Mongabay.co.id

Upaya Petani Swadaya Benahi Tata Kelola Kebun Sawit

Suratno Warsito, adalah petani asal Desa Merarai Satu, Kecamatan Sungai Tebelian, Sintang, Kalimantan Barat. Bersama anggota Koperasi Rimba Harapan, mereka berusaha benahi tata kelola kabun sawit. Foto: dokumen Suratno Warsito

 

 

 

 

 

Suratno Warsito, adalah petani asal Desa Merarai Satu, Kecamatan Sungai Tebelian, Sintang, Kalimantan Barat. Petani sawit mandiri ini berkeinginan kuat untuk berkebun dengan peka terhadap lingkungan sekitar. Ketua Koperasi Rimba Harapan (KRH) ini, menargetkan, pada 2020, mereka bisa mengantongi sertifikat Roundtable on Suistainable Palm Oil (RSPO). Koperasi ini juga menyiapkan, agar para petani bisa mendapatkan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Pada akhir Maret 2019, Suratno dan petani lain menandatangani nota kesepahaman (memorandum of understanding/MoU) dengan PT Sintang Agro Mandiri (SAM). Dengan MoU ini, perusahaan akan membeli sawit-sawit rakyat swadaya terutama KRH sampai 10 tahun ke depan.

Suratno cerita, setiap petani sawit yang ingin jadi anggota koperasi harus patuh dengan semua aturan, antara lain, petani dilarang keras membuka lahan untuk kebun sawit dengan membakar.

Kerjasama ini diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani, dengan kepastian pasar hasil kebun mereka.

“Selama ini, selalu dilema untuk menjual TBS (tandan buah segar-red), kalau pun diterima harga rendah,” katanya akhir Juli lalu saat hadir di Pontianak, sebagai pembicara dalam Workshop Jurnalis yang diselenggarakan Mongabay Indonesia, bertajuk ‘Sawit Rakyat, Permasalahan dan Tantangan Berkelanjutan.’

Saat ini, harga relatif stabil, pada kisaran Rp1240 per kg TBS. Alasan pabrik tak menerima TBS petani biasa soal standar mutu. Kualitas TBS petani harus sama dengan dari kebun perusahaan.

Untuk menghasilkan buah bermutu, tanaman harus cukup mendapatkan pupuk dan dipelihara dengan baik. Pemupukan dengan kimia tentu mahal. Petani mana sanggup. Lagi pula, Suratno memikirkan dampak pada lingkungan.

Suratno pun membuat pupuk organik. Selain menekan harga, pupuk organik juga ramah lingkungan.

Tekad dia mendapatkan perhatian dari WWF Indonesia regional Kalimantan Barat, yang mendampingi Suratno dan kawan-kawan menerapkan metode pertanian bertanggung jawab. “Kita terapkan 60% kimia, selebihnya organik. Pembersihan lahan pun tidak menggunakan metode pembakaran,” katanya.

 

Inilah kawasan bernilai konservasi tinggi yang dihibahkan Suratno Warsito seluas tiga hektar untuk dijadikan rumah satwa. Foto: Andi Fachrizal

 

Komitmen menerapkan sistem perkebunan sawit berkelanjutan atau bertanggung jawab juga amanah Kementerian Pertanian. Aturan kementerian meminta, perusahaan perkebunan sawit di Indonesia mengikuti standar dan kriteria ISPO. Otomatis, petani sawit mandiri pun harus mengikuti aturan serupa hingga produk bisa diterima pabrik.

Aturan ini kemudian diterapkan kepada anggota koperasi Rimba Harapan. Anggota koperasi didampingi mengikuti standar: tak ada deforestasi, tak kembangkan di lahan gambut dan tak ada eksploitasi (no deforestation, no peat development, and no exploitation/No NDPE).

Dengan mengantongi sertifikasi, perusahaan dapat mempertanggungjawabkan rantai pasok mereka. Membuka rantai pasok ke publik, jadi transparan, semua pihak dapat mengetahui kalau darimana pasokan sawit.

Soal komitmen No NDPE, Suratno tidak kompromi. Kalau ada anggota melanggar, akan dia keluarkan dari keanggotaan. “Ini pernah terjadi. Kita punya standar, kalau tidak bisa (ikuti aturan-red) artinya tidak sejalan dengan visi-misi organisasi,” katanya.

Keuntungan menjadi anggota koperasi sangat mendukung produktivitas anggota. Tukar menukar ilmu pengetahuan, penguatan modal kerja, dan penanganan pasca panen.

Suratno bilang, mereka masih menghadapi berbagai kendala, seperti produktivitas belum maksimal. Saat ini, rata-rata produksi petani sekitar 800 kilogram per hektar. “Untuk produktivitas petani plasma itu biasa 1,3 ton per hektr, kebun inti di atas itu. Produktivitas rendah antara lain, karena bibit beragam bahkan tidak ada sertifikat, masalah sumber daya manusia dan lain-lain.”

