- Revisi UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Eksositemnya belum juga rampung.
- Pelibatan masyarakat dalam aturan konservasi sangat penting. Masyarakat Indonesia kaya akan pengetahuan ekologi tradisional atau Traditional ecological Knowledge [TEK].
- TEK didefinisikan sebagai sistem kognitif yang diekspresikan melalui bahasa, tradisi, keterikatan pada tempat, kenangan, spiritualitas, dan wawasan. Diwujudkan dalam kompleksitas nilai dan kepercayaan lebih luas.
- Regulasi UU No. 5 tahun 1990 saat ini, dinilai masih mengerdilkan peran masyarakat, termasuk budaya dalam konservasi.
Negara masih belum merampungkan revisi UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Eksositemnya. Padahal, regulasi ini sangat dinantikan, sebagai payung hukum konservasi dalam mengatasi degradasi lingkungan yang terus terjadi.
Pelibatan masyarakat dalam aturan konservasi pun menjadi penting. Mengapa? Satu alasan kuat adalah masyarakat Indonesia kaya akan pengetahuan ekologi tradisional atau Traditional Ecological Knowledge [TEK].
TEK yang telah diakomodir UNESCO sejak 2007, memiliki definisi sebagai sistem kognitif yang diekspresikan melalui bahasa, tradisi, keterikatan pada tempat, kenangan, spiritualitas, dan wawasan. Diwujudkan dalam kompleksitas nilai dan kepercayaan lebih luas.
Peran TEK dalam mendorong kegiatan konservasi, salah satunya dapat dilihat pada kepercayaan spiritualitas, sebagai wilayah “angker” di Taman Nasional Alas Purwo yang disinyalir turut berperan menekan perambahan.
Merujuk data kasus peredaran ilegal tumbuhan tahun 2005 -2010 oleh ITTO – CITES PROJECT, disebutkan hanya ada penebangan 860 batang bambu. Berbeda dengan Taman Nasional Meru Betiri yang sedikit terstigma sebagai wilayah “angker” jumlah penebangan mencapai 86.700 batang bambu.
Demikian pula tradisi resource sharing yang dinamakan “nyampa” oleh masyarakat multi-etnis Pulau Masalembu, Jawa Timur, yang mampu mencegah terjadinya konflik perebutan sumber daya laut oleh masyarakat setempat. Meski, wilayah tersebut dihuni masyarakat dengan karakter kuat [Madura, Bugis, dan Mandar].
Hambatan
Regulasi UU No. 5 tahun 1990 saat ini, dinilai masih mengerdilkan peran masyarakat, termasuk budaya dalam konservasi.
Dalam pasal 5 disebutkan: “Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati dan ekosistemnya.”
Lebih lanjut dalam pasal yang membahas peran rakyat [pasal 37] ayat 1 dinyatakan: “Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna.”
Selanjutnya dalam pasal 2 dituliskan: “Dalam mengembangkan peran serta rakyat, pemerintah meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.”
Ada tiga poin yang perlu dikritisi. Pertama, dalam kegiatan konservasi berupa perlindungan dan pengawetan, rakyat cenderung tidak memperoleh manfaat langsung secara ekonomi. Demikian pula aktivitas “pemanfaatan” yang menunjukkan rakyat melakukannya tanpa kemandirian. Padahal, bagaimanapun kegiatan konservasi tidak dapat meninggalkan kehadiran masyarakat. Untuk memperoleh manfaat ke arah kemandirian.
Kajian Nilsson, dkk [2016] tentang keberhasilan konservasi di negara-negara berkembang Asia, Afrika dan Amerika Latin menunjukkan ada 3 mekanisme utama yang diterapkan beserta 1 mekanisme tambahan. 1] Integrasi konservasi dan tujuan nafkah; 2] Penyediaan manfaat sebagai akibat kegiatan konservasi; 3] Pemberian kontrol pada masyarakat terhadap sumber daya, serta suplemen berupa edukasi konservasi.
Kedua, pada pasal 37 ayat 1 istilah “Diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah” dapat dimaknai sebagai pendekatan top down. Padahal, tren dalam dunia konservasi saat ini, pendekatan tersebut telah banyak ditinggalkan dan lebih pada bottom up.
Temuan Thaman, et al [2016] membuktikan, partisipasi masyarakat dalam konservasi di Portugal sebesar 43%, tidak efektif. Berbeda dengan Fiji yang menggunakan pendekatan bottom up dengan keterlibatan masyarakat sebesar 88% sehingga konservasi berjalan.
Ketiga, pada pasal 37 ayat 2 istilah “Pemerintah meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya di kalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan” telah memberikan implikasi, rakyat sebagai obyek pada tahapan “sadar.”
