Mongabay.co.id

Cerita Gempa Masa Lampau di Gane

Warga yang berupaya mencari barang-barang miliknya yang masih tersisa. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Gempa bumi meluluhlantakkan Gane, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara, Minggu (14/7/19), masih menyisakan duka. Rumah dan berbagai bangunan sarana dan prasarana umum hancur. Trauma masih menghantui warga.

Bagi sebagian warga lanjut usia di Gane Barat Selatan, Kepulauan Joronga dan Gane Timur, bencana ini merupakan perulangan peristiwa 56 tahun lalu. Terutama, warga yang berusia lebih 70 tahun, rata-rata memiliki rekam ingatan, gempa besar pernah menimpa daerah ini.

Baca juga: Kala Gempa Kekuatan 7,2 SR Guncang Halmahera

Bagi mereka, gempa sering terjadi tetapi yang sangat kuat goncangan terbilang dua kali. “Gempa besar pernah terjadi 1963, 1965 dan 2019. Yang dirasakan menghancurkan kampung dan berbagai sarana umum bahkan ada korban jiwa pada 1963 dan 2019 ini,” kata Abdullah China, warga Oha Gane Barat Selatan kepada Mongabay, belum lama ini.

Pada gempa 1963, dia di kelas 3 SD, sekitar usia 12 tahun. Abdullah lupa bulan dan tanggal peristiwa gempa.

Waktu itu sangat kuat bahkan menyebabkan tsunami dan ada korban jiwa karena hantaman batu besar. Tanah longsor saat gempa. “Waktu itu ada warga Pulau Dowora, tewas tertimpa batu besar dari gunung,” katanya, mengenang.

Baca juga: Bagaimana Nasib Warga Halmahera Selatan Pasca Gempa?

Kala itu, katanya, mereka lari ke gunung. “Torang (kami-red) juga lari naik ke gunung. Orang-orang tua bilang aer kering abis itu aer nae (air turun setelah itu air naik-red). “

Saat itu, katanya, rata-rata rumah belum konstruksi beton seperti sekarang jadi kerusakan tak separah sekarang.

Hal sama diceritakan Samin S, tokoh masyarkat Desa Gane Dalam. Kala itu, dia tinggal di Desa Sekeli. Samin yang berusia 72 tahun itu menceritakan, gempa 1963 itu berbeda waktu meski sama sama siang hari.

“Peristiwa gempa waktu itu, pagi hari kira-kira pukul 09.00. Diawali goyangan kecil, kemudian agak kuat dan sangat kuat.” Saking kuatnya, air laut naik setelah sebelumnya turun cukup jauh hampir 50 meter dari tepi pantai.

“Umur saya sudah hampir 18 tahun. Kami tinggal di Desa Sekeli. Bahkan di Pulau Kukupang, Kecamatan Joronga yang berhadapan dengan Desa Sekeli, terlihat jelas disapu air laut. Bahkan pohon soki (mangrove-red) ada yang mati dihantam air. Ada tiga kali air naik dan turun menghantam pulau kecil itu,” katanya.

Kejadian ini membuat warga lari ke daerah agak tinggi. “Kami juga ikut lari karena usai gempa air laut naik. Meski demikian air laut tak sampai menyapu kampung keseluruhan. Hanya melewati pertengahan kampung,” katanya.

Dia bilang, Desa Gane Dalam, waktu itu tidak terlalu berpengaruh tsunami karena berada di dalam Teluk Kasawari. bagian depan desa dihalangi hutan mangrove rimbun.

 

Mesjid Gane Luar yang hancur kena gempa. Foto Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Paling parah di Pulau Kukupang dan Dowora. Pulau-pulau kecil ini tersapu air laut. Pulau Kukupang, misal, karena kontur tanah datar jadi waktu air naik menyapu hampir seluruh pulau.

“Tiga kali air naik dan turun,” kata Salmin.

Desa Gane Dalam, rumah warga hancur kena gempa, tersisa mesjid. Warga dari pulau-pulau terdampak gempa dan rumah rusak, hampir setahun mengungsi ke Halmahera.   Akhirnya, sebagian warga memilih bertahan dan membuat beberapa desa di Halmahera seperti Awis, Kurunga dan Yomen.

Warga Desa Awis adalah pindahan korban gempa dan tsunami dari Pulau Dowora. Desa Kurunga Joronga adalah warga pindahan dari Kukupang.

Kala itu, warga tiap kampung masih sedikit hingga korban juga sedikit.

Salmin menceritakan, tanda-tanda akan terjadi gempa pada 1963 dan 2019, terbilang sama. Beberapa saat sebelum gempa, terdengar bunyi seperti angin ribut.

