Mongabay.co.id

Taufiq Tularkan Ilmu Ubah Botol Plastik Bekas jadi Karya Indah

M. Taufiq Shaleh Saguanto menunjukkan miniatur motor gede setengah yang telah dicat semprot. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Puluhan remaja Mesjid As-Sakinah, Bandungrejosari, Sukun, Kota Malang, Jawa Timur, duduk bersimpuh di sudut ruangan mesjid. Mereka duduk di depan Muhammad Taufiq Shaleh Saguanto, sambil memegang dua botol bekas, dua pipet atau sedotan serta dua sendok plastik. Ada sebilah gergaji besi, lem tembak dan cat semprot.

Kedua botol dipotong dan dibelah, tutup botol dan pipet dirangkai hingga mirip sepeda motor gede (moge) asli. Semua bagian terekatkan dengan lem tembak yang dipanaskan. Miniatur moge itu ditempel di kertas kardus, disemprot cat warna hitam dan emas jadi panjangan menarik dan eksotik.

Usai mengamati semua pekerjaan, remaja masjid memotong botol plastik, pipet dan sendok plastik. Mereka memperhatikan detil, agar miniatur motor sesuai bentuk asli. Setelah terakit sempurna, giliran Taufiq, memberi sentuhan akhir buat miniatur motor, cat semprot.

Taufiq, merupakan social entrepreneur (wirausaha sosial) yang tertantang karena sampah plastik menumpuk. Sisi lain, tak banyak pemerintah memiliki sarana penunjang mengolah sampah plastik. Kerisauan Taufiq tersalurkan, dengan membuat miniatur sepeda motor, pesawat, kapal, mobil, robot dan patung.

Pengusaha konveksi dan pelatih bisnis ini kerap mendaur ulang mainan atau barang bekas jadi sesuatu yang memiliki nilai dan fungsi. Dia mendesain, beragam miniatur dalam kriya menarik. Kini, dia telah menciptakan 600 desain.

“Kreasi ini temuan tanpa sengaja. Bagaimana membuat usaha tanpa modal,” katanya.

 

Botol plastik bekas minuman yang diperjualbelikan untuk wadah jamu, pembersih lantai dan kerajinan. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Pada 2016, dia mengawali dengan bermodal Rp50.000 untuk membeli lem tembak dan cat semprot. Lantaran dia tertantang melatih bisnis tanpa modal.

“Selama ini hanya ngomong. Tak punya tools. Sekarang, ada bukti, bisnis bisa dimulai tanpa modal,” katanya. Taufiq hanya bermodal dua botol bekas air minum, pipet atau sedotan dan sendok plastik, tercipta karya bernilai artistik dan bernilai jual.

“Making money from zero,”katanya. Selama ini, katanya, sampah plastik dianggap masalah global, sebagai barang tak berguna. Di mata Taufiq, botol plastik bekas air minum merupakan bahan baku.

Di Malang, masih banyak sampah belum terolah dan berakhir di tempat pembuangan. Setiap hari, penduduk Kota Malang sebanyak 850.000 jiwa menghasilkan sekitar 600 ton sampah. Sampah  dari limbah rumah tangga, dan pasar, 35% sampah argonik. Bank Sampah Malang, hanya mampu menerima sampah kering 4-5 ton perhari atau 2,1% sampah anorganik.

“Selebihnya, belum bisa diolah, menumpuk di Tempat Pembuangan Sampah Akhir Supit Urang,” kata  Rahmat Hidayat, Kepala bidang Kemitraan dan Pengendalian Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup Kota Malang.

Kini, Taufiq fokus memberikan pelatihan bisnis maupun pelatihan mengurangi sampah plastik, seperti melatih guru agar mengajarkan ke siswa. “Fokus mengajarkan sebanyak-banyaknya kepada siapa saja. Sudah melatih 3.000 orang,” katanya.

Peserta pelatihan tersebar di penjuru negeri, bahkan luar negeri. Taufiq juga digandeng Walhi Palu dan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR). Dia merupakan relawan UNHCR, memberikan pelatihan kepada para imigran dari Iran, Afghanistan dan Irak yang jadi pengungsi di shelter UNHCR Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar dan Kupang.

“Termasuk melatih pengungsi Rohingya,” katanya.

Taufiq tak pelit ilmu. Dia mengajar, buat mahasiswa asing yang kuliah di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. Mahasiswa dari Kanada, Selandia Baru, Kongo, Afrika, Jepang, dan Malaysia.

Dia berharap, mahasiswa asing itu menerapkan di negara masing-masing.

