Mongabay.co.id

Kala Hidup di Daerah Sumber Air Malah Krisis Air Bersih

Mobil pick up membawa tandon berisi air bersih untuk didistribusikan ke rumah warga di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun. Kawasan sumber air bersih ini krisis air bersih karena pipa yang rusak sejak gempa Juli 2018. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Kemarau tahun ini Suhadi, harus merogoh kantong lebih dalam. Dia harus mengeluarkan uang Rp2.4 juta untuk membuat sumur bor. Air sumur bor itu untuk mengairi lahan pertanian dengan beragam sayur mayur. Petani dari Dusun Bangket Lendang Tojang, Desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik, Lombok Timur ini, khawatir, tanaman mati kalau kekurangan air.

Dia sebenarnya sudah melapor ke desa soal krisis air ini. Bersama petani lain, dia meminta izin pipa enam inchi yang melintas di depan kampung mereka agar dilubangi di beberapa titik. Rencananya, dari lubang itu mereka memasang pipa kecil buat dialirkan ke bak penampungan air. Dari bak penampungan itu, petani akan mengambil air untuk menyirami tanaman mereka.

“Usulan kami ditolak,’’ kata Suhadi.

Pipa besar yang ditanam di pinggir jalan, persis di depan rumah Suhadi adalah pipa air bersih PDAM. Air PDAM itu untuk pelanggan di Kecamatan Masbagik dan beberapa daerah lainnya. Walaupun daerah mereka dilewati pipa jaringan PDAM, warga bukan pelanggan PDAM. Warga hanya mengandalkan jaringan air bersih dari pipa dua inchi. Air dari pipa kecil itu sering macet saat kemarau.

Suhadi menunjukkan, bak penampungan air bersih di halaman rumah. Dia membuka kran dan meminta saya melihat langsung ke bak penampungan itu. Dia juga meminta saya memeriksa pipa di rumah tetangganya. Tak ada setetes pun air mengalir. Kering. Untuk kebutuhan air bersih, Suhadi mengambil di kampung tetangga. Kebetulan di sana ada bak penampungan air.

 

Air bersih berlimpah dari kawasan HKm Aik Berik Lombok Tengah ini jadi sumber air PDAM. Untuk jaringan air bersih di desa ini dikelola swadaya. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Kondisi Suhadi ibarat tikus mati di dalam lumbung padi. Tinggal di lumbung yang penuh makanan, justru mati kelaparan. Di hulu kampung tempat Suhadi tinggal, dikenal dengan Otak Aiq Tojang adalah sumber air bersih PDAM dan jaringan irigasi ke desa-desa di bawahnya. Sumber air itu hanya berjarak 400 meter dari rumah Suhadi.

Di bagian hulu kampung ini, bak penampungan beton dibangun PDAM. Bak itu menampung limpasan air dari beberapa mata air yang keluar dari akan pohon, muncul dari bawah bebatuan. Di dasar bak itu, terpasang pipa hitam. Melintang mengkuti saluran irigasi, melewati areal persawahan, dan berakhir di rumah-rumah pelanggan PDAM.

Selain itu, dari limpasan mata air itu membentuk embung. Dari embung itu air mengalir ke saluran irigasi. Air irigasi begitu bening. Dingin. Tempat mandi favorit bagi anak-anak.

Dari mata air sama, warga Kampung Bangket Lendang Tojang juga memasang pipa untuk air bersih ke rumah mereka. Sayangnya, pipa terlampau kecil, bak penampungan yang tak memadai membuat air tersendat. Pada kemarau, lebih sering air tak mengalir lantaran debit yang masuk ke bak penampungan terlalu sedikit.

Tekanan rendah, debit air kecil, membuat air tak mampu naik. Posisi perkampungan lebih tinggi dari mata air. Begitu juga irigasi di kampung ini tak pernah teraliri air. Air berlimpah di saluran irigasi di bawah kampung ini tak bisa naik ke saluran warga.

“Pernah anak-anak muda di sini mau demo, bukan begitu cara kami,’’ kata Suhadi.

