pangkalan Susu, yaitu PLTU I-IV. Kala semua beropersi kapasitas 4 x 200 MW dan perlu batubara sekitar 10.000–15.000 ton perhari.

Sumiati Surbakti, Ketua Pengurus Yayasan Srikandi Lestari mengatakan, dalam memenuhi pasokan listrik, dari analisis mereka, PLTU-PLTU Pangkalan Susu, harus mempunyai ketersediaan batubara 600.000 ton-900.000 ton.

Data Walhi Sumatera Utara, untuk PLTU I dan II kebutuhan batubara 480.000 ton pertahun, II dan IV perlu 2.140.000 ton pertahun.

Fhilya Himasari Sinulingga, Manager Program dan Organisasi Walhi Sumut mengatakan, dari penelusuran Walhi, perusahaan pemasok batubara untuk PLTU Pangkalan Susu, adalah konsorsium PT. Energi Batubara Lestari dan PT Batara Batari Sinergi Nusantara. Juga, konsorsium PT Hanson Energi terdiri dari PT Hanson Energi Baturaja, PT. Corby Putra Utama, dan PT. Ogan Energi.

Perusahaan-perusahaan ini, katanya, kemungkinan memasok batubara untuk PLTU Pangkalan Susu I-II. Perusahaan pemasok batubara III-IV, PT. Bukit Sumut, Jambi, dan PT Arutmin Indonesia, Kaltim.

“Ada tujuh perusahaan memasok 2 juta ton lebih batubara per tahun untuk PLTU Pangkalan Susu,” kata Filya.

Batubara-batubara ini masuk melalui jalur laut. Dari data dan pemetaan, kapal pengangkut batubara ini melintasi perairan laut Selat Malaka.

Pantauan lapangan, ada antrian sebelum proses bongkar muat. Waktu bisa beberapa hari. Kapal akan berhenti di tengah laut, parkir selama berhari-hari dengan terbuka.

Kondisi ini, menurut Forum Chemical Engineering Sumatera, rentan pencemaran laut.

Syarifah Ainun, analisis dari Forum Chemical Engineering Sumatera mengatakan, batubara mengandung unsur radioaktif uranium dan thorium. Kalau terpapar dengan senyawa beracun ini, katanya, bisa menyebabkan kematian. Debu reaksi kimia dari limbah batubara melalui proses pembakaran. Saat bahan bakar terpakai, bisa menimbulkan racun dan berbahaya bagi manusia yang menghirupnya.

Secara medis, katanya, kalau terpapar debu batubara bisa bikin paru paru hitam dan kanker. Juga penurunan kecerdasan, stroke dan serangan jantung.

 

Air laut di sekitar penumpukan batubara untuk PLTU Pangkalan Susu sudah bewarna coklat, tak jernih lagi. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Ancaman serupa juga terjadi pada biota laut yang terpapar zat berbahaya batubara.

“Pemerintah hanya memperhitungkan harga murah batubara dan mengenyampingkan efek buruk bagi kesehatan makhluk hidup yang terpapar,” katanya.

Kala angkut batubara dengan kapal terbuka di tengah laut, kala hujan mungkin batubara cemari air laut. Biota laut pun terpapar, dan berakhir jadi bahan makanan manusia.

“Sederhananya begini, air hujan bersifat asam dengan pH di bawah 6. Bersifat sulfur ada senyawa HCL, CO2 plus senyawa kimia pada batubara. Jika bertemu, akan terjadi reaksi baru bersifat racun. Tumbuhan, binantang laut dan lain-lain. jika terpapar maka akan menimbulkan kematian,” katanya.

Dia bilang, mengidentifikasi mudah, dengan melihat air di sekitar tongkang atau kapal. “Kalau berubah dari biru jadi hitam, sudah tercemar.”

 

Tempat penampungan batubara setelah dari tongkang. Foto: Ayat S karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Nelayan merana

Limbah batubara jatuh ke laut, menyebabkan tangkapan nelayan jauh berkurang. Limbah abu yang jatuh ke air juga menyebabkan usaha tambak gagal panen.

Data Yayasan Srikandi Lestari, limbah abu juga membuat kesehatan masyarakat di sekitar PLTU Pangkalan Susu, terganggu hingga banyak warga alami gangguan pernapasan.

Tazuddin, nelayan Pangkalan Susu mengatakan, dampak limbah batubara maupun batubara tumpah membuat hasil tangkapan ikan jauh menurun.

Sebelum ada PLTU hasil tangkapan rata-rata 10 kg sekitar Rp150.000-Rp200.000 per sekali turun ke laut. Sejak ada PLTU berbahan batubara, hasil jual ikan tidak sampai Rp35.000.

“Kami sulit mencari ikan dan udang di laut. Untuk dapatkan dua tiga kilogram saja sangat sulit. Nelayan kecil benar-benar merasakan ini.”

Sebagian nelayan juga mengeluhkan udara tak bersih. Ketika hujan, air turun tak lagi bisa mereka gunakan.

Saat air hujan ditampung, warna sudah tak jernih lagi bahkan hitam.

“Kami minta pemerintah evakuasi lagi penggunaan batubara karena lebih besar rugi dari untung. Batubara perusak. Kami dukung pemerintah memenuhi pasokan listrik tetapi tak pakai batubara.”

Ilham, pemilik tambak alam menyatakan, sudah tiga kali gagal panen ikan dan udang. Abu limbah batubara yang jatuh ke tambak, katanya, mengendap ke bawah hingga tanah jadi hitam. Kalau siang hari mengapung dan sore hari mengendap ke bawah hingga bibit udang mati.

Setidaknya 50.000 benih udang paname mati karena debu batubara yang mengendap ke bawah keramba. Modal Rp10 juta pun lenyap.

“Sejak PLTU batubara, sudah lima kali kami gagal panen. Udang paname yang kami tabur banyak mati. Kami sudah protes ke perusahaan namun diabaikan.”

 

Tempat penampungan batubara setelah bongkar muat dari tongkang. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongaay Indonesia
Kala hujan turun, batubara yang terbuka seperti ini berpotensi mencemari laut sekitar. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version