Mongabay.co.id

Pulau Kecil Rentan Terdampak Perubahan Iklim, Bagaimana Antisipasi di Malut?

Pulau Woda, Tidore Kepulauan, terancam terdampak perubahan iklim. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Maluku Utara, memiliki sekitar 1.407 pulau. Pulau- pulau ini kekayaan alam baik darat maupun laut. Ia sumber kehidupan warga, sekaligus jadi sasaran eksploitasi banyak pihak. Provinsi ini juga menghadapi banyak masalah, seperti abrasi, mangrove, lamun dan terumbu karang rusak karena praktik perikanan merusak. Belum lagi, daratan yang tereksploitasi dan tertekan, menyebabkan, kerusakan hutan, dan lain-lain. Berbagai hal ini muncul dalam focus discussion group (FGD) oleh Walhi Maluku Utara, bersama pemerintah Kota Tidore Kepulauan, dan berbagai pihak, pertengahan Agustus lalu.

Yudi Rasyid, Direktur Walhi malut mengatakan,   upaya Walhi menyikapi isu perubahan iklim yang jadi masalah global dan mengkhawatirkan dunia terutama pulau-pulau kecil.

“Isu ini sebenarnya sudah dibincangkan sejak 1992 dalam KTT Rio de Jeneiro.”

Belum lama ini, Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC), lembaga yang fokus perubahan iklim merilis data mereka soal ancaman peningkatan suhu 1,5 derajat celcius pada 2030. “Jika kita tak mampu tekan laju peningkatan suhu bumi itu, akan mengena alam dan manusia terutama yang di pulau-pulau kecil,” katanya.

Menurut dia, laporan IPCC terbaru dari Genewa Swiss 8 Agustus lalu soal tanah dan perubahan iklim menjelaskan, persoalan tanah memiliki peran penting menyumbang emisi karbon di udara. Jadi, tanah tak dimanfaatkan dengan baik dan berkelanjutan akan menyebabkan dampak serius bagi manusia.

Melihat fenomena ini, Malut sebagai negeri kepulauan sangat rentan dampak perubahan iklim. “Masyarakat pesisir maupun masyarakat adat rentan terdampak.”

Dia contohkan, Kota Tidore Kepulauan,   sebagai salah satu wilayah yang memiliki beberapa pulau kecil juga rentan. Sebut saja Pulau Maitara, Mare, Woda dan Raja di Kecamatan Oba Halmahera.

“Pulau-pulau ini sebagian kini mulai tergerus abrasi bahkan hutan mangrove terancam habis,” katanya.

Joko Sumardiono, Kepala Stasiun Meteorologi Ternate bersama Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pembangunan Daerah (Bappelitbang), Marwan Polisiri berpandangan sama soal dampak perubahan iklim yang sudah mulai terasa.

Joko mengatakan, melihat pola perubahan iklim di daerah ini   karena anomali di pasifik. Penyebab utama perubahan iklim,  yakni carbon dioksida (CO2 ) sebagai polutan hingga suhu bumi meningkat dan memunculkan panas global. Dampak yang terjadi pun kekeringan dan banjir.

Perubahan iklim, katanya, terjadi karena ada beberapa unsur, seperti suhu udara, kelembaban, penyinaran matahari, angin dan lain-lain. Perubahan iklim juga ada dampak psikis dan fisik.

Dampak fisik, misal, terjadi kebakaran hutan, suhu permukaan laut naik mengakibatkan gelombang tinggi.

Saat ini, BMKG merancang model informasi cuaca yang bisa diakses publik, sepeti informasi suhu, udara, cuaca per kabupaten, informasi cuaca ekstrim bila angin kencang atau gelombang tinggi dan beberap informasi lain.

 

Mangrove tersisa di Kecamatan Oba, Tidore Kepulauan. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Mitigasi dan adaptasi di Malut?

Lantas bagaimana komitmen pemerintah daerah melaksanakan rencana aksi daerah (RAD) soal adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, terutama di Tidore Kepulauan?

Kepala Badan Penelitian dan Perencanaan Pembangunan (Bappelitbang) Marwan Polisiri mengatakan, hingga kini mereka belum memiliki dokumen rencana aksi daerah (RAD).

“Kami akui dokumen RAD belum punya. Meski begitu ada banyak program telah dilakukan Pemkot Tikep. Arahnya, berhubungan dengan mitigasi perubahan iklim,” katanya.

Di Tidore Kepulauan,     ada 11 pulau, tiga berpenghuni dan   delapan tidak. Marwan bilang, sesuai defenisi pulau kecil luas 2.000 km persegi, Artinya, hanya tiga pulau di Tidore yang memenuhi syarat, selain karena ada penghuni.

Sisanya,    tidak masuk pulau kecil tetapi pulau sangat kecil karena luas rata-rata hanya 0,8 kilometer persegi.

