Mongabay.co.id

Karhutla Parah di Desa Muara Medak, Sebagian Warga Mengungsi

 

 

 

 

Suara batuk terdengar keras bersahutan dengan rengekan tangis bayi. Tampak para perempuan dan bayi dalam gendongan duduk berjejer di Poliklinik Dusun 7, Mekar Jaya, Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lincir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Sida, sudah tujuh hari batuk. Dia dan enam orang keluarga turut mengantri berobat di Posko Kesehatan Penanggulangan Bencana yang baru didirikan.

Sida bilang, masih beruntung dibandingkan warga Dusun 9, yang terpaksa mengungsi karena kebakaran hutan dan lahan (karhutla). “Kalau dusun tetangga (Dusun 9-red) sudah mengungsi ke Dusun 8, rumah mereka bahkan terbakar,” katanya.

Posko kesehatan terbuat dari tenda non permanen tepat di samping poliklinik. Mira Setyowati, bidan desa yang menjaga posko mengatakan, sejak hari pertama sudah 35 pasien ditangani, terdiri dari 12 bayi dan anak-anak serta 23 dewasa.

“Keluhan hampir sama, iritasi mata, gangguan saluran pernapasan seperti radang tenggorokan, sesak napas dan infeksi pernafasan,” katanya.

Di dalam posko, saya bertemu Nanang Suharna, Kepala Dusun 7. Nanang mengajak saya ke tepi hutan produksi yang terletak di pinggir dusun. Perjalanan bermotor sekitar dua kilometer dari desa menuju lokasi. Setibanya, kami masih menemukan lidah api melahap jejeran sawit.

 

Berobat karena kabut asap karhutla. Kebakaran hutan dan lahan terjadi Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lincir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Asap tak lagi mengepul pekat, tetapi mata saya perih. Kami meniti sebatang kayu bulat yang melintang sebagai jembatan yang memisahkan kanal kecil berukuran dua meter. Langit menggelap, senja berakhir. Saya baru tiba di lokasi terluar tempat kebakaran hutan terjadi. Nanang rencana mengajak saya ke sekat kanal yang sudah dibangun.

Kami berjalan beriring dengan penerangan lampu senter.

Setibanya di sekat kanal pertama, kami tidak menemukan sedikit air pun tergenang. Kering kerontang, seperti yang diceritakan Nanang di posko.

“Sekatnya kering, ga ada air.”

Dusun 7, memang bukan terparah terdampak karhutla di Desa Muara Medak. Berdasarkan informasi yang diperoleh Mongabay, ada tiga dusun terbakar parah hingga menyebabkan warga mengungsi sejak Senin (12/8/19), yaitu, dusun 5, 6 dan 8.

Nanang bercerita, yang paling membuat mereka teramat sedih, hutan kemitraan yang baru saja mendapatkan surat keputusan pada 2018 dilalap api. Masyarakat Dusun 7, Desa Muara Medak mengusulkan hutan sosial dalam bentuk kemitraan kehutanan melalui Kelompok Tani Berkah Hijau Lestari seluas 3.500 hektar.

“Sekitar 90% hutan kemitraaan terbakar, termasuk dua hektar kebun demplot yang sudah ditanami serai, serai wangi, akar wangi, lada, jahe, dan pinang,” katanya.

Tak ada yang bisa diselamatkan,hanya saung pertemuan yang mereka pertahankan dari serbuan api. Sejak tiga bulan lalu, mereka bersama-sama menanami dan menjaga demplot.Harapan mengecap hasil panen pun pupus dilalap api.

 

Sekat kanal mengering

Karhutla di Desa Muara Medak, Bayung Lincir, Musi Banyuasin, mengulang tragedi 2015. Lokasi ini menyumbang asap buat Jambi, sebagai provinsi tetangga. Sebelumnya, pemerintah Musi Banyuasin, mengeluarkan permohonan maaf resmi karena kabut asap ini.

Pemerintah Kota Jambi, juga meliburkan sekolah karena kabut asap parah.

Hariadi Karim, Staf Ahli Bupati Muba mengatakan, luas lahan terbakar di Muara Medak sampai 3.290 hektar.

