Mongabay.co.id

Energi Terbarukan itu Makin Nyata Diwujudkan

 

Penggunaan energi matahari makin meluas di Bali. Konser terakhir yang memanfaatkan panel surya untuk memanen energi matahari dalam jumlah besar adalah Summer Festival 2.0 oleh Greenpeace Indonesia di pesisir Celukan Bawang, Kabupaten Buleleng, Bali. Berjarak 100 km ke utara dari Kota Denpasar, atau sekitar 3,5 jam berkendara.

Rangkaian event pada 23-25 Agustus ini sangat padat dengan sejumlah workshop, diskusi, dan konser musik. Sejumlah komunitas berbagi pengetahuan dan keterampilan. Sementara warga terdampak PLTU batubara di sejumlah titik pulau Jawa berbagi kisah.

Selain untuk panggung konser, energi surya juga dimanfaatkan untuk keperluan lain seperti pompa air, penerangan, charge ponsel, dan lainnya. Total daya yang digunakan sekitar 20.000 Kwh.

Panel-panel surya dijemur di pinggir pantai untuk memanen panas matahari. Pembangkitan energi matahari ini dilakukan kolaboratif oleh dua praktisi energi surya di Bali Bio Solar Farm dan Negeri Matahari Mandiri, serta Greenpeace.

Dengan penampilan belasan band selama dua hari konser, check sound siang hari dan manggung dari sore jelang tengah malam, hitung-hitungan energi ini sangat penting. I Gusti Agung Putradhyana yang akrab dipanggil Gung Kayon dari Negeri Matahari Mandiri mencatat total panel surya terpasang sekitar 20.000 Wp. Watt peak (Wp) adalah jumlah daya produksi optimal yang dihasilkan rangkaian panel surya dalam kondisi tertentu.Greenpeace menyediakan 3.200 Wp dengan 2 inverter masing-masing 3 kilo Watt (kW).

baca : Menagih Komitmen Energi Bersih Terbarukan Gubernur Bali [Bagian 1]

 

Panggung dari bambu dan jerami ini dihidupi dengan daya listrik dari panel surya selama 2 hari pertunjukan. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Sementara Bio Solar Farm terbesar dengan menyediakan panel surya 8.340 Wp dengan 2 inverter masing-masing 6.5 kW, dan batere 24.000 Wh, dengan backup 56.000 Wh. Difokuskan untuk sound system, dan penggunaanya sekitar 8 kW. Batere biasanya hanya digunakan 75% saja karena alat akan otomatis mematikan diri agar batere tidak rusak.

Negeri Matahari Mandiri menyiapkan panel surya 7.200 Wp dengan 2 inverter masing-masing 5 kW, batere 9.600 Wh, 5.900 Wh, dan 4.400 Wh. Difokuskan untuk lighting panggung dan penerangan di arena event. Solar panel lainnya untuk pompa air dan lampu.

Photovoltaics (PV), lebih populer dengan istilah panel surya atau solar cell mengubah energi cahaya jadi tegangan/voltase. Dalam cuaca cerah, satu panel ukuran satu meter bisa menghasilkan daya 100 watt/jam. Waktu panen cahaya optimal di Indonesia rata-rata selama 4 jam efektif per hari. Bisa dihitung berapa kebutuhan per hari dan jumlah energi panas matahari bisa dikonversi jadi listrik. Konverter mengubah tegangan dari solar cell dan diturunkan ke batere.

Gung Kayon mencatat, sebagai evaluasi perlu manajemen waktu lebih terutama untuk check sound. “Sehingga cukup waktu untuk recharging tenaga surya, dan tidak hanya habis untuk check sound saat siang hingga sore hari,” katanya.

Demikian juga saat pertunjukan perlu lebih ketat pada waktu agar sesuai rundown. “Kami ketar-ketir juga awalnya. Karena hitungan kebutuhan daya berdasarkan asumsi yang minimal,” lanjutnya. Dari permintaan sekitar 20 kW, akhirnya disepakati sekitar 8 kW. Tabungan surya juga bisa disimpan cukup banyak karena kapasitas batere besar.

baca juga : Mewujudkan Kemandirian Energi Berawal dari Desa di Bali

 

Panel surya untuk membangkitkan energi panas matahari ini dipasang di pinggir panggung Summer Festival 2.0, daya yang digunakan sekitar 20.000 Kwh. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia

 

Gung Kayon berprinsip, energi terbarukan walau ramah lingkungan tidak bisa dihambur-hamburkan, harus disesuaikan dengan kebutuhan. Bahkan mendorong efisiensi karena kebutuhan dihitung.

Untuk konser, selain manajemen waktu, menurutnya bisa efisien dengan mengelola daya terbesar untuk power amplifier, mixer audio digital, dan lainnya. “Pembagian beban ke peralatan-peralatan juga sangat penting menjadi pelajaran, sehingga ke depan penyediaan energi lebih efisien, juga bisa dengan alat-alat lebih kecil,” ia memberi catatan.

 

Festival Energi Terbarukan

Summer Festival 2.0 diniatkan sebagai sustainable festival yang seluruh acaranya menggunakan 100% energi terbarukan. Untuk mempopulerkan penggunaan energi terbarukan serta mengakhiri era batu bara, karena itulah lokasi kegiatan di dekat PLTU Celukan Bawang yang digugat karena menggunakan batubara.

