- Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] Banda Aceh, Provinsi Aceh, pada sidang Rabu [28 Agustus 2019], membatalkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPPKH] Pembangkit Listrik Tenaga Air [PLTA] Tampur yang dikeluarkan Gubernur Aceh, 9 Juni 2017.
- Majelis hakim berpendapat, Gubernur Aceh dalam mengeluarkan IPPKH, melampaui kewenangan dan bertentangan dengan UU Pemerintah Aceh dan UU Kehutanan serta aturan turunan.
- Majelis hakim juga mempertimbangkan penerbitan izin di dalam Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] yang bertentangan dengan Pasal 150 UU Pemerintahan Aceh.
- Walhi Aceh dan masyarakat yang tinggal di sekitar Sungai Tamiang menyambut baik keputusan tersebut karena keberadaan mega proyek itu dapat menghancurkan kehidupan masyarakat dan merusak lingkungan hidup.
Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara [PTUN] Banda Aceh, Provinsi Aceh, membatalkan Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan [IPPKH] Pembangkit Listrik Tenaga Air [PLTA] Tampur yang dikeluarkan Gubernur Aceh pada 9 Juni 2017.
Rabu, 28 Agustus 2019, Majelis Hakim PTUN Banda Aceh yang dipimpin Muhammad Yunus Tazryan, serta Fandy Kurniawan Pattiradja dan Miftah Saad Caniago sebagai hakim anggota, memenangkan gugatan Walhi Aceh dengan tergugat Gubernur Aceh dan tergugat intervensi PT. Kamirzu.
Dalam putusannya, majelis hakim berpendapat, IPPKH dengan Nomor 522.51/DPMPTSP/1499/IPPKH/2017 tentang Pemberian Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan Dalam Rangka Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tampur-I yang dikeluarkan Gubernur Aceh, melampaui kewenangan.
“Menolak eksepsi Tergugat dan Tergugat Intervensi untuk seluruhnya. Dalam pokok perkara, mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya,” terang Muhammad Yunus, saat membacakan amar putusan.
Baca: Desa Lesten akan Ditenggelamkan, Demi Alasan PLTA Tampur
Majelis hakim mengatakan, Keputusan Gubernur Aceh tentang pemberin izin pembangunan PLTA berkapasitas 443 MW seluas 4.407 hektar atas nama PT. Kamirzu di Kabupaten Gayo Lues, Kabupaten Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur, Provinsi Aceh beserta perubahannya batal atau tidak sah.
“Mewajibkan Tergugat mencabut objek sengketa beserta perubahannya dan membayar biaya perkara secara tanggung renteng,” ujarnya.
Majelis memberikan kesempatan para pihak yang keberatan mengajukan banding ke PTUN Medan, Sumatera Utara, paling lama 14 hari sejak putusan dibacakan.
Walhi Aceh, sebelumnya pada 11 Maret 2019, bersama sembilan penasehat hukum mendaftarkan gugatan ke PTUN Banda Aceh, terhadap Gubernur Aceh atas penerbitan keputusan itu.
Baca: Pembangunan PLTA di Aceh, Kajian Potensi Gempa dan Analisis Lingkungan Prioritas Utama
Izin kewenangan
Ketua Penasehat Hukum Walhi Aceh, Muhammad Reza Maulana menyebutkan, dalam pertimbangannya majelis hakim menyatakan IPPKH yang diterbitkan Gubernur Aceh, bila dihubungkan dengan Undang Undang Nomor: 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh pasal 150, 156 dan pasal 165; lalu Undang-Undang Kehutanan dan aturan pelaksananya UU Nomor: 41 tahun 1999; PP Nomor: 24 tahun 2010; Permen LHK Nomor: P-50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 dan seterusnya, kewenangan gubernur hanya lima hektar. Bersifat tidak komersil.
“Faktanya, Gubernur Aceh memberikan PT. Kamirzu seluas 4.407 hektar. Majelis hakim menyatakan, Gubernur Aceh tidak berwenang menerbitkan IPPKH,” terangnya.
Reza mengatakan, majelis hakim juga menyampaikan, penerbitan izin di Kawasan Ekosistem Leuser [KEL] juga bertentangan dengan Pasal 150 Undang-Undang Pemerintahan Aceh.
“Objek sengketa atau IPPKH PT. Kamirzu ternyata telah diubah pada 29 Januari 2019. Majelis hakim menyatakan, revisi merupakan satu kesatuan, sehingga menarik perubahan ke persidangan dinyatakan pembatalan,” ujarnya.
