Mongabay.co.id

Kearifan Adat Harus Jadi Panduan Pengembangan HKm di Sikka

 

“Wilayah ini telah ditetapkan oleh Belanda sejak 1932 jadi hutan. Pada tahun 1984 kawasan hutan diperluas oleh pemerintah. Sebagian tanah nenek moyang kami lalu dijadikan kawasan hutan,” sebut Nikolaus Leo (65). Siang itu dia memulai penjelasan tentang sejarah lahan yang ada di dusunnya.

Dia kepala suku Liwu. Tinggal di Dusun Ri’idueng, Desa Pruda, Kecamatan Waiblama, Kabupaten Sikka. Wilayah adatnya masuk dalam Kawasan Hutan Lindung Wukoh Lewoloroh.

Menurutnya jauh sebelum ada pemerintah formal, adat telah menentukan wilayah mana yang boleh dibuka dan wilayah mana yang hutannya harus dijaga.

“Di dalam kawasan ini [masih ada bekas] rumah adat, pusara dan tanaman lain yang dulu ditanam oleh nenek moyang kami,” lanjutnya.

Baca juga: Program Hutan Kemasyarakatan, Bagaimana Perkembangannya di Kabupaten Sikka?

Hal ini diperkuat oleh penuturan Germanus Gade (78) kepala adat suku Liwu lainnya. Dia bilang leluhurnya telah membagi beberapa zona dalam kawasan hutan.

“Tujuannya agar ada keseimbangan antara masyarakat dan kelestarian hutan. Dalam bahasa lokal dinamakan Opi Duen Oba Hoat, artinya batas areal pemanfaatan dan kawasan hutan. Ada juga areal pemanfataan yang dinamakan Opi Ea kare Tinu,” sebut Germanus

“Ada juga Roin Tun Tuan Taden atau areal perlindungan, Wair Puan Terang Matan,wilayah mata air dan sungai. Juga areal Nitu Pitu Noan Walu, Guna Puluh Dewa Lima yang merupakan tempat-tempat ritual adat.”

Dalam pengelolaan yang  diturunkan nenek moyang itu kata Germanus, telah diatur antara wilayah yang boleh dikelola dan yang dilindungi. Lokasi yang boleh dikelola seperti Hoken Wolon Watu Soge Bluwot dan Tanah Bemok.

Diantara lokasi-lokasi tersebut sebut Germanus,terdapat tempat-tempat perlindungan seperti mata air yang dalam bahasa lokal di sebut Watu Soge Terang Pu’an, Hoken Wolon Blunge Wair.

Juga ada tempat ritual adat seperti Bluwot dan Kojak Wuak,  yang dalam syair adat disebut “Bluwo Reta Watu Waru Papa Resak Aur Ledun, Kojak Wuak Watu Blida Ai Bura Nago Liman Raha Wai Bahan, Watu Lai Lo’on”.

“Di dalam areal-areal ini dilarang untuk menebang pohon. Kalau melanggar maka dia harus menanam kembali  dan memotong hewan (babi) untuk pemulihan lingkungan yang rusak. Apabila tidak menyanggupi sanksi tersebut serta mengabaikan maka akan kehilangan nyawa (mati),” terangnya.

Dengan adanya perluasan wilayah hutan diantara pal batas 32 sampai 84 di tahun 1984, kehidupan masyarakat Liwu pun menjadi tidak pasti. Mereka dicap sebagai perambah hutan dan pembuka lahan tanpa izin. Padahal mereka bilang tanah adat mereka berada pada pal batas 32 sampai 84 yang secara sepihak diklaim sebagai wilayah hutan negara.

 

Pondok kerja petani HKm Watu Ata desa Pruda kecamatan Waiblama kabupaten Sikka,NTT yang berada di dalam hutan lindung Wukoh Lewoloroh. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Lewat perjuangan hampir dua dekade, akhirnya pada 29 Oktober 2012, warga Dusun Ri’idueng dan enam kelompok lain yang tergabung dalam masyarakat adat Watu Ata mendapat izin Hutan Kemasyarakatan (HKm) dari Bupati Sikka.

Bagi warga, mendapat akses untuk menggarap lahan adalah suatu kebahagiaan. Sebelumnya selama beberapa dekade mereka hanya mengerjakan lahan milik orang lain. Dulu, untuk mengerjakan lahan mereka harus memberi jaminan uang dan barang, tak peduli apakah panen mereka akan berhasil atau gagal.

Baca juga: Berjuang untuk HKm, Warga Desa Tuabao Sekarang Nikmati Hasil Kemiri dan Mete

Dalam izin itu, mereka mendapat hak kelola di Hutan Lindung Wukoh Lewoloroh Blok RTK184. Luasnya 326,37 hektar, yang diperuntukkan bagi 154 kepala keluarga.