Ratusan orang yang terlibat juga komunitas dan jaringan Greenpeace di luar Bali, terutama Jawa. Bersamaan dengan festival, juga dirilis sebuah album berjudul Senandung Energi Bumi yang melibatkan 13 musisi indie tanah air, hampir semua manggung di Summer Fest ini, di antaranya band Zat Kimia, Navicula, Tuantigabelas, Mr Sonjaya, Oscar Lolang, Sisir Tanah, dan lainnya. Mereka semangat konser dari energi terbarukan, berdekatan dengan area parkir kapal-kapal tongkang pembawa batubara untuk PLTU Celukan Bawang.

PLTU Celukan Bawang tahap 1 beroperasi sejak 2015, kemudian ditambah. PLTU Celukan Bawang II yang saat ini sedang direncanakan memiliki kapasitas 2 x 330 Megawatt atau hampir dua kali lipat PLTU Celukan Bawang I, yaitu 3 x 142 Megawatt. Dengan kapasitas sebesar itu, Greenpeace menghitung risiko polusi udara dan dampak merugikan yang lebih besar bagi masyarakat Bali dan ekosistem sekitarnya.

perlu dibaca : Begini Ironi Membumikan Energi Bersih di Bali

 

Gubernur Bali Wayan Koster berkomitmen mengganti bahan bakar PLTU Celukan Bawang dari batubara ke gas, namun belum terlihat. Foto: Luh De Suriyani/Mongabay Indonesia.

 

Satrio Swandiko, Jurukampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan walau Gubernur Bali Wayan Koster berkomitmen mengganti batubara ke gas di Celukan Bawang, namun izin Amdalnya belum dicabut. “Kita harus terus mendorong energi bersih,” katanya. Emisi penggunaan gas lebih kecil karena pembakarannya lebih sempurna.

Dalam arena Summer Festival ini, tim Greenpeace membuat kampanye agar pemerintah lebih cepat melakukan transisi energi terbarukan. Sebuah proyeksi gambar bertuliskan “Energi Surya untuk Bali” ditembakkan ke sebuah pohon sehingga tampak berdampingan dengan PLTU Celukan Bawang.

Pada 2018 sejumlah warga Celukan Bawang bersama Greenpeace Indonesia dan LBH Bali mengajukan gugatan terhadap izin lingkungan ekspansi PLTU Celukan Bawang yang dikeluarkan oleh gubernur sebelumnya. Gugatan ini ditolak pengadilan sampai tingkat kasasi.

Dengan Keputusan Kasasi MA tersebut, maka peran Gubernur Bali dianggap penentu untuk membatalkan ekspansi PLTU Celukan Bawang tahap dua. Ini sekaligus menjadi momentum bagi Gubernur Koster untuk membuktikan komitmennya kepada rakyat Bali menghentikan ekspansi PLTU batu bara dan beralih ke energi bersih.

perlu dibaca : Bali Sedang Rancang Pergub Energi Bersih. Seperti Apa?

 

Proyeksi gambar bertuliskan “Energi Surya untuk Bali” ditembakkan dengan latar belakang PLTU, Celukan Bawang memeriahkan acara Summer Festival 2. Foto : Greenpeace/Mongabay Indonesia

 

Potensi Energi Bersih

Dari catatan Greenpeace,  PLN telah mengidentifikasi beberapa potensi pembangkit tenaga surya yang dapat dikembangkan sesuai dengan kebutuhan sistem kelistrikan di Provinsi Bali, yaitu PLTS Negara, PLTS Amlapura, dan PLTS Kubu, dengan kapasitas masing-masing pembangkit adalah 100 MW.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi potensi energi surya di Provinsi Bali di antaranya penelitian oleh Sah, B.P. dan Wijayatunga, P. (2017) dalam Asian Development Bank Sustainable Environment Working Paper Series, Bali memiliki iradiasi solar berkisar 1,490 hingga 1,776 kWh/m2/tahun, atau melebihi standar yang diberlakukan di Eropa untuk kelayakan proyek energi surya, yaitu 900 kWh/m2/tahun. Dengan menggunakan sistem permodelan pemetaan, dapat diketahui bahwa total potensi energi surya di Provinsi Bali dapat mencapai 113,436.5 GWh per tahun, di mana jauh melebihi jumlah permintaan energi penduduknya pada tahun 2027, yaitu 10,014 GWh per tahun.

Dibandingkan energi bersih lainnya, energi solar di Provinsi Bali memiliki potensi yang paling tinggi, yaitu sekitar 98% dari total potensi energi bersih yang terdapat di Bali. Terdapat dua kabupaten yang dinilai paling potensial untuk mengembangkan energi surya, yaitu Kabupaten Buleleng dan Kabupaten Klungkung yang memiliki 52% dari total potensi energi surya di Bali, dengan kapasitas mencapai 59,000 GWh per tahun.

Selanjutnya, dengan menggunakan metode perhitungan guna lahan dan pertimbangan ekonomis lebih rinci yang dilakukan oleh Syanalia, A. (2018), terdapat dua skenario pemanfaatan lahan di Provinsi Bali untuk pemasangan energi surya, yaitu dengan skenario minimum dengan pemanfaat lahan seluas 273 km2 dan skenario maksimum dengan pemanfaat lahan seluas 453 km2.

Dengan luas lahan tersebut, Bali memiliki potensi energi surya sebesar 32,000 GWh hingga 53,300 GWh per tahun dengan menggunakan solar PV jenis thin-film silicon sebagai opsi termurah. Dengan kata lain, potensi energi surya tersebut telah jauh melebihi kebutuhan listrik di Provinsi Bali pada tahun 2027, yaitu 10,014 GWh per tahun.

Penggunaan energi surya pada masing-masing skenario tersebut untuk mencapai kebutuhan listrik di tahun 2027 akan mengurangi emisi karbon sebesar 6 hingga 8 juta ton CO2.

 

Exit mobile version