Untuk urusan air bersih di Dusun Bangket Lendang Tojang dan Dusun Gelogor, dikelola melalui desa. Jaringan air bersih dibuat swadaya. Untuk biaya perawatan dan retribusi Rp10.000 per bulan. Uang masuk sebagai kas mesjid. Walaupun jaringan air bersih sangat sederhana, kebutuhan air bersih warga terpenuhi. Begitu juga air untuk pertanian tak pernah kering seperti saat ini.

 

Suhadi berdiri di depan bak penampungan air di halaman rumahnya di Bangket Lendang Tojang, Desa Lendang Nangka, Kecamatan Masbagik, Kabupaten Lombok Timur. Tidak ada air mengalir ke bak ini. Padahal, daerah itu sumber air PDAM Lombok Timur. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Kondisi berubah ketika proyek air bersih dari kabupaten mengambil air dari hulu. Warga harus berbagi air bersih dengan bak-bak baru yang dibangun pemerintah. Bak itu jauh lebih besar. Pipa jauh lebih besar. Sejak itu, air ke rumah warga mulai berkurang. Makin lama, seiring kondisi hutan rusak, debit air makin kecil, jaringan air bersih swadaya warga sekitar yang pertama terdampak.

Di Dusun Lekong Pituk, Desa Tetebatu, Kecamatan Sikur juga mengalami nasib sama. Bulan ini, air bersih yang masuk ke bak penampungan air Abdul Samad, tidak lancar. Dia membuat bak setinggi 1.5 meter. Air dari selang 1, 5 inchi bisa mengalirkan air ke atas bak. Sebulan terakhir ini, aliran air tak begitu keras. Dia terpaksa membeli ember besar untuk menampung air.

“Mungkin ada tempat rusak atau macet,’’ kata Ketua RT 8 Dusun Lekong Pituk ini.

Desa Tetebatu Selatan dan Desa Tetebatu, desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Di bagian hulu kedua desa ini, muncul belasan mata air. Dari balik batu, dari akar pepohonan, dari celah batu di tebing, dan dari parit-parit yang mengalir ke hilir. Di beberapa tempat dibangun bak air, yang dipakai mengalirkan air bersih ke desa-desa di bawahnya.

Tetebatu terkenal sebagai sumber air. Bahkan ketika era kolonial Jepang, mereka membangun markas di Tetebatu dan sekitar. Mereka bangun pabrik pembuatan kecap, membuat jaringan air bersih, berupa gorong-gorong, yang terhubung antara lokasi pabrik satu ke pabrik lain. Sisa jaringan air itu, sebagian masih bertahan hingga kini.

Jaringan itulah yang dimanfaatkan warga. Ketika proyek air bersih melalui bak-bak penampungan di tiap desa pada era Orde Baru, Tetebatu menjadi sumber air bersih. hingga kini, sebagian bak itu masih aktif. Tidak diperbaiki, dan debit air berkurang.

Ketika terjadi penolakan pengambilan air untuk PDAM pada proyek Tereng Wilis, Desa Perian, Kecamatan Montong Gading, sebagian dialihkan ke Desa Tetebatu. Masyarakat Tetebatu relatif menerima program itu. Miris, harga yang harus dibayar cukup mahal, warga sering kekurangan air bersih.

Walaupun sebagai desa sumber air bersih, ribuan warga tak jadi pelanggan PDAM. Jaringan pipa PDAM juga hanya melintas di desa ini, tanpa boleh dimanfaatkan warga.

 

Air Embung Ulem-ulem Desa Tetebatu Lombok Timur, yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) terlihat surut. Pada puncak kemarau kadang air embung itu kering. Foto: Fathul Rakhman/Lombok Post

 

Perbaiki tata kelola air bersih

Cerita daerah yang jadi sumber air tetapi mengalami krisis air bersih bukan cerita baru. Kecamatan Narmada dan Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, misal, jadi sumber air PDAM buat Lombok Barat dan Kota Mataram, justru kerap krisis air bersih terutama saat kemarau.

Pengelolaan air bersih di desa-desa hulu ini masih swadaya. Mereka terpisah dari proyek PDAM. Ketika PDAM membangun bak, memasang pipa besar, saat bersamaan warga melalui pemerintah desa dan dusun, membangun bak dan jaringan air bersih ke rumah warga. Belum ada mekanisme, jaringan air PDAM bisa dimanfaatkan warga, tetapi bukan pelanggan PDAM. Masyarakat di bagian hulu merasa, sebagai pemilik sumber air mereka harus mendapatkan kompensasi.