 

Muhammad Taufiq Shaleh Saguanto melatih para remaja mesjid dan ibu-ibu membuat kerajinan miniatur motor dari botol plastik bekas minuman. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Taufiq mendirikan Hot Bottle Recycle Company, usaha sosial untuk mendukung gerakan mengolah sampah plastik.

Dengan kreasi ini, dia coba hentikan produksi sampah plastik. Yang sudah terlanjur jadi sampah, dimanfaatkan seoptimal mungkin, dipakai lagi atau diolah. “Kotak makan plastik hanya digunakan 15 menit, sampahnya sampai 800 tahun. Sulit terurai.”

Kini, dia menciptakan 600 desain miniatur motor, pesawat, kapal, mobil hingga robot. Metode pembelajaran bertahap, sampai menemukan presisi tinggi menyerupai bentuk asli.

 

Museum

Taufiq ingin mengembalikan masa anak Indonesia membuat mainan sendiri, seperti masa lalu tetapi bahan dari sampah plastik. Dia mengenang saat kecil, selembar kertas jadi mainan kapal-kapalan dan pesawat. Kini, dia ingin botol plastik jadi karya dan mainan menarik.

“Anak sekarang lahir sudah dikendalikan kapitalis. Harus membeli mainan untuk bahagia. Jika anak Indonesia bisa buat mainan sendiri, mereka tak dijajah kapitalis,” katanya.

Botol plastik bekas minuman bakal pun, katanya, bisa jadi mainan anak-anak, sama seperti origami dan lego.

Taufiq juga mendirikan Museum and Education Hot Bottle di Brawijaya Edupark. Ruangan seluas lapangan bola voli ini memajang 70-an karya desain Taufiq. Miniatur sepeda, motor gede, dan mobil sport dipajang di meja pamer. Rak susun juga dipenuhi aneka miniatur mobil, motor, vespa dan kapal layar.

 

Miniatur kapal layar terbuat dari botol plastik bekas karya M Taufiq Shaleh Saguanto. Foto: EKo Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Di tengah ruangan, potongan mobil jip bekas kendaraan perang dunia kedua jadi etalase miniatur helikopter dan pesawat. Sebagian kerajinan dibingkai dalam pigura, terlihat menarik dan artistik. Piguran ditempel di dinding menghiasi ruangan. Bahkan, sebuah robot setinggi manusia mencuri perhatian. Terbuat dari bekas kaleng cat, berdiri di depan menyambut tamu museum yang datang.

Penjaga museum, Nor Laili mengatakan, kalau museum jadi ruang pamer sekaligus pendidikan bagi keluarga dan sekolah untuk belajar daur ulang sampah plastik.

Mahasiswa semester akhir jurusan pendidikan luar biasa Universitas Negeri Malang ini berharap, bisa mengembangkan konsep Taufiq untuk anak berkebutuhan khusus.

“Semua difabel bisa belajar, kecuali tuna grahita dan tuna netra,” katanya.

Mereka dilatih mandiri dan menanamkan jiwa wirausaha.

Pengunjung ramai, saat libur sekolah dan akhir pekan. Dia juga sediakan paket pelatihan Rp50.000, setelah mengikuti pelatihan bisa membawa pulang kerajinan mereka.

“Tujuannya, untuk pendidikan, bukan komersial,” katanya.

Biasanya, orangtua mengajak anak-anak atau rombongan sekolah yang belajar mengolah kembang botol plastik bekas minuman. Bagi masyarakat yang tertarik belajar bisa menghubungi Taufiq.

Selemparan batu dari museum, di depan warung menumpuk botol platik bekas minuman. Sampah terikat dan sortir sesuai merek serta ukuran.

Pemilik warung, Sri Rahayu, akrab disapa Mak Nyak Botol bilang, saban dua pekan menerima sekitar 1.000-an botol kiriman pemulung, dari hotel, rumah sakit, warung, dan restoran.

Mak Nyak Botol membeli per botol Rp100, dijual Rp200. Botol plastik ini sudah bersih. “Kalau kotor, ya dicuci dulu,” katanya.

Mak Botol memiliki langganan pembeli botol plastik bekas ini. Pembeli, katanya, pakai botol plastik untuk wadah jamu, dan pembersih lantai. Kadang ada yang memanfaatkan untuk kerajinan, seperti Taufiq dengan Hot Bottle Recycling.

 

Keterangan foto utama:    M. Taufiq Shaleh Saguanto menunjukkan miniatur motor gede setengah yang telah dicat semprot. Foto: Eko Widianto/ Mongabay Indonesia

 

Penjaga Museum and Education Hot Bottle, Nor Laili menunjukkan kriya karya M. Taufiq Shaleh Saguanto. Foto: EKo Widianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version