Mongabay.co.id

Kisah Kamijan, Dulu Perambah Kini Penyelamat Hutan Kalibiru

Kamijan, salah satu perintis HKm Mandiri. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

“Indonesia itu paru-paru dunia,” kata Kamijan, menirukan ucapan Chris Bennet, suatu ketika. Dia masih ingat, kala Chris Bennet mengatakan ini pada kunjungan kedelapan ke Kalibiru. Pria berkebangsaan Inggris itu sampai 2018, sudah mengunjungi Kalibiru 11 kali.

“Saya yang pendidikan S2 mencoba memahami kata-kata itu. Awalnya, tidak sampai kok bisa Indonesia adalah paru-paru dunia,” katanya bergurau. Kamijan menyebut S2, maksudnya, sekolah dasar dan SMP.

Profesor agroforestry, kehutanan, dan manajemen sumber daya alam serta konsultan Ford Foundation itu pun menerangkan apa maksud dari paru-paru dunia itu kepada para petani Hargowilis yang menemaninya mendaki bukit dan menikmati pemandangan alam dari sana.

“Perlahan akhirnya kami pun paham. Kelestarian hutan Indonesia sangat penting bagi seluruh umat manusia di bumi. Sejak itu, saya berubah pikiran. Saya bertekad, menghijaukan hutan dan menjaganya tetap lestari,” kata Kamijan, kala saya ke Kalibiru, beberapa bulan lalu.

Kamijan, salah satu dari lima perintis wisata alam Kalibiru, di Hargowilis, Kokap, Kulon Progo, Jawa Tengah. Motor Kalibiru adalah Kelompok Tani Hutan Kemasyarakatan (KTHKm) Mandiri.

 

Salah satu spot foto favorit di wisata alam Kalibiru. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Perambah

Kamijan menceritakan masa lalunya yang kelam. Dia bilang, dulu sering mencuri kayu di kawasan hutan.

“Mau bagaimana lagi, kalau menyangkut urusan perut paling mudah ya masuk ke hutan motong kayu lalu jual,” katanya.

Merambah kayu itu tidak dia sendiri namun berkelompok. Wilayah hutan dijarah pun bisa jauh dari dusun tempatnya tinggal.

“Dulu, anak kalau sekolah harus keluar desa. Kos di Wates. Kalau dimintai uang untuk sekolah dan tidak punya uang ya masuk hutan lagi, motong kayu.”

Menurut Kamijan, pencurian kayu di hutan negara itu tidak jarang melibatkan oknum petugas pula.

“Gaji mereka tidak seberapa, kadang gaji telat. Akhirnya, minta tolong kepada orang seperti saya ini untuk motong kayu. Dia minta dipotongkan satu, tapi saya potong dua pohon.”

Kamijan bukan satu-satunya perambah hutan negara yang sadar dan masuk ke kelompok tani hutan kemasyarakatan Mandiri. Rekan yang lain, bernama Sukidal, dulu juga perambah hutan.

Senada dengan Kamijan, Sukidal juga mencuri kayu di hutan karena alasan kebutuhan hidup.

Parjan, Ketua Kelompok tani HKm Mandiri, bilang, orang-orang seperti mereka sengaja didekati dan diajak masuk ke kelompok tani hutan kemasyarakatan.

“Mereka orang yang punya pengaruh. Kalau mereka kita ajak masuk ke dalam kelompok diharapkan desa jadi aman. Hutan terjaga,” katanya.

 

Patok batas hutan negara dana hutan rakyat di Kalibiru. Foto: Nuswantoor/ Mongabay Indonesia

 

  

***

Kala itu, baru ada wadah kelompok peternak dengan nama Mandiri. Hewan yang mereka ternakkan adalah kambing. Suatu ketika dia didatangi Yayasan Damar pada 1999 yang mengajak memikirkan kelestarian hutan.

“Meski karena alasan perut, apakah menebang kayu di hutan itu satu-satunya cara menopang hidup. Kalau cari cara lain apakah tidak bisa?” kenang Kamijan.

Pada tahun 2000, ada keinginan mereka bertani di hutan negara yang gundul. Salah satu syaratnya, membentuk kelompok tani HKm. Lama-lama mereka berlima sepakat menerima saran dari Damar.