Mekanisme jasa lingkungan pernah diterapkan tetapi tampaknya belum jadi solusi efektif. Dalam jasa lingkungan ini, pelanggan PDAM memberikan kontribusi ke desa-desa hulu, kepada masyarakat penjaga hutan dan mata air. Ada kelembagaan dibentuk di Lombok Barat dan Lombok Tengah. Di Lombok Barat, pernah jadi percontohan, walaupun belakangan meredup. Peralihan kewenangan tanggung jawab kehutanan dari kabupaten ke provinsi jadi salah satu penyebab kelanjutan program ini.

Di Lombok Tengah, ketika kelembagaan jasa lingkungan terbentuk, tak sempat mengelola dana publik itu. Perubahan kewenangan kehutanan jadi penyebab. Pembahasan kelembagaan ini mulai dari awal, dan perlu proses lama.

“Dulu, sudah ada peraturan daerah, tapi belum jelas saat itu,’’ kata Marwi, dewan pengurus Lembaga Para Pihak Pengelola Jasa Lingkungan (P3JL) Lombok Tengah.

Belajar dari Lombok Barat, dana dari pelanggan PDAM itu untuk kegiatan konservasi bagian hulu. Salah satu penerima manfaat itu adalah Desa Aik Berik. Desa Aik Berik ini merupakan hutan kemasyarakatan (HKm) meliputi hutan lindung, sekaligus TNGR.

Dari kawasan hutan inilah, muncul mata air, air terjun, dan jadi hulu dari sebagian sungai yang mengalir ke hilir. Dari kawasan ini juga PDAM memasang pipa-pipa untuk pelanggan yang sebagian besar tinggal di perkotaan. Warga Aik Berik, mendapat pasokan air bersih dari jaringan pipa yang dibangun swadaya oleh masyarakat dan pemerintah desa.

Konsep jasa lingkungan ini meminta tanggung jawab penerima manfaat untuk berkontribusi pada kelestarian mata air. Dana jasa lingkungan bukan dana tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) PDAM.

Dana jasa lingkungan diberikan kepada masyarakat, melalui kelompok-kelompok yang aktif menjaga kawasan hutan, maupun mata air. Dana itu untuk konservasi dan pemberdayaan.

Ridha Hakim, Direktur WWF Nusa Tenggara bilang, tata kelola air bersih masih banyak kekurangan. Belajar dari kasus gempa pada 2018, ketika banyak jaringan air bersih putus karena gempa, terlihat kalau persoalan air bersih masih jadi urusan individu, urusan dusun, desa, bahkan kampung-kampung. PDAM sudah memperbaiki pipa rusak, tetapi masih banyak warga tak mendapat air bersih. Terlebih, desa-desa yang berbatasan dengan hutan.

“Ini menunjukkan pengelolaan air bersih belum terintegrasi,’’ katanya.

Pengalaman kerusakan jaringan pipa air bersih dampak gempa 2018, katanya, seharusnye jadi pembelajaran bagi pemerintah. Pemerintah, jangan hanya fokus rekonstruksi bangunan perkantoran dan rumah warga. Rekonstruksi, kata Ridha, seharusnya berlaku buat jaringan air bersih, perlu ada masterplan jaringan distribusi air bersih dan pengelolaan terintegrasi. Pengelolaan yang baik, katanya, memungkinkan tak ada lagi konflik perebutan air bersih.

“Saat ini, banyak berjalan sendiri-sendiri,’’ katanya.

 

Bak penampungan air swadaya dari masyarakat Desa Tetebatu, Kecamatan Sikur, Lombok Timur. Walaupun berstatus sebagai desa sumber air bersih, tetapi kerap kali masyarakat krisis air bersih. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Kemarau dan kerusakan hutan

Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB merilis, 301 desa dilanda kekeringan di NTB. Dari jumlah desa itu, 183.250 keluarga atau 658.759 jiwa terkena dampak  kekeringan.

Daerah terdampak kekeringan di Lombok Barat sebanyak enam kecamatan, 25 desa dengan 16.246 keluarga atau 64.985 jiwa. Lombok Tengah, sembilan kecamatan, 83 desa berjumlah 69.380 keluarga atau 273.967 jiwa terdampak.