Saat ini, anggota Koperasi Rimba Harapan, berjumlah 280 petani. Sebanyak 80 anggota potensial, dengan total luas sekitar 300 hektar. Dengan harga cukup baik, dia harapkan, dapat menggenjot produktivitas otomatis menaikkan pendapatan petani.

Tak melulu mengharapkan sawit, Suratno dan anggota menerapkan sistem tani tumpang sari. Mereka menanam buah-buah dan sayur-sayuran hingga tak hanya bergantung sawit.

 

Suratno Warsito, petani asal Desa Merarai Satu, Kecamatan Sungai Tebelian, Sintang, Kalimantan Barat, kala berbicara dalam workshop  Mongabay Indonesia di Hotel Gadjah Mada, Pontianak. Foto: Sapariah Saturi/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Penandatanganan MoU antara petani sawit Koperasi Rimba Harapan dengan perusahaan membawa harapan besar bagi pemerintah daerah Sintang. Veronika Ancili, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Sintang, berharap, dengan program kemitraan ini, harga pembelian TBS petani swadaya mengikuti harga Pemerintah Kalbar.

Pembinaan dari perusahaan, katanya, akan membantu mitra, salah satun, TBS sesuai standar mutu, tata kelola perkebunan yang baik dan berkelanjutan, serta kesinambungan produksi TBS. Penerapan keterlacakan rantai pasok untuk perusahaan yang bersetifikat perkebunan sawit berkelanjutan mengikat perusahaan ketat mengambil TBS dari petani.

 

Tantangan

Florentinus Anum, Kepala Dinas Perkebunan Kalimantan Barat mengatakan, Pemerintah Kalbar berupaya mendorong perusahaan perkebunan sawit agar meningkatkan produktivitas. Kini, katanya, produktivitas masih berkisar 2 juta ton per hektar per tahun. “Masih rendah dari target nasional mencapai 4 juta ton per hektar per tahun,” katanya.

“Kuncinya pada benih,” katanya.

Guna meningkatna produktivitas kebun warga, harus menggunakan benih bersertifikasi. Benih bagus, katanya, akan menghasilkan buah bagus pula. Sertifikasi, katanya, perlu mencegah menggunaan benih illegal yang justru akan merugikan petani.

Tantangan petani sawit, tak hanya itu, legalitas lahan perkebunan juga menjadi batu sandungan untuk mendapatkan sertifikat sawit berkelanjutan. Catatan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyebutkan, masalah legalitas lahan dan pendanaan menjadi batu sandungan utama yang menyebabkan baru 0,1% lahan kebun sawit rakyat dari total 5,807 juta hektar mendapat sertifikat ISPO. Pasalnya, ada lahan kebun sawit petani masih tercatat sebagai bagian dari kawasan hutan, sekitar 56% dari total kebun sawit rakyat.

Lorens, manajer Lanskap Kalimantan Barat Yayasan Inisiatif Dagang Hijau mengatakan, berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Perkebunan, petani mandiri menyumbang 34% produks CPO Indonesia. “Sebesar 90% diantaranya memiliki lahan sekitar tiga hektar dan sekitar perkebunan besar,” katanya.

Petani mandiri juga tak memenuhi definisi hukum atau popular sebagai petani kecil, katanya, serta mengalami keterbatasan di dalam kapasitas dan pelayanan program. Posisi ini, katanya, menyebabkan produktivitas masih rendah. Terlebih, petani mandiri sebagian besar belum terdaftar dan tak memiliki legalitas lahan. “Tidak ada juga insentif praktik berkelanjutan.”

Untuk keluar dari masalah ini, advokasi agar petani terapkan tata kelola perkebunan yang baik. Penggunaan benih atau bibit baik, katanya, membuat petani bisa mengantongi surat tanda daftar budidaya (STDB) dan pelayanan pun dibantu. Termasuk, mendampingi petani mandiri meningkatkan jaringan dan kelembagaan kuat.

“Semua langkah ini lebih mudah melalui inisiatif bentang,” katanya.

Kalau hal ini bisa berkembang, target pemerintah 75% kebun sawit rakyat mendapat sertifikat ISPO pada 2025 bisa terealisasi.

Advokasi lanskap berkelanjutan, katanya, dengan pendekatan pembangunan wilayah. Sebelumnya, masing-masing konsesi bekerja sendiri hingga sulit menjawab isu-isu dan tantangan bersama, seperti pengelolaan hidrologi (tata air), pencegahan kebakaran hutan dan gambut, pengelolaan area nilai konservasi tinggi atau nilai karbon tinggi di dalam satu bentang.

 

Keterangan foto utama:    Suratno Warsito, adalah petani asal Desa Merarai Satu, Kecamatan Sungai Tebelian, Sintang, Kalimantan Barat. Bersama anggota Koperasi Rimba Harapan, mereka berusaha benahi tata kelola kabun sawit. Foto: dokumen Suratno Warsito

 

Exit mobile version