“Saat ini hanya ada 111 anggota saja yang aktif [menggarap hak kelola] masing-masing dapat satu hektar. Jadi masih ada sisa lahan yang belum dikelola,” jelas Osiasi Onyi (41), Ketua Kelompok HKm Watu Ada.

Dalam HKm, kata Onyi ada proses sosialisasi, pemetaan lokasi, penataan detil hingga proses pembagian lahan.

“Dengan adanya program HKm memberi ruang kepada kami untuk kembali di lokasi yang pernah dikelola sebelumnya. Masyarakat selalu taat pada adat dalam mengelola lahan di sekitar kawasan hutan,” ungkapnya.

Untuk zona perlindungan ditentukan di daerah aliran sungai yang berkemiringan 45 derajat, serta situs-situs adat. Lokasi sekitar mata air dibebaskan dalam radius 200 meter.

Meski demikian untuk saat ini, anggota HKm lebih banyak menanam untuk memenuhi kebutuhan harian. Mereka menanam tanaman jangka pendek palawija sepert sayuran, jagung, singkong, ubi jalar, talas dan padi.

Adapun tanaman kayu seperti kopi, cengkeh, kakao baru ditanam pasca tahun 2012. Beberapa pohon kemiri yang mereka tanam, sekarang tampak mulai berbuah.

Bagi anggota HKm, program ini mulai dirasakan dampak positifnya. Mereka mulai dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga. Stok jagung dan padi sudah cukup untuk satu kali musim tanam, tak perlu lagi mereka membelinya. Hasil kebun juga mulai terasa.

“Sebulan dapat uang Rp2 juta dari hasil kebun,” sebut Maria Herminsia (34) dan suaminya yang menggarap di lahan HKm.

 

Areal perkebunan di dalam kawasan HKm Watu Ata yang ditanami tanaman pertanian dan perkebunan. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Program Hutan Kemasyarakatan di Sikka

Di Kabupaten Sikka sendiri terdapat total 35.726 hektar kawasan hutang lindung dan 1.896 hektar kawasan hutan produksi. Sesuai dengan peta indikatif dan areal perhutanan sosial, maka direncanakan kelola lahan masyarakat di wilayah hutan akan dilanjutkan.

“Untuk tahun 2019 direncanakan akan melakukan fasilitasi permohonan ijin Hutan Desa di 6 lokasi seluas 375 hektar dan Kemitraan seluas 200 hektar di Desa Egon atau Desa Persiapan Egon Buluk,” jelas Hery Siswandi Kepala Bidang Konservasi dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat UPT KPH Kabupaten Sikka.

“Pada beberapa lokasi saat ini sedang dilaksanakan proses penataan batas areal kerja untuk memberikan tanda batas pada setiap areal dan petak kerja masing-masing anggota.”

Hery menyebut IUP HKm di Sikka luasnya sebesar 12.621,83 hektar yang akan menargetkan 3.526 Kepala Keluarga. Ini tersebar di 5 kecamatan dan 23 desa.

Umumnya, masyarakat yang ikut dalam kelompok HKm sudah pernah melakukan pengelolaan lahan di lokasi itu, karena secara turun temurun sudah beraktifitas dalam kawasan.

Dia bilang bahwa kelompok HKm akan diarahkan untuk melakukan pengembangan jenis-jenis tanaman kayu keras untuk rehabilitasi lahan hutan. Hal ini sebutnya karena izin HKm adalah 35 tahun. Waktu itu dianggapnya cukup untuk masyarakat dalam memanfaatkan lahan hutan secara optimal dan lestari sesuai kearifan lokal yang mereka miliki.

 

Herlina Pora, seorang pelajar SMPN Pruda sedang membantu orang tuanya menjemur padi ladang di dalam areal kebun HKm di hutan lindung Wukoh Lewoloroh. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Aloisia Marni (48) Kepala Desa Pruda memaparkan dari total sekitar 2.000 warga, maka 1.760 warganya berprofesi sebagai petani. “Jika dikembangkan, potensi pertanian di sini besar,” jelasnya.

Dia menyebut untuk mendorong agar HKm dapat berlangsung dengan baik, pihak desa telah keluarkan Peraturan Desa untuk menjaga hutan dan reboisasi. Termasuk menjaga mata air. Dalam dua tahun terakhir ini, Pemdes juga sudah mulai mengalokasikan anggaran pembibitan tanaman, meski jumlahnya terbatas.

Dia menyebut HKm bisa jadi pintu masuk untuk pemberdayaan masyarakat. “Kami bersyukur bisa mengelola lahan warisan leluhur kami lewat skema HKm,” tutupnya.

 

 

Exit mobile version