Mongabay.co.id

Terbentuk Indonesian Mangrove Society, Apa Misinya?

 

Pekan lalu bertempat di Kota Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah (Jateng) para birokrat pemerintah pusat, pemerintah daerah, akademisi dan pemangku kepentingan lainnya yang sama-sama memiliki konsen terhadap mangrove berkumpul.

Selama tiga hari, mulai 19-23 Agustus 2019, para pakar mangrove saling berbagi dan berbicara dalam International Conference Mangrove and its Related Ecosystem (ICoMIRE) 2019. Acara tersebut dihelat oleh Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto bekerjasama dengan Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Kemaritiman dan didukung oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti).

Selain seminar, pertemuan itu menyepakati pembentukan Indonesian Mangrove Society (IMS) atau Masyarakat Mangrove Indonesia. Sebagai organisasi yang baru saja lahir, memang belum tampak aksi kinerjanya. Namun, mereka bertekad untuk ikut aktif mendorong rehabilitasi mangrove di Indonesia yang mengalami kerusakan seluas 1,8 juta hektare.

Dekan Fakultas Biologi Unsoed Prof Imam Widhiono mengatakan pertemuan dihadiri oleh para pemangku kebijakan dan akademisi. Bahkan juga ada sejumlah pembicara dari Jepang, Vietnam dan Filipina. Ada 66 makalah mengenai mangrove yang terbagi menjadi empat topik. Yakni Mangrove ecosystem health in support of sustainable ecosystem use, Ecosystem management (including policy on mangrove management and anthropogenic aspects), Recent approach on mangrove monitoring, dan Interrelated (seagrass, coral, coastal, estuary). Pertemuan ini untuk memperkuat kerja sama demi terjaganya kawasan mangrove untuk kesejahteraan umat,”katanya.

baca : Mangrove Itu Bermanfaat, Sekaligus Terancam, Kenapa?

 

Seminar internasional dan pembentukan Indonesian Mangrove Society di Purwokerto, Jateng. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sementara dalam riset terkini menyebutkan, setiap tahunnya secara global luasan kawasan mangrove berkurang 1%-2% per tahun. Artinya dalam 20 tahun ke depan dapat terjadi pengurangan luas kawasan mangrove sebesar 35%. The Global Mangrove Alliance menyebutkan bahwa dunia akan kehilangan 50% kawasan mangrove dalam kurun waktu 50 tahun.

Kondisi itulah yang mendorong Kemenko Kemaritiman menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), lembaga swadaya masyarakat, akademisi, masyarakat dan semuanya bergerak bersama melakukan rehabitasi mangrove. Jika dilihat data hutan mangrove di Indonesia, ada 1,8 juta ha yang mengalami kerusakan. Hutan itu tidak hanya di Jawa dan Sumatera saja, melainkan hampir di seluruh pulau.

“Pertemuan ini sebagai salah satu bagian penting menyamakan persepsi dan tukar informasi mengenai mangrove. Pada pertemuan ini, kami mengajak seluruh “stakeholders” untuk bersama-sama bergerak merehabilitasi mangrove,” jelas Deputi II Bidang Koordinasi Sumberdaya Alam dan Jasa Kemenko Bidang Kemaritiman Agung Kuswandono pada Rabu (21/8/2019).

Menurutnya, mulai tahun 2019 ini diinisiasi rehabilitasi mangrove dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang ada. “Kami berharap, dalam lima tahun mendatang mangrove yang rusak tersebut dapat direhabilitasi. Untuk tahun 2019, baru dalam proses penyamaan persepsi dari masing-masing stakeholders yang ada. Termasuk dalam pertemuan ICoMIRE 2019, tidak saja diisi seminar oleh para pakar, tetapi juga pertemuan untuk menyamakan persepsi mengenai kondisi dan upaya rehabilitasi mangrove di Indonesia,”katanya.

Agung mengatakan dalam melakukan rehabilitasi mangrove, pemerintah tidak mungkin jalan sendirian. Karena itulah, nantinya melibatkan semua pihak. Secara teknis, Kemenko Kemaritiman akan bekerja sama dengan KLHK untuk membentuk klaster-klaster. Nantinya, lanjut Agung, ada enam tempat yang tersebar merata di seluruh Indonesia yang menjadi tempat program rehabilitasi mangrove.

“Di setiap lokasi bakal dilibatkan universitas terdekat. Misalnya di Jawa bagian selatan, dilibatkan Unsoed. Kemudian di pantura akan melibatkan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang. Kemudian di Sumatra juga bekerja sama dengan universitas di sana,” katanya.