Kala perubahan iklim ini, katanya, terdampak serius pulau-pulau kecil. Banyak referensi menunjukkan,   pulau rentan dengan perubahan iklim itu kurang 10.000 meter persegi.   “Itu artinya, Pulau Tidore, tidak terlalu terancam. Yang terancam itu 10 pulau lain termasuk Mare dan Maitara.”

Guna menyelamatkan pulau- pulau itu, Tidore Kepulauan lakukan berbagai langkah, seperti, reboisasi (penghijauan) hutan pantai, penghijauan kembali mangrove, pengembangan ruang terbuka hijau di tiap kecamatan dan kelurahan. Juga rehabilitasi, perlindungan ekosistem pantai dan laut. Pengembangan ruang terbuka hijau di sempadan sungai dan beberapa kegiatan lain.

Selain itu, pemerintah juga revisi rencana umum tata ruang (RTRW) Kota Tidore Kepulauan tahun 2013.   “Ruang ini baik jika ikut beri masukan.   Kami baru selesai membahas kajian lingkungan hidup strategis (KLHS).”

Semua program ini, katanya, untuk menjawab persoalan   perubahan iklim. Saat ini, di Tidore melalui dokumen Perda Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau–pulau Kecil (RZWP3K) telah menetapkan Pulau   Mare, Filonga Sibu serta pulau kecil lain masuk kawasan konservasi.

Senada soal ini, Deasy Susanti, dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Tidore Kepulauan mengatakan, adaptasi dan mitgasi perubahan iklim di Tidore, sudah jalan.

Beberapa proyek telah menjawab dampak perubahan iklim terutama adaptasi dan mitigasi   sejak 2015 hingga 2019.

Dampak banjir, misal, sudah dibangun tanggul penahan banjir dan longsor. “Kami juga membuat sumur resapan dan biopori di Tidore dan Tidore Selatan,” katanya.

Dalam mitigasi dengan membuat sumur resapan dan biopori untuk kawasan yang banyak tergenang air. Tujuannya,   air tak terbuang ke laut tetapi masuk ke tanah menjadi air tanah.

Program biopori ini tidak hanya buat masyarakat umum tetapi juga sekolah- sekolah.   Program adaptasi dan mitigasi perubahan iklim masuk ke sekolah melalui program adiwiyata.

Soal rencana aksi mitigasi perubahan iklim bagi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dianggap hal baru.

Ade Yunus, BPBD Kota Tidore mengatakan, hingga kini mereka belum memasukkan isu mitigasi perubahan iklim dalam program penting.

 

Pulau Maitara dan Pulau Tidore, juga terancam perubahan iklim. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Dukungan regulasi

Ardiansyaah, anggota Komisi C DPRD Kota Tidore Kepulauan menyatakan, yang dijalankan Walhi sangat tepat. Kota Tidore , sebagai kota kecil di Indonesia mungkin paling sedikit menyumbang karbon. “Kita tak ada industri atau perusahaan besar menyumbang karbon ke udara.”

Meski demikian, kota ini sudah ada PLTU yang sedang ribut. “Beberapa tahun ke depan bisa jadi memiliki sumbangan penting karbon di udara,” katanya.

 

Tak hanya soal perubahan iklim

Abdul Kadir Arief dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) memberi masukan. Soal mitigasi, katanya, tak hanya perubahan iklim. Gunung Tidore, sebagai gunung api tak aktif   juga perlu ada mitigasi. Malut, punya beberapa gunung api juga rawan gempa dan tsunami.

Beberapa bulan lalu, katanya, bersama peneliti geologi dari Prancis, coba merekonstruksi sejarah gunung api Pulau Tidore. Ada beberapa kesimpulan luar biasa soal letusan di puncak Desa Talaga itu.

Menurut dia, Maitara, dulu adalah puncak Talaga dengan tinggi dari permukaan laut sekitar 2.000 meter. Artinya Gunung Kie Matubu Tidore adalah salah satu gunung yang masih sangat muda   dan Talaga gunung tua tersier.

Dalam rekonstruksi geologi, katanya,   punya potensi ancaman bencana.

Kasus Tolire di Ternate, dengan letusan samping (freatik) bisa jadi contoh. “Kami tidak berharap ini terjadi di Kie Matubu. Tapi secara sientifik dapat saja terjadi di mana saja.”

Contoh lain, tsunami Banten dipicu Krakatau. Bukan dari sisi tektonik atau kegempaan tetapi dari aktivitis vulkanisme Krakatau.

Dalam hubungan dengan perubahan iklim, sebenarnya letusan gunung api memicu dan memberikan dampak luar biasa bagi alam dan manusia. Terutama, dampak perubahan iklim, siklus air dan udara akan terganggu. Letusan Gunung Rinjani, misal, ikut berpengaruh sampai Eropa Timur. Letusan Krakatau, misal sampai ke Australia.

Untuk itu, pemerintah daerah perlu bikin rencana aksi mitigasi perubahan iklim.

 

Keterangan foto utama:    Pulau Woda, Tidore Kepulauan, terancam terdampak perubahan iklim. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version