Mongabay.co.id

Konflik Lahan antara Warga dan Perusahaan Sawit Astra Tak Kunjung Usai

Lahan klaim warga, yang didirikan rumah-rumah sementara dan ditanami jagung serta tanaman lain. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Akhir Juni 2019, saya menelusuri beberapa perkampungan di Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah. Beberapa bulan sebelumnya sekelompok warga memasuki kebun sawit PT Mamuang, anak usaha PT Astra Agro Lestari–dan menduduki kembali lahan itu. Mereka sekitar 70 lelaki dan perempuan dewasa. Mereka datang menggendong anak, bahkan, para lansia pakai tongkat.

“Kami sudah tak tahu mau kemana. Ini wilayah tempat orangtua kami menanam sagu. Bersawah dan berladang. Kalau bukan sekarang, sampai kapan kami terus terusir,” kata Anta, seorang warga.

Kelompok kecil itu menamakan diri sebagai anak Suku Kaili Tado. Kampung mereka adalah Kabuyu. Tanah yang mereka duduki Paninggio. Sebelum ada kebun sawit, lahan ini tempat hidup warga. “Sekarang sagu kami sudah tak ada. Kami makan harus beli beras. Ini tak beda seperti bencana. Kami sudah capek,” katanya.

Baca juga: Nestapa Warga Kala Hidup Dikelilingi Kebun Sawit

Saya bertemu dengan puluhan orang Kabuyu–secara administrasi masuk Kabupaten Pasang Kayu, Sulawesi Barat. Mereka bercerita nasib setelah ada kebun sawit.

Bagi mereka, bicara keadilan ibarat menciptakan bayangan.

Di tanah pendudukan kembali orang Kaili Tado, ada jalan lebar dibangun perusahaan. Akses kendaraan berangsur baik, meskipun penuh debu. “Dulu kami naik perahu ke Pasang Kayu. Kami mengeluh akses tetapi akses bagus, lahan hilang. Apakah itu sebanding?” katanya.

Senada dikatakan Agus Rambuyu, warga yang lain. Pada 1991, ketika Rambuyu berusia 32 tahun, perusahaan tim Mamuang datang mengukur lahan di kampungnya. “Kenapa kampung diukur?” katanya.

“Ini untuk memetakan luasan Kampung Pasang Kayu,” kata tim perusahaan.

Beberapa bulan kemudian, orang-orang dengan pengawalan aparat TNI menebang sagu di Poninggia. Warga protes, tetapi aparat represi. Beberapa kuburan ikut dirusak. Kakao, kopi, kelapa dekat rumah, hingga padi musnah. “Bapak saya menangis saksikan itu. Orang-orang kampung menangis. Tidak bisa melawan,” kata Rambuyu.

Baca juga: Nestapa Petani Polanto Jaya di Tengah Ekspansi Kebun Sawit Astra (Bagian 1)

Enam tahun berjalan, perusahaan menghentikan proses penggarapan lahan. Tahun 1997, Poninggia jadi lahan tidur. Masyarakat kembali mengelola. Beberapa tanaman sagu yang masih ada, dipanen kembali.

Tahun 2000, perusahaan kembali datang. Puluhan Brimob bersama pengamanan perusahaan. Mereka membawa senapan laras panjang dan menodongkan ke setiap orang yang mendekat. Tak ada penembakan.

Bagi perusahaan, sagu tumbuh sendiri, tak perlu ditanam. Sagu dan kelapa adalah tanaman liar. “Itu dari tahi burung. Kalau mau keberatan ke Jakarta saja,” kala itu, orang yang mewakili perusahaan bicara.

“Kami tak tahu bagaimana ke Jakarta. Itu jauh. Mana ada orang kampung macam kami ini tahu. Tidak ada uang juga,” kata Bobu Pea, warga Kaili Tado yang lain.

“Selalu itu jawaban perusahaan. Kalau ada pertemuan. Ke Jakarta saja,” kata Adam Hisa, warga lain.