Mereka pun membentuk kelompok tani hutan kemasyarakatan pada 2001, tepatnya 31 Desember. Tak mau bersulit-sulit mencari nama, diputuskanlah nama Mandiri, sama dengan kelompok peternak yang sudah ada.

Seiring berjalan waktu, anggota bertambah mencapai 100-an orang. Mulai ada kebutuhan sekretariat yang besar dan layak. Mereka sepakati rumah Parlan, yang waktu itu PNS dan menjadi kepala sekolah sebagai tempat pertemuan. Kini, rumah bersejarah itu jadi Kantor Sekretariat HKm Mandiri.

“Waktu itu, saya sering didatangi petugas. Saya bilang, waduh kelompok tani Mandiri itu tidak punya apa-apa. Maka, saya sering berhubungan dengan Pak Parlan dan Pak Parjan yang PNS. Mereka yang saya mintain menyiapkan makanan minuman. Di Kalibiru, sebenarnya PNS banyak. Yang sambung dengan rencana kita itu hanya dua orang itu.”

Parlan pun dipilih sebagai ketua. Karena kesibukan mengundurkan diri dan digantikan Parjan, hingga kini. Sebelumnya, Kamijan adalah Ketua Kelompok Tani Hasta Karya, di Kalibiru. Bersama kelompoknya, menanami hutan rakyat yang bersebelahan dengan hutan negara. Waktu itu juga gundul.

“Kami mencari bibit ke mana-mana, menanami. Yang di Kalibiru itu ada 90 hektar, gundul semua. Setelah tumbuh bagus, saya lalu undang Dinas Kehutanan. Mereka saya ajak melihat langsung hutan rakyat dan hutan negara. Yang hutan rakyat, sudah jadi, yang hutan negara masih gundul. Bagaimana kalau kita boleh menanam juga di hutan negara. Itu tahun 2000.”

Kini, kala memandang memutar dari puncak bukit Kalibiru, perbukitan Menoreh itu tampak hijau. “Yang sana itu namanya Gunung Rebab, yang sana Tanggulangsri. Dulu itu gundul semua,” katanya seraya menunjuk ke arah utara, lokasi hutan rakyat berada.

“Kita carikan bibit beringin. Saya nyangkok 83 batang, tanam di pucuk-pucuk bukit.”

Setelah penuh pepohonan, sumber air pun tersedia. “Dulu, masyarakat yang tinggal di sekitar hutan rakyat kalau mencari air harus berjalan satu kilometer. Sekarang, setelah hutan hijau, sumur saya itu tiga meter sudah keluar air. Jadi, kami yakin kalau kita ada niat berubah itu pasti bisa terjadi. Saat itu, mulai ada gambaran perubahan di depan.”

Selanjutnya, mereka minta izin menanam di hutan negara kepada Bupati Kulon Progo kala itu, ToyoSantoso Dipo. Mereka minta, diberi kesempatan membuktikan bahwa bisa menghijaukan hutan negara sebagaimana hutan rakyat yang selama ini mereka kelola.

“Coba kami diberi kesempatan satu atau dua tahun. Nanti, kalau rusak silakan dicabut izinnya. Akhirnya, bupati memberikan izin selama lima tahun.” Izin keluar untuk 2003-2008.

Dengan motivasi bisa memanfaatkan hingga 35 tahun, mereka bekerja keras hutan negara seluas 29 hektar yang mereka kelola di petak 28 dan 29, menghijau. Hutan mereka tanami dengan jati, mahoni, akasia, sonokeling. Untuk memastikan bibit tanaman hidup, para petani sampai membuatkan infus tanaman.

“Setelah dievaluasi dan dianggap bagus akhirnya kita diberi izin untuk pengolahan sampai 35 tahun. Hanya sayang muncul izin dulu untuk hutan produksi, setelah keluar jadi hutan lindung . Itu menyebabkan pengurus yang lima itu dimusuhi lagi oleh masyarakat. Kalau hutan produksi ada bagi hasil kayu. Kalau hutan lindung tidak boleh ada penebangan.”