Rentang waktu antara suara angin ribut dengan gempa itu singkat. “Hanya beberapa detik disusul gempa.”

Bunyi itu , katanya, seperti ada letusan gunung api laut. Bahkan, sebagian besar warga meyakini gempa di Gane itu dipicu aktivitas gunung api laut. “Itu suara seperti gunung api laut,”katanya.

Meski secara ilmiah BMKG merilis pusat gempa terjadi di darat, namun sebagian warga yakin, kejadian ini karena gunung api bawah laut.

Saminbilang, ada gunung laut di antara Tanjung Liboba Halmahera dengan Pulau Pisang di Raja Ampat. “Di situ ada gunung api laut,” katanya.

Meskipun secara ilmiah belum bisa dipastikan, namun Salmin bilang, cerita orangtua mereka menyebutkan di antara Tanjung Liboba dan Pulau Pisang ada gunung laut.

Cerita Abdul Karim Daud, warga Gane Dalam juga sama. Kala gempa 1963, pria 73 tahun ini masih sekolah. Saat gempa, guru mereka langsung menginstruksikan berlari menuju daerah ketinggian.

“Tahun itu, Kampung Gane Dalam, masih di tepi pantai. Tempat mengungsi warga sama dengan sekarang yang sudah jadi lapangan sepak bola karena terbilang agak tinggi,” katanya.

Karena rumah hancur, warga membuat pondok-pondok sebagai tempat pengungsian. Hampir lima bulan, baru warga membangun kembali rumah yang rusak.

 

Dermaga Desa Gane Dalam yang hancur masih digunakan untuk bongkar muat penumpang dan logistik bantuan untuk pengungsi. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Ketua Ikatan Geologi Indonesia (IAGI) Maluku Utara, Abdul Kadir Arief menjelaskan, sejarah gempa Gane memang tidak tercatatkan secara detil. Untuk itu, perlu riset untuk memastikan sejarah gempa dan tsunami daerah ini.

Dia mengusulkan, Gane jadi pusat pembelajaran bencana. ”Kalau saya sangat tertarik Gane jadi laboratorium untuk belajar gempa, misal, kondisi wiayah rawan, cara masyarakat mengevakuasi diri, maupun belajar evakuasi mandiri,” katanya.

Berdasarkan catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika(BMKG), gempa bumi Halmahera Selatan, berkekuatan 7,2 magnitudo pada Minggu (14/7/19), karena kawasan termasuk wilayah seismik aktif dan kompleks.

“Aktif, artinya Halmahera Selatan, memang sering gempa yang tecermin dari peta seismisitas regional dengan klaster aktivitas cukup padat,” kata Daryono, Kepala Bidang Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami BMKG dalam siaran pers.

Dia sebutkan, terdapat empat zona seismogenik sumber gempa utama di kawasan itu, yaitu Halmahera Thrust, Sesar Sorong-Sula, Sesar Sorong-Maluku, dan Sesar Sorong-Bacan.

Ketiga sesar, yaitu Sesar Sorong- Sula, Sesar Sorong-Maluku, dan Sesar Sorong-Bacan, merupakan percabangan atau splay dari Sesar Sorong yang melintas dari timur membelah bagian atas kepala burung di Papua Barat.

Di Pulau Batanta, ke arah barat, Sesar Sorong, mengalami percabangan. Pada percabangan paling utara, yaitu Sesar Sorong-Bacan, itulah yang selama ini menyimpan akumulasi medan tegangan kulit bumi yang akhirnya jadi gempa Minggu sore itu.

“Sesar Sorong-Bacan, inilah pemicu gempa Halmahera Selatan,” katanya.

Catatan sejarah, katanya, gempa kuat dan merusak di Halmahera, cukup banyak, seperti, gempa Pulau Raja 7 Oktober 1923 dengan magnitudo 7,4 SR dan intensitas VIII MMI. Gempa Bacan pada 16 April 1963 bermagnitudo 7,1 skala intensitas VIII MMI, gempa Pulau Damar pada 21 Januari 1985 magnitudo 6,9 intensitas VIII MMI. Kemudian, gempa Obi, 8 Oktober 1994 magnitudo 6,8 intensitas VI-VII MMI, gempa Obi magnitudo 6,7 pada 13 Februari 1995 dengan intensitas VIII MMI, dan gempa Labuha 20 Februari 2007 magnitudo 6,7 intensitas VII MMI.

 

Keterangan foto utama:  Warga yang berupaya mencari barang-barang miliknya yang masih tersisa. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

Kondisi SD Gane Luar yang ruisak parah. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version