 

Situasi lahan reklaiming warga di Kampung Kabuyu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Sebulan kemudian, pada 8 Agustus 2019, di lahan pendudukan kembali, jagung sudah berbunga, tinggi lebih satu meter. Akhir Agustus, jagung siap panen. Apa daya, perusahaan melaporkan aksi pendudukan kembali warga itu ke kepolisian. Beberapa warga dipanggil diminta keterangan. “Saya dua kali ke kantor polisi diinterogasi,” kata Anta.

“Sekarang semua hancur pak. Hancur. Kami mundur sekarang,” kata Anta.

Saya mendengar suara Anta, melalui jaringan telepon pada 17 Agustus. Tepat di Hari Kemerdekaan Indonesia. “Mau bagaimana lagi, perusahaan dan kami sudah ketemu. Kami tak boleh menanam kembali di lahan pendudukan. Ini bukan mengalah. Bukan.”

Kini, sebagian jagung dibuang di limbah tandan sawit. Rumah hunian sementara, dibongkar. Beberapa orang mendapatkan intimidasi dan ancaman. Tanah subur itu, punya perusahaan kembali.

Di bantaya (paggung pertemuan) yang mereka bangun di lahan pendudukan kembali, orang-orang Kaili Tado, bicara bergantian. Mereka saling menguatkan dan saling dukung. “Anak sudah datang lihat keadaan kami. Kami tinggal begini saja. Kalau kami diusir, bagaimana nasib anak cucu kami,” kata Rambuyu, tetua warga.

Mochamad Husni, External Communication Manager Astra Agro Lestari, menarik nafas, mencoba mengurai bagaimana kasus sawit perusahaan dan masyarakat hingga acapkali dianggap perampok tanah bahkan tuduhan kriminalisasi.

“Kami tak mungkin melakukan itu. Celakalah perusahaan jika ada yang menginginkan warga sekitar tergerus. Itu bukan semangat Astra,” katanya.

Di Kabuyu, warga berkonflik dengan PT Mamuang, tahun 1992, kala mulai pembersihan lahan. Pada 1994, ada tim penilai yang beranggota BPN, pemerintah dan masyarakat, untuk melihat lahan bermasalah.

“Ketika 1994 inilah, didapati ada pemukiman warga di dalamnya. Perusahaan membebaskan 250 hektar. Kita siapkan lahan. Kita tata,” kata Ali Teguh, Community Development Area Manager Celebes 1 Astra Agro Lestari.

Seiring waktu, kata Teguh, beberapa warga ada yang menjual lahan dengan harga murah ke beberapa karyawan perusahaan, dan warga pendatang. “Jadi, di wilayah itu warga sudah bercampur,” katanya.

Melihat keadaan itu, kata Teguh, beberapa warga asli bekerja di perusahaan. “Tidak semua, kita tampung untuk bekerja. Jadi yang tidak tertampung inilah yang kemudian membuat gerakan lain. Misalkan, menuntut ulang perusahaan. Padahal, kami selalu membuka diri. Kalau ada keinginan warga, mari kita duduk bersama apa mau warga dan bagaimana perusahaan melihat itu.”

 

Anta, warga Kampung Kabuyu dari Suku Kaili Tado, dengan jadi masuk PT Mamuang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Dari penjara ke penjara

Walhi Sulawesi Tengah, mencatat, setidaknya ada 10 petani mendekam di penjara selama melawan perusahaan sawit. Angka ini yang baru nampak ke permukaan, ada belasan lain masih diam.

Saya menemui mereka yang dipenjara. Salah seorang adalah Hemsi. Dia petani yang tinggal di Desa Panca Mukti, Donggala, Sulteng. Hemsi sudah tiga kali masuk penjara. “Sepertinya, akan terus berlanjut. Saya terus mempertahankan tanah saya,” katanya.

Hemsi punya tiga anak. Sulung SMP, SD, dan masih bayi. Anak ketiga diberi nama Tegar. Sehari setelah anak itu lahir di rumah sakit Palu, polisi menjemputnya. Dia dituduh mencuri di lahan perusahaan. Lahan itu dia garap, dan tanami sawit sendiri. “Mereka (Mamuang) bilang, lahan itu adalah HGU (hak guna usaha-red) mereka. Saya minta peta HGU tak pernah ada.”

