Mongabay.co.id

Cemara Udang di Sumenep Terancam Tambak Udang?

Cemara udang banyak memberikan manfaat ekologi, antara lain, sebagai pemecah angin, rehabilitasi lahan kritis di pesisir, dan mampu menaikkan hidrogen tanah. Sumber ekonomi dari cemara udang pun menggiurkan. Warga bisa jual bibit cemara, sampai jadikan tanaman bonsai dengan harga bisa sampai ratusan juta rupiah. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Sebagian pesisir Madura, tumbuh cemara udang, antara lain di Kecamatan Batang-batang, dan Kecamatan Dungkek, Sumenep. Hutan cemara udang terancam, antara lain, jadi usaha tambak udang.

Di Sumenep, bahkan Madura, secara umum, banyak peralihan kepemilikan lahan. Pemodal mencari tanah, warga pun banyak menjual. Sebagian warga bertahan, enggan menjual lahan, sebagian bersedia karena berbagai alasan.

Sekitar 2016, ada satu perusahaan, CV Sumber Alam, sosialisasi mau membangun tambak di Desa Dapenda, Kecamatan Batang-batang, Sumenep.

Baijuri, Sekretaris Jenderal Komunitas Eman Na’ Poto (KEN)—Komunitas Sayang Anak Cucu–, mengatakan, pada Mei 2016, ada investor, CV Sumber Alam, sosialisasi akan membuat tambak udang di pesisir Desa Dapenda.

Masyarakat termasuk KEN menolak rencana itu karena khawatir merusak lingkungan dengan limbah, pembabatan cemara udang, dan mencemari laut.

“Katanya ada jaminan tak akan merusak lingkungan. [Kami] tidak serta merta percaya, akan berjalan sesuai janji, lebih baik mencegah potensi kerusakan lingkungan itu terjadi,” katanya.

 

Cemara udang, mulai terbabat di Pesisir Sumenep. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Warga menolak karena takut polusi, seperti yang dialami desa tetangga, di Lapa Taman, Kecamatan Dungkek. Di sana, lewat sekitar tambak saja berbau busuk.

Pegiat lingkungan yang tergabung dengan KEN memberikan pemahaman terhadap warga mengenai dampak buruk tambak udang. Mereka juga audiensi dengan berbagai pihak, dari pemerintah kecamatan sampai kabupaten.

Sejak sosialisasi 2016, tak ada pembangunan tambak udang, isu inipun sempat mereda.

Mongabay berupaya mengkonfirmasi soal rencana pembuatan tambak udang. Sugiarto, Direktur CV Sumber Alam, mengatakan, perusahaan membatalkan bikin tambak udang di Desa Dapenda. “Itu berita lama,” katanya, kepada Mongabay.

Meskipun begitu, pembelian lahan besar-besaran terus berangsung hingga kini. Ada yang menolak menjual, ada yang sudah selesai transaksi.

Diyemo, nenek asal Desa Dapenda sudah selesai menjual tanah seluas 6.300 meter persegi Rp300 juta. Lahan dia yang lain seluas 30 hektar masih proses negosiasi, ditawar Rp1,3 miliar. Diyemo sudah memegang uang muka Rp50 juta kalau jadi transaksi.

Buleh tak andi’ potoh, ekakanah (Saya tidak punya keturunan, [uang itu] buat makan),” katanya.

Berbeda dengan Diyemo, Abdul Adzim, memilih mempertahankan tanah daripada jual ke investor. Dia membayangkan nasib anak cucunya bakal tak punya lahan kalau jual tanah. Selama ini, setidaknya ada 15 makelar berbeda yang membujuk Adzim menjual tanah.

Bentuk bujukan, katanya, bermacam-macam, mulai iming-iming mendapat pahala besar, jadi buruh, sampai janji dapat komisi 3% dari hasil tambak.

“Jadi, saya mau ngulie (jadi buruh) harus jual tanah?” katanya.

Dari hasil perhitungan sederhana dia, lebih memilih lahan tanam cemara udang daripada jual ke orang lain. Tanam cemara udang, katanya. meskipun lama, tetapi hasil tak kalah menarik.

Dia hitung dari harga termurah, bibit cemara udang Rp10.000, dalam satu jugleng (satu petak seluas satu meter) bisa tanam delapan bibit. “Anggap hidup enam, dalam satu jugleng dipastikan laku Rp50.000,” katanya, seraya bilang punya lahan 1.500 meter persegi.

Dia tak dapat mengahalang-halangi kalau ada warga yang mau menjual tanah. Meskipun begitu, dia menyarankan, memikirkan matang terlebih dahulu sebelum jual tanah.

Di Sumenep, menurut Abdul Madjid, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Sumenep, ada lima investor tambak udang seluas 55 hektar. Dikutip dari Kumparan, dia bilang, lahan tambak berada di tujuh kecamatan, dua antara lain, Kacamatan Ambunten dan Kecamatan Dungkek.

 

Tampak pohon cemara udang sudah ditebang. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

 

Manfaat ekologi dan ekonomi cemara udang

Ach Murtada, Kepala Sub Bagian Tata Usaha Cabang Dinas Kehutanan Sumenep, mengatakan, cemara udang sangat bermanfaat bagi lingkungan dan ekonomi masyarakat.

Cemara udang, katanya, berfungsi untuk rehabilitasi lahan kritis di pesisir. Ia bisa sebagai pemecah angin, mampu menaikkan hidrogen tanah, meningkatkan agregasi perkembangan struktur tanah karena akan memperbesar granulasi dan porositas (kemampuan mengikat nitrogen dan O2) lahan.

Kalau granulasi dan porositas tanah makin bagus, katanya, otomatis memperbaiki unsur hara dan meningkatkan kadar air tanah. Di lahan pasir, parasitas tanah sangat poros hingga cepat mengalirkan air atau tak mampu menahan tanah.

“Cemara udang juga mampu menciptakan iklim mikro, keberadaan vegetasi akan mampu menciptakan iklim mikro berbeda dengan yang ada di luar,” kata Murtada saat dihubungi via telepon, baru-baru ini.

Kalau iklim mikro baik, kata Murtada, lahan berpasir bisa jadi budidaya tanaman semusim dan holikultura.

Pohon ini tak hanya kaya fungsi ekologis, juga manfaat ekonomi. Warga banyak membibit dan menjual cemara udang. Ada juga menjadikan cemara udang bonsai dengan nilai tinggi, jutaan sampai ratusan juta rupiah.

Baijuri, warga Desa Legung Barat, Kecamatan Batang-batang mengatakan, selain bisa menjual batang untuk bahan mebel atau kayu bakar, cemara bisa buat bonsai. Harga pun, katanya, mulai Rp10.000 sampai ratusan juta.

“Tergantung seni, kalau yang masuk kontes bisa ratusan juta rupiah,” katanya.

 

 

Keterangan foto utama:  Cemara udang banyak memberikan manfaat ekologi, antara lain, sebagai pemecah angin, rehabilitasi lahan kritis di pesisir, dan mampu menaikkan hidrogen tanah. Sumber ekonomi dari cemara udang pun menggiurkan. Warga bisa jual bibit cemara, sampai jadikan tanaman bonsai dengan harga bisa sampai ratusan juta rupiah. Foto: M Tamimi/ Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version