Data diperoleh Mongabay, sejak 2018, BRG sudah membangun sekat kanal 165 unit untuk membasahi gambut di Musi Banyuasin. Kanal sebagian besar di hutan produksi Lalan Muara Medak. Lokasi ini areal terluas terbakar pada 2015 dan berulang tahun ini.

Pantauan lapangan, sekat kanal tak berfungsi sebagai penampung air di lahan gambut. Sekat kanal kosong dan kering, hingga tak terjadi pembasahan.

Nanang mengeluhkan, untuk membantu proses pemadaman, tim kesulitan mencari sumber air.

Adiosyafri, Manager Riset dan Kampanye HaKI menyebutkan, seharusnya pembangunan sekat kanal berdampingan dengan sumur bor hingga ada alternatif lain sebagai sumber pemadaman air kalau sekat kanal mongering.

“Untuk pembelajaran ke depan mengatasi karhutla, jangka pendek pemadaman efektif harus menjawab kesediaan air, dan jika sekat kanal mongering masih ada sumur bor,” katanya.

Adios mengatakan, ini hanya solusi cepat pemadaman, kalau berbicara penanggulangan banyak yang harus diperbaiki termasuk regulasi dan penindakan.

Senada dengan itu, Rudi Syaf Direktur KKI Warsi mengatakan, ada beberapa penyebab karhutla hingga terus berulang,pertama, sebagian masyarakat masih membuka lahan dengan membakar atas alasan operasional, kedua, belum ada sanksi tegas berefek jera terhadap para pelaku pembakaran. “Kalau kita lihat pada 2015, yang tertangkap itu hanya orang , belum menimbulkan efek jera.”

Ketiga, belum menyeluruh pelaksanaan PP Gambut Nomor 57/2016 yang mewajibkan perusahaan menjaga tinggi muka air 40 cm dari permukaan tanah dan pembuatan sekat kanal, dan peralatan dan perangkat pemadaman. “Melihat kejadian berulang, artinya belum jalan semua.”

Jambi, katanya, sudah berinisiatif dengan mengeluarkan Perda Nomor 02/2016 tentang pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan tetapi belum berjalan lancar.

 

Kebun sawit yang terbakar Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lincir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Jambi pun masih membara

Tak hanya di Sumatera Selatan. Kebakaran hutan dan lahan juga masih terjadi di Jambi, provinsi tetangga Sumsel. Kemarau panjang, terjadi sejak Juli 2019.

Informasi Monitoring Hari Tanpa Hujan (HTH) rilisan BMKG Stasiun Klimatologi Muara Jambi pada 20 Agustus 2019, kemarau Kota Jambi masuk pada kriteria panjang (21-30 hari) dan sangat panjang (31-60 hari).

Addi Setiadi, Kepala BMKG Stasiun Meteorologi Klas I Sultan Thaha Jambi mengatakan, musim kemarau di Jambi, ikut dipengaruhi fenomena angin Monsun Australia.

Angin bertiup dari Tenggara menuju Selatan, dengan kecepatan 15-25 knot, dan membuat konsentrasi awan pembentuk hujan pecah.

“Suhu air laut juga dingin, jadi pembentukan awan hujan itu kurang. Mendung, tapi gak jadi hujan. Karena awan hujan pecah kena angin Monsun Australia,” katanya.

Kemarau tahun ini diprediksi cukup panjang, meski tak separah 2015. BMKG memprediksi, hujan akan turun pada September di Jambi, wilayah barat: Jangkat, Kerinci dan Bungo dengan intensitas hujan ringan.

Hujan akan turun merata di Jambi pada Oktober, dengan intensitas ringan hingga sedang.

BMKG terakhir memprediksi, turun hujan di Jambi, pada 21 Juli 2019, sejak itu sampai kini, kota ini cerah berawan tanpa hujan.

Berbagai upaya penanggulangan karhutla, dilakukan. Gambut membara sulit padam kalau tak ada hujan. Pemerintah pun sampai shalat minta turun hujan. Setelah Pemerintah Sarolangun dan Tanjab Barat, shalat istisqa, meminta turun hujan, Kota Jambi, pun mengikuti.

