- Musim kemarau yang terjadi di Gorontalo berdampak pada keringnya Danau Limboto. Nelayan kesulitan mencari ikan, pendapatan menurun.
- Kurun waktu 50 tahun, luas danau berkurang sekitar 4.304 hektar atau berkisar 62,60 persen dari total luas danau. Prediksi muncul, Danau Limboto akan menjadi daratan pada 2025.
- Berdasarkan analisis Hari Tanpa Hujan [HTH] BMKG Gorontalo, umumnya Gorontalo mengalami hari tanpa hujan dengan kategori menengah 11 sampai 20 hari. Namun ada beberapa titik yang mengalami kekeringan ekstrim lebih dari 60 hari tanpa hujan.
- Perubahan iklim lebih berat dirasakan masyarakat miskin. Banyak di antara mereka mencari nafkah bidang pertanian atau perikanan yang sumber-sumber pendapatannya dipengaruhi iklim.
Perahu itu kesepian. Di terik matahari, ia menyendiri. Entah sudah berapa bulan tak tersentuh air. Pun jembatan yang merupakan dermaga tempat tambatannya, bukan lagi tempat berlabuh. Air pesisir semakin jauh. Dasar danau juga terlihat jelas: tanah terbelah. Sejak kekeringan melanda, sebagian Limboto kering kerontang.
Sore, akhir Agustus 2019. Dermaga itu berubah fungsi: tempat nongkrong dan foto narsis. Dari tempat ini, matahari sore terlihat jelas. Sinar senja kemerah-merahan seperti keluar di antara tiang bambu keramba ikan mujair dan masifnya enceng gondok. Hamparan tanah kering menambah eksotiknya sore itu.
“Keren,” celetuk seorang remaja.
Di sebelah kiri dermaga, bunyi mesin terdengar jelas. Namun bukan perahu ketinting nelayan, melainkan mesin tromol yang mengambil pasir dari danau. Sekitar lima orang memindahkan pasir ke truk. Setelah penuh, mereka pergi.
“Untuk pembangunan rumah, bagus sebagai campuran semen,” kata seorang pekerja.
Rata-rata, pekerja di situ berasal dari luar. Mereka bekerja sebagai kuli pasir sekitar tiga bulan. Pemiliknya, seorang aparat di salah satu desa pesisir Danau Limboto, tak jauh dari dermaga.
“Sejak bekerja di sini air danau memang sudah kering. Mungkin karena belum ada hujan,” lanjutnya.
Baca: Ada Potensi Energi Terbarukan Dibalik Kritisnya Danau Limboto
Berdasarkan analisis data Hari Tanpa Hujan (HTH) per 31 Agustus 2019, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika [BMKG] Gorontalo, Provinsi Gorontalo mengalami kategori HTH sangat panjang, 31 sampai 60 hari. Pantauannya, di wilayah Mootilango, Telaga, Suwawa Timur, Imana, Kwandang, dan Atinggola.
Untuk kategori kekeringan ekstrim, lebih 60 hari terjadi d Pontolo. Umumnya, Gorontalo mengalami hari tanpa hujan dengan kategori menengah, 11 sampai 20 hari.
Berdasarkan peta prakiraan curah hujan probabilistik September 2019 [1- 10 September], secara umum Gorontalo memiliki peluang curah hujan dengan kategori rendah [kurang 50 mm] dengan persentase 80 – >90%. Lebih 90% terjadi hampir seluruh wilayah Gorontalo, dan peluang 80 – 90% terjadi di sebagian kecil Kabupaten Bone Bolango bagian timur.
“Prediksi puncak musim kemarau di Gorontalo, Agustus dan awal September. Setelah itu, akhir September, Oktober, hingga November adalah musim pancaroba. Tahun ini lebih kering dari 2018. Tapi, Gorontalo 2015 lebih kering lagi dibanding tahun ini,” ungkap Wahyu Guru, Kepala Seksi Data dan Informasi BMKG Gorontalo.
Untuk kekeringan danau, katanya, apabila suplai air dari beberapa anak sungai yang bermuara ke Danau Limboto kurang, berpengaruh pada debit air di danau.
Baca: Danau Limboto Gorontalo Diprediksi Hilang 2025
Permasalahan Danau Limboto
Danau Limboto merupakan cekungan rendah atau laguna yang menampung air lima sungai besar dan 23 anak sungai kecil. Berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi Gorontalo, luas danau ini disebutkan sekitar 3.334,11 hektar.
Permasalahan besar yang dihadapi saat ini adalah sedimentasi, menyebabkan pendangkalan, berkurangnya volume air dan luas genangan. Masalah lain adalah eutrofikasi, pertumbuhan enceng gondok, cemaran limbah cair dan padat, meningkatnya laju erosi dari sungai, dan masifnya aktifitas keramba jaring apung [KJA].
Data BPDASHL [Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung] Bone Bolango, menjelaskan, sebagian besar DAS di Limboto rusak akibat perubahan tata guna lahan, pertambahan jumlah penduduk, kurangnya kesadaran masyarakat, serta terbatasnya anggaran rehabilitasi.
Kerusakan DAS mengakibatkan kuantitas [debit] air sungai fluktuatif, antara musim penghujan dan kemarau. Gejala kerusakan dapat dilihat dari penyusutan kawasan lindung di sekitar daerah aliran sungai.