 

Batu Christ Bennet dengan panorama waduk Sermo. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Cari akal

Anggota HKm Mandiri, berhak atas lahan garap maksimal 5.000 meter bujur sangkar, bisa dipindahkan sampai keturunan kedua. Dalam izin HKm— merupakan Keputusan Bupati Kulon Progo No 452/2007–, mereka berhak mengelola kawasan hutan seluas 23 hektar pada petak 28 dan enam hektar petak 29 di RPH Sermo, BKH Kulon Progo. Hak kelola berlaku 35 tahun, sejak 15 Februari 2008.

Mereka berkewajiban menanam tanaman pokok dan tanaman kebun, serta menjaga kelestarian. Hak kelompok, pemanfaatan hutan kemasyarakatan, hak atas tanaman pokok dan tanaman kebun, hasil penjarangan, dan jasa lingkungan.

Tak mau dimusuhi anggota, Kamijan pun memutar otak. Dia memilih menerima status hutan lindung itu, meski berbeda pendapat dengan pengurus lain. Dengan syarat, pemerintah mau memberikan bantuan sapi bagi anggota kelompok. Syarat itu pun dipenuhi.

“Saya minta perimbangan dengan hitam di atas putih. Di Kulon Progo, kelompok tani yang mengelola hutan lindung dikasih masing-masing enam ekor jadi 12 ekor sapi. Perawatan sapi paling bagus adalah kelompok kami, yaitu kelompok Mandiri. Akhirnya, kami ditambahi sapi 25 ekor,” kata Kamijan.

Kamijan lalu jadi Kepala Dukuh Kalibiru. Selang beberapa tahun, dia membuat surat pengunduran diri kepada Bupati Kulon Progo. Alasannya, dia selalu ditinggal para pemuda yang memilih merantau ke kota selepas lulus SMA.

“Kalau saya jadi dukuh dan warga yang tinggal di Kalibiru yang tua-tua, kalau kumpulan malam hari pasti terkantuk-kantuk. Karena lelah tadi siang bertani di hutan. Berbicara kepada mereka tentang rencana ke depan tapi terus ditinggal tidur, percuma bukan?”

“Saya bilang ke bupati saya tidak mau selalu ditinggal oleh yang muda-muda. Daerah Kalibiru itu daerah terisolir. Pembangunan sangat tergantung dengan yang muda-muda. Pemikiran yang jauh itu selalu datang dari yang muda-muda. Kalau dari yang tua tidak bakalan.”

“Saya minta dibantu dibuatkan lapangan kerja dan pasar. Biar nanti pemuda tidak pergi,” kenang Kamijan.

Hingga akhirnya rencana membuat acara sedekah bumi bergulir. Karena tidak ada dana, mereka mencari donatur antara lain ke anggota dewan, dan pejabat. Dana yang terkumpul kemudian dipakai untuk penyelenggaraan acara pada 22 Juni 2008. Bupati pun setuju memberikan bantuan dana Rp445 juta dari dana community development.

Dengan dana itu proyek pembangunan mimpi besar petani hutan Kalibiru pun dimulai. Mereka ingin membuat pasar dan membuka lapangan kerja. Pasar dalam idiom masyarakat Jawa adalah sesuatu yang ramai, dikunjungi banyak orang.

Kini, dusun yang dulu sepi itu ramai dikunjungi orang dari berbagai kota, baik dalam maupun luar negeri. Wisata alam Kalibiru menjadi magnet bagi bergeraknya ekonomi warga yang tinggal di dalam maupun di luar hutan. Tambahan pendapatan dari jasa lingkungan hutan memastikan mereka tetap memelihara hutan tetap lestari.

“Christ Bennet sampai menangis saat menyaksikan keberhasilan Kalibiru. Kalau ke sini, dia biasa duduk-duduk di batu besar di atas bukit,” kata Kamijan.

Saya memandang lekat wajah Kamijan. Saat menceritakan ini matanya berkaca-kaca. Parjan yang duduk di sebelah Kamijan angkat suara. “Kalau ingat itu saya pun merinding.”

Oleh pengelola wisata alam Kalibiru nama Christ Bennet kini disematkan pada batu yang biasa didudukinya.

 

Keterangan foto utama:  Kamijan, salah satu perintis HKm Mandiri. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version