Feri Irawan, Direktur Perkumpulan Hijau sekaligus Koordiator Simpul Jaringan Pantau Gambut Jambi menilai, pemerintah teledor menghadapi bencana karhutla.

“Sebelum kebakaran, BMKG sudah mengeluarkan rilis akan kemarau panjang dan El-Nino, itu kan warning sebenarnya.”

Lahan gambut selalu sulit padam kala terbakar. Celakanya, gambut di Jambi, sudah sakit alias rusak karena banyak terbebani izin perusahaan.

Dia menilai, sekat kanal perusahaan, membuat daerah sekitar konsesi terdampak. Saat kemarau, lahan masyarakat yang tak memiliki tata kelola air praktis mengalami kekeringan dan rawan terbakar.

Dia mendorong, pemerintah mengevaluasi bahkan mencabut semua izin konsesi di gambut. “Harus dicabut, dan pemerintah harus berani mengambil risiko itu. Kerugian akibat kebakaran lebih besar, dibanding keuntungan yang didapat pemerintah. Korban asap, penyakit banyak.”

Badan Restorasi Gambut, yang dibentuk pemerintah untuk memulihkan kondisi gambut dianggap tak berfungsi maksimal. BRG, katanya, tak bisa intervensi lahan gambut pada konsesi perusahaan.

Rewetting, revegetasi, revitalisasi, ini semua di luar konsesi, semetara yang sakit itu di dalam konsesi,” katanya.

Sekda Jambi, M Dianto juga Ketua Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Jambi ditemui Mongabay enggan berkomentar soal karhutla di Jambi.

Dia bilang, masalah karhutla tanggung jawab Komandan Satgas Karhutla. “Saya tak berani komentar, nanti salah.”

 

Konsesi PT MAS di Muarojambi pasca terbakar. Foto: Yitno Suprapto/ Mongabay Indonesia

 

Penegakan hukum

Kapolda Jambi Irjen Pol Muchlis mengintruksikan, semua perusahaan dengan areal terbakar diperiksa. Begitu juga lahan masyarakat. “Semua pelaku harus ditindak tegas,” katanya.

Saat ini, katanya, Polda masih menyelidiki kasus kebakaran PT MAS dan PT SNP di Muarojambi. Dalam catatan Mongabay, ada 15 saksi dimintai keterangan oleh Polres Muarojambi terkait kasus kebakaran di dua perusahaan itu.

Sampai 16 Agustus, ada 10 warga jadi tersangka kasus karhutla. Polres Batanghari menetapkan, Ponidi warga Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Batanghari dan Sartono, warga Desa Tanjung Lebar, Muarojambi, sebagai tersangka di areal terbakar yang masuk konsesi PT Restorasi Ekosistem.

Polres Tanjab Barat juga menangkap dua pelaku pembakaran lahan. Pada 13 Agustus, Polres Tebo menangkap dua orang MY dan AS, terkait kasus kebakaran lahan di Desa Suo-suo, Kecamatan Sumay, Tebo. Selang dua hari di desa sama, Polres Tebo kembali menangkap, KG saat membakar lahan untuk kebun sawit.

Polres Tanjab Timur juga menangkap S dan E pada 29 Juli 2019, di Parit V Kecamatan Sadu.

Kapolres Tanjab Timur AKBP Agus Desri Sandi yang ditemui Mongabay mengatakan, dua tersangka ditangkap saat membuka kebun dengan cara membakar.

“Buka lahan milik mereka sendiri, luas tiga hektar.”

Sebelumnya, satu pembakar lahan di Sarolangun, juga ditangkap. Kasus ini ditangani Polda Jambi.

Dirreskrimsus Polda Jambi, Kombes Pol Thein Thabero menyebutkan, tujuh tersangka tertangkap tangan saat pembakaran lahan. Tiga lainnya, ditangkap berdasarkan pengembangan. “Semua proses hukum akan ditangani dimana mereka diamankan,” katanya.

Luas lahan terbakar dari 10 tersangka mencapai 80 hektar. Para tersangka dijerat Pasal 108 tentang Kehutanan.

 

Kebakaran kebun sawit terjadi Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lincir, Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Karhutla begitu parah hingga warga di satu dusun desa itu harus mengungsi. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version