Areal Danau Limboto berada di dua wilayah administrasi, 30 persen di Kota Gorontalo dan 70 persen di Kabupaten Gorontalo. Dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Enceng Gondok yang digelar di Jakarta, 14 Agustus 2019, Kepala Bapppeda Provinsi Gorontalo, Budiyanto Sidiki, memaparkan kondisi terkini.
Menurutnya, pada 1932, rata-rata kedalaman danau 30 meter dengan luas 8.000 hektar. Pada 1955, kedalamannya 16 meter dan pada 1970 menjadi 15 meter dengan luasan 4.500 hektar.
Kurun waktu 2012 hingga 2018, kedalaman rata-rata hanya 2,5 meter dengan luas 2.537 hektar. Artinya, dalam 50 tahun, luasan danau berkurang 4.304 hektar atau 62,60 persen. Ini yang mendasari prediksi Limboto akan berubah menjadi daratan pada 2025.
Selama ini, Limboto berperan sebagai sumber pendapatan nelayan, pencegah banjir, sumber pengairan, dan bahkan objek wisata. Jika prediksi itu terjadi, kerugian besar bagi Gorontalo dan masyarakat luas..
Baca: Inilah Nasib Manggabai, Ikan Endemik Danau Limboto
Dampak Perubahan Iklim
Apakah kekeringan Limboto bagian dari perubahan iklim?
Sebuah laporan berjudul, “Sisi Lain Perubahan Iklim, UNDP [2007]” yang ditulis Rani Moediarta dan Peter Stalker, menjelaskan bahwa dampak pemanasan global sangat berpengaruh terhadap Indonesia, terutama masyarakat miskin.
Mereka menyebut iklim global sebagai suatu sistem rumit dan pemanasan global akan berinteraksi dengan berbagai pengaruh lain.
“Kita sudah begitu rentan dengan banyaknya ancaman berkaitan iklim seperti banjir, kemarau panjang, angin kencang, longsor, dan kebakaran hutan. Kini semua itu dapat bertambah sering dan parah.”
Buku itu menyebutkan, salah satu pengaruh utama iklim di Indonesia adalah ‘El Nino-Southern Oscillation’ yang setiap beberapa tahun memicu berbagai peristiwa cuaca ekstrim. El Nino berkaitan perubahan arus laut di Samudera Pasifik yang menyebabkan air laut luar biasa hangat. Kejadian sebaliknya, arus menjadi amat dingin, yang disebut La Nina.
Yang terkait peristiwa ini adalah ‘Osilasi Selatan’ [Southern Oscillation] yaitu perubahan tekanan atmosfer di belahan dunia selatan. Perpaduan seluruh fenomena inilah yang dinamakan El Nino-Southern Oscillation atau disingkat ENSO.
ENSO adalah salah satu faktor utama meningkatnya kebakaran besar hutan dan terbentuknya kabut asap di atmosfer yang menyesakkan napas. Bahaya lain berkaitan iklim di Indonesia adalah lokasi dan pergerakan siklon tropis di wilayah selatan timur Samudera India [Januari sampai April] dan timur Samudera Pasifik [Mei sampai Desember].
Dalam kurun 1844 hingga 1960, kemarau panjang terjadi setiap empat tahun, tetapi antara tahun 1961 dan 2006 meningkat tiap tiga tahun sekali. Banjir juga makin sering melanda. Periode 2001-2004, dilaporkan sekitar 530 kali, yang terjadi hampir di seluruh provinsi.
Apakah berbagai perubahan yang kita alami sekarang akibat El Nino, atau efek rumah kaca, atau paduan keduanya? Indonesia sudah mengalami perubahan iklim, konsekuensinya dapat dirasakan sekarang dan mendatang.
Laporan itu juga menyebut, pengaruh perubahan iklim lebih berat menimpa masyarakat miskin. Banyak di antara mereka mencari nafkah di bidang pertanian atau perikanan sehingga sumber-sumber pendapatannya dipengaruhi iklim. Terlalu banyak atau sedikit air adalah ancaman utamanya.
“Indonesia akan menjadi korban utama perubahan iklim, jutaan rakyat akan menanggung akibat buruknya,” tulis laporan itu.
Satu-satunya cara kita beradaptasi dengan perubahan iklim adalah beralih ke bentuk-bentuk pembangunan yang lebih berkelanjutan, hidup dengan cara menghargai dan serasi dengan lingkungan hidup.
“Begitu iklim berubah, kita berubah pula.”
Baca juga: Begini, Cara Kabupaten Gorontalo Hadapi Perubahan Iklim
Tidak menentu
Ramin, nelayan di Desa Hutadaa, Kecamatan Telaga Jaya, hendak turun ke Danau Limboto. Di tengah angin kencang dan air danau surut, ia mempersiapkan alat penangkap ikan di perahu kecilnya. Nelayan pesisir danau ini biasanya berangkat pukul 06.00 sore, kembali pukul 06.00 pagi.
“Pendapatan tidak menentu. Hari ini bisa dapat Rp30 ribu, besok turun lagi,” katanya.
Kekeringan danau semakin mempersulit keadaan. Di tengah danau, ia memperkirakan kedalamannya sekitar satu meter. Untuk sehari saja, nelayan di danau seperti dia kesulitan mendapatkan penghasilan pada angka Rp100 ribu.
“Untung-untungan dapat lebih,” ujarnya lirih.
Ramin perlahan berjalan mendorong perahu. Jika sudah dirasa dalam, ia segera naik, lalu mendayungnya. Sore itu, ia beradu nasib di Danau Limboto, yang sebagian telah menjadi daratan.