“Artinya, selain objektif menilai dan memutuskan, majelis hakim juga memberikan pelajaran hukum baru bagi seluruh rakyat Indonesia,” lanjut Reza.
Direktur Walhi Aceh, Muhammad Nur menyebutkan, putusan tersebut kemenangan masyarakat Aceh untuk memperjuangkan lingkungan sehat serta pemenuham hak atas lingkungan. Ini bentuk keadilan.
“Majelis hakim teliti melihat perkara dari berbagai aspek,” ujarnya.
Baca: Tidak Hanya Mengancam Kelestarian Leuser, Peneliti: PLTA Tampur Berada di Wilayah Rawan Gempa
Masyarakat gembira
Masyarakat Kabupaten Aceh Tamiang yang hidup di sekitar Sungai Tamiang, sungai yang akan dibendung bila proyek dilakukan, menyambut gembira putusan sidang tersebut. “PLTA mengancam kehidupan kami, karena hulunya akan dibendung,” sebut Rahman, warga Kabupaten Aceh Tamiang.
Dia mengatakan, selama ini Sungai Tamiang sumber kehidupan masyarakat Aceh Tamiang dan sebagian Aceh Timur. Selain untuk air bersih, airnya untuk mengairi lahan pertanian dan perkebunan, serta tempat nelayan mencari nafkah.
“Banyak masyarakat yang hidup mencari ikan di sungai ini, seperti ikan jurung dan baung,” ujar Rahman yang seorang nelayan.
Maksum, warga Aceh Tamiang lain mengatakan tidak setuju PLTA Tampur yang tinggi bendungannya mencapai 173,5 meter dibangun di wilayah Tamiang. Apalagi, tidak ada sosialisasi ke masyarakat, termasuk risikonya.
“Kami tidak mau, terlebih lokasi bendungan dekat permukiman penduduk,” terangnya pada diskusi PLTA Tampur yang dilaksanakan Yayasan Hutan, Alam dan Lingkungan Aceh [HAkA] di Banda Aceh, 23 November 2017 silam.
Maksum yang juga anggota komunitas masyarakat Penjaga Hutan dan Sungai Aceh Tamiang mengatakan, sebagian besar penduduk Aceh Tamiang tinggal di pinggir Sungai Tamiang yang berhulu ke KEL.
“Masyarakat Tamiang pernah merasakan bagaimana air bah menghantam permukiman. Banjir terjadi 22 Desember 2006, kami menderita,” ujarnya.
Menurut data Sekretariat Posko Terpadu Kabupaten, saat itu dari 58.674 kepala keluarga atau 246.852 jiwa penduduk Aceh Tamiang, sekitar 203.722 jiwa terpaksa mengungsi.
Bencana juga merenggut 28 korban meninggal. Banjir bandang yang menerjang 12 kecamatan di Aceh Tamiang tersebut mengakibatkan 2.295 rumah hancur. “Kami menolak proyek PLTA, tidak ingin merasakan bencana lagi,” ungkap Maksum.
Diawasi
Sebelumnya, Plt. Gubernur Aceh, Nova Iriansyah saat berkunjung ke Desa Lesten, Kecamatan Pining, Kabupaten Gayo Lues, pada 19 Agustus 2019 mengatakan, Pemerintah Aceh setuju dengan pembangunan PLTA Tampur. Tapi, perusahaan harus menggunakan teknologi terbaik dan tidak merusak lingkungan.
“Yang perlu kita awasi adalah metode mereka mengerjakan proyek. Nanti akan ada badan atau lembaga yang mengawasi. Bagaimanapun manfaat PLTA lebih banyak ketimbang mudharat,” terangnya, dikutip dari Harian Analisa.
Menurut Nova, kebutuhan listrik di Aceh cukup, tapi kedepan akan bertambah. “PLTA ini penting dan terbesar di Sumatera,” ujarnya.
Masyarakat Kecamatan Simpang Jernih, Kabupaten Aceh Timur menilai, pernyataan tersebut mengecewakan, terkesan tidak memahami persoalan. “Pembangunannya pasti merusak lingkungan. Mereka membangun bendungan dan menenggelamkan lebih 4.000 hektar hutan, ini yang jadi masalah,” terang Mahmud, warga Simpang Jernih.
Mahmud mengatakan, dia telah mencari referensi dan belum menemukan PLTA yang tidak merusak lingkungan. “Mereka membendung air dan menenggelamkan hutan. Air dibuka waktu tertentu, hal ini berdampak pada masyarakat yang hidup mengandalkan sungai,” tandasnya.