Ia mengatakan soal pendanaan nantinya bisa diambilkan dari berbagai pos. “Kami tidak ingin mengambil dana dari luar. Nantinya, dana bisa diambilkan dari dana desa, CSR dan lainnya. Sebab, rehabilitasi mangrove merupakan tiugas bersama. Rehabilitasi penting, karena dengan mangrove yang tumbuh, maka akan berdampak baik bagi nelayan. Sebab, mangrove merupakan tempat perkembangbiakan ikan. Mangrove juga bisa dikembangkan untuk pewarna batik, pemanis, sirup, makanan, minuman dan lainnya. Tanpa harus menebang pohonnya,”tandasnya.

baca juga : Indonesia Petakan Kembali Mangrove untuk Karbon Biru

 

Kawasan Segara Anakan, Cilacap, Jateng yang kanan kirinya merupakan mangrove. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Terbentuk IMS

Mangrove yang merupakan blue carbon asset penting serta penyedia layanan dan jasa sosial yang sangat beragam bagi kesejahteraan manusia memang membutuhkan campur tangan manusia. Ironisnya, campur tangan manusia juga lah ditambah dengan perubahan iklim global mengakibatkan luasan mangrove kian menyempit, terutama tiga dasa warsa terakhir.

Dalam menyikapi kondisi tersebut maka diperlukan kebijakan pengelolaan mangrove yang didasarkan pada hasil-hasil riset ilmiah. Kebijakan yang disusun hendaknya memiliki pijakan kuat, aplikatif dan menyeluruh. Pembentukan forum bersama secara internasional dapat dijadikan sebagai wadah dalam mengkaji dan berbagi informasi mutakhir terkait ekosistem mangrove dan manajemennya.

Maka dengan adanya pertemuan itu, tak hanya seminar dan workshop, melainkan juga adanya Konferensi IMS pertama yang kemudian membentuk formatur. “Ada 9 formatur yang telah disepakati bersama. Mereka terdiri dari kalangan penerintah pusat, pemerintah daerah, universitas dan lainnya. Tugas formatur adalah menyiapkan kelengkapan organisasi dan menetapkan Ketua IMS,” kata Erwin Riyanto Ardli, salah seorang formatur dari Fakultas Biologi, Unsoed Purwokerto.

Ia mengatakan IMS memiliki visi untuk menjaga dan memanfaatkan mangrove secara lestari. Selain itu, dengan luasnya mangrove yang mengalami kerusakan, maka dibutuhkan upaya untuk memperbaikinya. “IMS adalah sebuah wadah bertemunya stakeholders yang nantinya dapat menjadi fasilitator atau penghubung pemerintah dengan berbagai pihak dengan tujuan bersama, merehabilitasi mangrove yang rusak. Targetnya, tahun ini IMS sudah lengkap kepengurusannya dan berbadan hukum. Sehingga IMS nantinya betul-betul mampu sebagai lembaga yang konsen melestarikan mangrove serta mendorong pemanfaatan mangrove secara bijak. Ini merupakan organisasi pertama di bidang mangrove yang melibatkan seluruh pemangku kebijakan,”jelas Erwin.

menarik dibaca : Lanskap Sembilang: Mangrove, Harimau, dan Harapan Nyata Masyarakat

 

Sekitar kawasan mangrove di Segara Anakan, Cilacap, Jateng, menjadi lokasi pencarian ikan. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Sebagai gambaran, nantinya di wilayah Jateng IMS tentu akan menggandeng Pemkab Cilacap dan Unsoed Purwokerto guna melaksanakan rehabilitasi mangrove di kawasan pesisir Cilacap. “Saat sekarang di pesisir Cilacap, misalnya, ada sekitar 8 ribu ha mangrove, 70% di antaranya butuh rehabilitasi. Hanya saja, tentu akan dilihat juga zona pemanfaatannya. Apakah luasan 70% tersebut akan direhabilitasi semua atau tidak. Tentu pada tahap awal butuh pemetaan dan koordinasi dengan pemkab setempat. Secara teknis nantinya seperti itu. Yang jelas, sampai akhir tahun, formatur masih bekerja untuk menentukan kelengkapan organisasi terlebih dahulu,”tandasnya.

Sebagai rujukan dan bentuk apresiasi dunia terhadap kekayaan ekosistem mangrove Indonesia, maka perlu segera diwujudkan Indonesia sebagai World Mangrove Center.

 

Exit mobile version