Padahal, tahapan ini hanya mengarahkan masyarakat pada partisipasi pasif, sebagaimana urutan tangga partisipasi Veneklasen dan Miller [2002]. Artinya, masyarakat hanya sebagai penerima informasi terkait apa yang telah diputuskan, namun tanggapan mereka tidak didengar.
Kasus perubahan status Cagar Alam Pulau Nusa Barung di Jember menjadi Suaka Margasatwa melalui Kepmen Kehutanan No 314/Menhut-II/2013 adalah contoh yang membuat masyarakat bingung. Tak terkecuali para pegiat konservasi.
Selain terkesan sembunyi dan ditutupi, bukti konkrit, BBKSDA Jatim masih menyebut Nusa Barung dengan istilah Cagar Alam dalam publikasi statistik BBKSDA Jatim 2016.
Demikian pula upaya perubahan fungsi Cagar Alam Kawah Ijen Merapi Ungup-Ungup seluas 256,289 hektar menjadi Taman Wisata Alam, yang mengagetkan masyarakat.
Kepmen LHK No 27/Menlhk/Setjen/KSA.0/1/2019 Tentang Pembentukan Tim Terpadu Penelitian Usulan Perubahan Fungsi Dalam Fungsi Pokok Kawasan Hutan Dari Kawasan Cagar Alam Kawah Ijen Merapi Ungup Ungup Menjadi Kawasan Taman Wisata Alam di Kabupaten Banyuwangi dan Kabuaten Bondowoso, Provinsi Jawa Timur, datang tiba-tiba.
Usulan revisi
Harapan bagi para legislatif yang baru terpilih dapat merampungkan revisi UU No 5 Tahun 1990, dengan menguatkan kemandiran masyarakat melalui pasal-pasal partisipasi dalam kegiatan konservasi, sangat diharapkan.
Partisipasi masyarakat perlu diarahkan pada kegiatan perlindungan, pengawetan, pemanfaatan dan pemberdayaan masyarakat terhadap sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
Partisipasi tidak hanya diarakan pada penyadaran, namun juga pada aktivitas lain yang menumbuhkan kemandirian masyarakat baik secara sosial, ekonomi dan budaya.
Sehingga pada pasal 5 direkomendasikan menjadi: “Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dilakukan melalui kegiatan: perlindungan sistem penyangga kehidupan; pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; pemanfaatan secara lestari sumber daya alami hayati dan ekosistemnya, serta pemberdayaan masyarakat untuk mencapai kemandirian sosial, ekonomi dan budaya.”
Pasal 37 ayat 1, diusulkan menjadi: “Partisipasi masyarakat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ditujukan pada kegiatan konservasi secara menyeluruh yang berdaya guna dan berhasil guna dengan pengawasan/dan atau evaluasi pemerintah.”
Dan pasal 37 ayat 2 dituliskan: “Dalam mengembangkan partisipasi masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat [1], pemerintah berupaya mendorong partisipasi mandiri masyarakat dalam konservasi melalui pendidikan dan penyuluhan serta aktivitas lain yang menumbuhkan kekuatan dan kemandirian masyarakat baik secara sosial, ekonomi dan budaya.”
Semoga!
* Ihsannudin. Kandidat Doktor Ilmu Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang, dan Dosen Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Bangkalan. Tercatat sebagai Kader konservasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tulisan ini opini penulis
Referensi:
Ihsannudin. Subejo. Suadi. Pinuji, Sukmo. Ariyani, Aminah, Happy, Moninthofa. Aini, Siti, Qurrotul. Iffah, Ainun, Fauziatu dan Sugiono. 2017. Masalembu [Resolusi Konflik Masyarakat Maritim Bercorak Multi Etnis]. UTM Press. Bangkalan.
Nilsson, Danielle. Baxter, Greg. Butler, James R.A and McAlpine, Clive A. 2016. How do community-based conservation programs in developing countries change human behaviour? A realist synthesis. Biological Conservation 200 [2016]: 93-103.
Thaman, Baravi. Icely, John D. Fragoso, Bruno D.D. Veitayak, Joeli. 2016. A comparison of rural community perceptions and involvement in conservation between the Fiji Islands and Southwestern Portugal. Ocean & Coastal Management 133 [2016]: 43-52.
UNESCO, 2007. Knowledge and practices concerning nature and the universe. http://www.unesco.org/culture/ich/index.php?pg=00056. 2007. Date accessed: May 06,2018.
VeneKlasen, Lisa and Miller, Valerie. 2002. A New Weave of Power & Politics: The Action Guide For Advocacy and Citizen Participation. World Neighbors. Oklahoma USA.