Di Lombok Timur, ada tujuh kecamatan, 37 desa dengan 42.546 keluarga atau 128.848 jiwa terdampak. Lombok Utara, ada lima kecamatan, 20 desa dan 9.388 keluarga atau 28.136 jiwa.

Untuk Sumbawa Barat, ada tiga kecamatan, 13 desa dan 2.660 keluarga atau 10.084 jiwa terdampak. Sumbawa 17 kecamatan, 42 desa dan 20.189 keluarga atau 80.765 jiwa. Di Dompu, ada delapan kecamatan, 33 desa dan 15.094 keluarga atau 48.717 jiwa.

Kabupaten Bima, sebanyak sembilan kecamatan, 35 desa dan 1.732 keluarga atau 5.660 jiwa terdampak. Untuk Kota Bima, ada empat kecamatan, 13 kelurahan dan 6.014 keluarga atau 17.597 jiwa terdampak.

Ahsanul Khalik, Kepala BPBD NTB bilang, BMKG rilis hari tanpa hujan di NTB cukup panjang di beberapa wilayah, untuk Pulau Sumbawa hampir merata 30-60 hari, bahkan ada wilayah antara 30-70 Hari. Di Pulau Lombok, antara 20-30 hari, kecuali Lombok bagian selatan antara 30-60 hari.

Khalik bilang, daerah-daerah langganan kekeringan ini tak berubah. Daerah itu, masih seputar pegunungan dan pesisir, seperti Lombok Barat, meliputi  Lembar, Sekotong dan sekitar. Juga, Kedondong, Malimbu, Pemenang dan sekitar. Liuk, Kayangan, Selengan, Bayan, Medas dan sekitar.

Di Lombok Tengah, meliputi Praya Barat, Praya Timur, Pujut, Praya Tengah, Janapria dan Praya Barat Daya.

Lombok Timur, Keruak, Jerowaru, Sakra, Sakra Barat, Sakra Timur, Labuhan Haji, Pringabaya, Sambalia, dan sekitar. Kabupaten Sumbawa Barat, meliputi Sejorong, Maluk, Jereweh, Endeh, Bertong, Taliwang, Tepas, Seteluk, Labuhan Sepakeh dan Poto Tano.

Di Sumbawa, meliputi Lunyuk Besar terdiri dari titik di  Kopo, Batu Lanteh, Batu Rotok. Kecamatan  Alas tersebar di titik  Penyengar, Utan, Poto Pedu, Ree Loka, Lenang Guar, Semongkat, Labuan Serading, Batu Bulan, Lopok, Lape, Kalaning, Tanjung Beru, Pungkit, Plampang dan  Empang.

Kabupaten Dompu terjadi Kempo, Hu’u, Kilo, Ambalawi. Sementara Kota dan Kabupaten Bima, Sila, Paradowane, Bima dan sekitar. Juga, Tawali, Sape dan Pulau Sangeang.

Data wilayah terdampak kekeringan, katanya, sudah ditetapkan dalam kawasan rawan kekeringan sesuai Perda NTB Nomor 3/2010 tentang RTRW 2009–2029.

Selain kemarau panjang, Khalik juga mengingatkan, kekeringan dipicu kerusakan hutan. Kerusakan hutan, katanya, berdampak pada mata air berkurang. Kerusakan hutan berdampak pada tangkapan air minim, orotomatis debit air berkurang. Ditambah kemarau panjang, debit air makin sedikit.

“Kekeringan ini bukan semata tugas BPBD, semua dinas, semua pihak. Tidak akan selesai persoalan ini kalau di bagian hulu rusak,’’ katanya.

BPBD NTB, Dinas Sosial NTB bersama BPBD dan Dinas Sosial kabupaten hampir setiap pekan mendistribusikan air bersih ke daerah-daerah yang alami kekeringan. Beban makin berat kala beberapa daerah yang sebelumnya tak kekeringan kini tejadi.

 

Keterangan foto utama:  Mobil pick up membawa tandon berisi air bersih untuk didistribusikan ke rumah warga di Desa Sajang, Kecamatan Sembalun. Kawasan sumber air bersih ini krisis air bersih karena pipa yang rusak sejak gempa Juli 2018. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version