Penjara membuat Hemsi makin kuat. Meski siksaan bertubi-tubi pernah dia alami.”Saya sampai pernah kencing darah. Saya ditendang, dipukul Brimob dan keamanan perusahaan. Di kebun saya,” kata Hemsi.

Penjara pertama, pada 2010. Penjara kedua, 2017-2018. Pada 2019, penjara ketiga. Di penjara ketiga, ketika di lapas, dia jumpa dengan orang-orang yang mengalami nasib serupa. Mereka berhimpun dan berdiskusim menentukan nasib bersama.

Rabu 26 Juni 2019, saya menemani Hemsi mengunjungi beberapa kawan dalam penjara. Di Desa Ako, Kelurahan Pasang Kayu, Kecamatan Marta Jaya, Perry, pengurus Kelompok Tani Merpati, dengan lahan diserrobot PT Pasang Kayu, juga grup Astra. Ketika dia bersama ratusan penduduk lain menduduki kebun sawit dengan argumen surat keterangan tanah (SKT) pada 1991, perusahaan menuduh emereka mencuri dan penyerobotan.

Perry masuk penjara dan bebas pada 15 Juni 2019. Keteguhannya tak goyah. Dia kembali lagi ke pendudukan lahan. Kali ini, hanya ada puluhan warga. “Saya mengerti saudara dan teman-teman saya yang mulai takut. Siapa yang mau dipenjara? Kecuali saya mungkin,” katanya terkekeh.

Sebelumnya, Perry pernah bekerja sebagai pengawas di Pasang Kayu. Dia ikut jadi bagian perusahaan karena hanya ingin melihat operasinya. Ketika mulai masalah, dia mengundurkan diri. “Saya tahu untuk melawan harus ada data. Saya masuk jadi bagian mereka. Melawan begitu saja tentu tak bisa,” katanya.

Tahun 1998, perusahaan menebang tanaman warga, seperti kakao. Dia ikut melihat kejadian itu. Dia sedih. “Jadi ada 88 hektar, tanah masuk HGU perusahaan. Semua punya SKT, apakah mereka mau diam saja?” katanya.

Ketika beberapa warga mulai mempertanyakan hak tanah mereka pada 2012, DPRD Mamuju Utara (sekarang Pasang Kayu) menggelar dengar pendapat. Pada 24 Mei 2012, dewan kabupaten mengirimkan surat pada PT Pasang Kayu, dengan dua poin utama.

Pertama, memberikan kebebasan pada kelompok tani mengukur kembali wilayah mereka sepanjang tak memasuki HGU perusahaan.

Kedua, dalam penanaman baru maupun penanaman kembali (replanting) perusahaan tak memasuki perkebunan masyarakat.

Apa daya, kondisi lapangan tak pernah sejalan. Perusahaan tetap menanam dan tak pernah memberikan izin masyarakat mengukur lahan sendiri. “Mungkin karena isi surat hanya ‘diharapkan.’ Kalau perusahaan tidak melaksanakan, kan hanya harapan,” kata Perry.

 

Kebun sawit PT Mamuang. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Ali Teguh, membuka galeri foto di hanphone-nya. Beberapa koleksi terlihat, tampak hamparan lahan berawah. “Ini tahun 1992. Ketika teman-teman pertama masuk membuka lahan. Airnya dalam. Untuk menjangkau itu sulit sekali,” katanya.

Itu foto koleksi di perkebunan Astra Agro Lestari, di Pasangkayu. Lahan-lahan itu, adalah wilayah terbengkalai yang dalam klaim perusahaan sebagai eks hak penguasaan hutan (HPH).

“Lahan-lahan eks HPH inilah yang dikonversi jadi perkebunan sawit,” katanya.

“Jadi, selama ini, kalau tuduhan sawit membuka hutan, itu tidak benar. Kami masuk setelah era HPH berhenti.”

Pada 2017, katanya, Perry memasuki kebun PT Pasangkayu. Dia membawa beberapa warga. Klaim mereka mengatakan bila lahan seluas 88 hektar, milik warga yang sebelumnya dikelola masyarakat dan perusahaan mengusir.

