Mongabay.co.id

Cukup Batua, Korban Terakhir Jerat Pemburu

 

 

Anda masih ingat dengan Kyai Batua? Dia adalah harimau sumatera jantan yang kena jerat pemburu di Batu Ampar, Kecamatan Suoh, Kabupaten Lampung Barat, Lampung. Kaki kanan depannya diamputasi pada 5 Juli 2019 lalu.

Kondisinya semakin baik. Sifat liarnya tetap terjaga. Aumannya keras. Melalui monitor CCTV Kyai, saya melihat langsung Batua di kandang rehabilitasinya, di Lembaga Konservasi Taman Wisata dan Taman Satwa Lembah Hijau di Bandar Lampung, Lampung.

Rasyid, tenaga medis dari Lembaga Konservasi Lembah Hijau, menyatakan perilaku liar Batua terasah karena permukaan luar kandang ditutup tira. “Sebisa mungkin tidak banyak berinteraksi dengan manusia,” tuturnya.

Fungsional PEH Seksi Konservasi Wilayah III Lampung Balai Konservasi Sumber Daya Alam [BKSDA] Bengkulu Irhamuddin mengatakan, berdasarkan pantauan CCTV dan penjaga, kesehatan Batua prima. Makan dan minum serta urinase beserta kotorannya normal.

Luka bekas amputasi telah mengecil. Diperkirakan, sebesar koin uang seribuan dan sebagian besar mulai tertutup bulu.“Tetapi gigi taring kiri atas patah. Kemungkinan, saat terkena jerat ini berusaha melepaskannya.”

Kebiasaan lain yang teramati setelah amputasi kaki kanan depan, Batua sering jalan mundur. “Tim medis belum bisa mengungkap apa penyebabnya. Kasus ini baru pertama kali. Kemungkinan besar disebabkan ia trauma jerat.”

Demikian halnya dengan memangsa. Batua masih terlihat ragu menggunakan kaki kanannya, begitu pula saat menapak. “Kami sudah bersurat ke BKSDA Bengkulu untuk pengecekan kondisi terkini, seperti pemeriksaan darah, urine dan radiologi,” tutur Irhamuddin, baru-baru ini.

Baca: Jerat yang Membuat Harimau Sumatera Sekarat

 

Batua yang tetap liar meski dalam perawatan. Foto: Pengendali Ekosistem Hutan [PEH] SKW III Lampung BKSDA Bengkulu – Lampung

 

Rehabilitasi

Awal Agustus, para pihak telah melakukan pertemuan membahas masa depan Batua, dipimpin Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Hasilnya, setelah melalui masa karantina dan dinyatakan sehat, tindakan selanjutnya untuk Batua adalah pemulihan sifat liar.

Terkait rehabilitasi, muncul dua opsi. Pertama, Animal Sanctuary Trust Indonesia (ASTI) di Taman Wisata Alam Seblat, BKSDA Bengkulu. Tetapi, lokasi ini baru 40 persen proses pembangunannya.

Pilihan lain adalah Lembaga Konservasi Taman Satwa Lembah Hijau Bandar Lampung. Wilayah ini tempat perawatan sejak awal Batua.

Menurut Kepala SKW III Lampung BKSDA Bengkulu Hifzon Zawahiri, lokasi rehabilitasi sebaiknya dipilih berdasarkan ketersediaan sarana dan prasarana, serta kesanggupan pengelola untuk menyediakan pakan dan fasilitas kesehatan.

“Kandang dan fasilitas lain yang dibutuhkan harus sesuai SOP. Kondisinya harus seperti hutan,” katanya.

Direktur Utama PT. Lembah Hijau Irwan Nasution menyatakan, bersedia memberikan tempat rehabilitasi dengan fasilitas kandang keseluruahan berukuran 900 meter persegi. Terdiri kandang umbaran yang dilengkapi kolam, 4 unit kandang tidur, 2 unit kandang jemur, kandang jepit, dan kandang breeding dengan ukuran 8 x 6 meter.

“Kami juga menyiapkan lahan seluas 2.500 meter persegi. Kami juga akan mencarikan harimau betina seumuran Batua dari kebun binatang lain yang ada di Indonesia.”

Menurutnya, kondisi alam Taman Satwa Lembah Hijau masih alami. Tidak jauh berbeda dengan Resort Suoh yang merupakan Batua ditemukan. “Ini akan menjadi sarana penelitian dan edukasi masyarakat Lampung agar lebih peduli satwa liar dilindungi,” jelasnya.

Baca: Meski Cacat, Harimau Batua Tetap Buas

 

Kondisi Batua makin membaik dan tetap dipantau perkembangannya. Pengendali Ekosistem Hutan [PEH] SKW III Lampung BKSDA Bengkulu – Lampung

 

Peran semua pihak

Jika fase medik, mempertahankan sifat liar, dan rehabilitasi dilalui dengan baik, langkah selanjutnya adalah melepasliarkan Batua ke habitatnya. Menurut Bukit Barisan Selatan Landscape Manager Wildlife Conservation Society Indonesian Program [WCS-IP] Firdaus Affandi, kawasan Resort Suoh, Taman Nasional Bukit Barisan Selatan [TNBBS] menjadi tempat yang paling diprioritaskan.

“Alasannya, di sana adalah teritori Batua. Di luar wilayah itu, dia harus bersaing dengan individu harimau lain,” ujarnya.

Lokasi pelepasan juga harus bersih jerat, tersedianya satwa mangsa, rendah ancaman perburuan, sex ratio diketahui, dan aspek ekologi lainnya. “Jika syarat itu terpenuhi, tidak menutup kemungkinan Batua dapat dilepaskan ke habitatnya lagi, sekalipun kondisinya cacat,” terangnya.

Dia menambahkan, WCS di beberapa tempat seperti Aceh, Sumatera Utara, Bengkulu bahkan Lampung pernah menemukan individu harimau cacat bertahan hidup di alam. “Kondisinya terpantau kamera jebak. Tidak ada masalah dengan harimau cacat, mereka bisa bertahap di alam,” tuturnya.

Baca juga: Batua Harus Rela Kehilangan Kaki

 

Batua, meski kaki kanan depannya diamputasi tetap buas. Foto: Pengendali Ekosistem Hutan [PEH] SKW III Lampung BKSDA Bengkulu – Lampung

 

Patroli jerat

Balai Besar TNBBS bersama mitra dalam satu setengah bulan terakhir melakukan patroli jerat intensif, di beberapa resort.

Kepala Balai Besar TNBBS Agus Wahyudiono mengatakan, ada 10 tim patrol. “Jerat seling paling banyak ditemukan, dalam lubang,” katanya.

 

Batua, harimau sumatera saat ditemukan kena jerat kawat pemburu di kawasan hutan TNBBS, Kabupaten Lampung Barat, Lampung, 2 Juli 2019. Foto: BKSDA Bengkulu-Lampung/WCS IP

 

Patroli dilakukan guna melindungi habitat satwa. Kami juga bersama mitra gencar sosialisasi penyadartahuan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar habitat harimau sumatera. “Warga yang kedapatan menyimpan jerat kami minta membuat surat pernyataan bermaterai, disaksikan kepala desa setempat. Jerat tidak hanya membahayakan satwa tetapi juga manusia,” jelasnya.

Agus mengatakan, rencana pelepasliaran Batua berdasarkan pemikiran dan pertimbangan matang. “Kami sangat berharap Batua hidup damai dan sejahtera di alam. Jangan sampai terkena jerat lagi,” tandasnya.

 

 

Exit mobile version