Perry mendirikan beberapa pondok dan rumah sementara. Memanen sawit perusahaan. “Kami beri penjelasan dan pemahaman. Dia tetap panen. Pada dasarnya, perusahaan selalu ingin mencari jalan terbaik. Proses hukum adalah yang terakhir. Karena sudah berkali-kali dialog, kami menyerahkan proses ke hukum,” kata Teguh.

Selain itu, katanya, lahan pendudukan warga itu bukan kampung. Sejak perusahaan masuk di tempat itu, katanya, sudah bekas HPH. “Kampung ada di pinggir sungai, di luar HGU.”

Kata Teguh, perusahaan memiliki aturan sendiri. “Memasuki wilayah, untuk usaha, harus clear and clean, dari persoalan lahan.”

Menurut dia, perusahaan ingin tumbuh kembang bersama masyarakat, bukan datang sebagai perompak dan mencaplok lahan.

Di Sulawesi Barat dan Sulawesi Tengah, konflik yang melibatkan masyarakat dan perusahaan, melibatkan beberapa anak usaha Astra Agro Lestari.

Di Sulawesi Barat, ada lima perusahaan beroperasi, yakni, PT Letawa, operasi 1995, PT Suryaraya Lestari (1997), dan PT Pasangkayu (1997). Lalu, PT Mamuang (1997) dan PT Bhadra Sukses, (1997). Luas konsesi lima perusahaan 23.964 hektar. Izin dari Sulawesi Tengah, PT Lestari Tani Teladan, beroperasi 1998, luas 5.316 hektar.

Siapakah PT Astra Agro Lestari? Data dari Transformasi untuk Keadilan (TUK) Indonesia, menyebutkan, Jardine Matheson Group, perusahaan yang didirikan di Tiongkok 1832 oleh konglomerat Inggris, William Jardine. Operasi utama perusahaan ini di Asia, meliputi teknik, kontruksi, transportasi, asuransi, properti, pengembangan retail, restoran, hotel, sepeda motor, jasa finansial, barang berat, pertambangan dan agri bisnis.

Dalam grup itu ada Jardine Matheson Holdings Limited, merupakan perusahaan investasi utama , tergabung tergabung di Bermuda dan terdaftar di London Stock Exchange. Jardine Matheson Limited beroperasi dari Hong Kong. Astra International Tbk—induk PT Astra Agro Lestari—merupakan anak usaha Jardine.

Astra Agro Lestari, berdiri pada 1988, berpusat di Jakarta. Grup ini menjalankan bisnis sawit dan kebun karet di Indonesia dan terdaftar di Indonesia Stock Exchange (Bursa Saham Indonesia). Pemegang saham terbesar (79.7%), pabrik mobil Indonesia, Astra International.

Data lain menyebutkan, akhir 2017, Astra Agro Lestari memiliki 31 pabrik minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Saat ini, mereka mempekerjakan 35.455 karyawan di Jakarta, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Berdasarkan izin perkebunan, Astra Agro Lestari diperkirakan mengendalikan lahan 455.534 hektar. Pada akhir 2017, laporan perusahaan menunjukkan area ditanami 290.961 hektar—tak termasuk perkebunan di Kalimantan Barat– mencakup 66.344 hektar plasma. Perusahaan ini, menyisakan 164.573 hektar tidak ditanami.

Ada juga menyatakan, Astra Agro Lestari menandatangani kemitraan perkebunan independen dengan 34.677 petani seluas 110.460 hektar. Perusahaan itu juga bergerak di bidang kemitraan dengan 73.099 petani sawit independen meliputi 178.378 hektar.

Dalam skema pembiayaan, pembiayaan oleh beberapa bank. Di Indonesia, Bank Pan Indonesia mengucurkan US$100 juta. Bank Mandiri US$47 juta dan Bank Central Asia (BCA) mengusurkan US$40 juta.

 

Keterangan foto utama:  Lahan klaim warga di perkebunan sawit perusahaan anak usaha Astra, yang didirikan rumah-rumah sementara dan ditanami jagung serta tanaman lain. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Kebun sawit PT Pasangkayu. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version