- PT. Kallista Alam yang divonis bersalah Pengadilan Negeri Meulaboh karena membakar hutan gambut Rawa Tripa terus melawan, menolak putusan pengadilan.
- Pada 22 Julii 2019, perusahaan sawit itu melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Suka Makmue, Kabupetan Nagan Raya, Aceh, dengan gugatan perlawanan eksekusi.
- PT. Kallista Alam meminta Pengadilan Negeri Suka Makmue membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh dan menyatakan mereka tidak bersalah terhadap kebakaran lahan di Rawa Tripa.
- Pegiat lingkungan menilai, perlawanan eksekusi PT. Kallista Alam sangat aneh, karena yang bisa melakukan perlawanan eksekusi adalah pihak ketiga yang ada kepentingan di objek perkara.
Kasus Rawa Tripa di Kabupaten Nagan Raya, Aceh, yang dibakar PT. Kallista Alam pada 2012 lalu, belum usai. Meski ditetapkan bersalah, perusahaan sawit ini terus melawan, agar dibebaskan membayar denda dan biaya pemulihan hutan gambut yang telah dirusaknya.
Gugatan perlawanan eksekusi pun didaftarkan ke Pengadilan Negeri Suka Makmue, Kabupaten Nagan Raya, dengan Nomor: 6/Pdt.Bth/2019/PN.Skm, Senin [22/7/2019] lalu.
Dalam pokok perkara, PT. Kallista Alam yang diwakili penasehat hukum dari Duta Keadilan, meminta Pengadilan Suka Makmue menyatakan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh tanggal 22 Januari 2019 tentang Eksekusi Putusan No: 12/Pdt.G /2012/PN-MBO Jo. No. 50/PDT/2014/PT.BNA Jo. No. 651 K/Pdt/2015 jo No. 1 PK/PDT/2017 tidak mempunyai kekuatan hukum. Serta menyatakan pula, dengan segala akibat hukumnya, PT. Kallista Alam tidak bertanggung jawab atas kebakaran lahan.
“Dalam aturan hukum, pihak yang dikalahkan harus dipanggil secara patut untuk diberikan peringatan menjalankan putusan, dan dengan tegas disebutkan, penetapan menjalankan putusan ditentukan setelah delapan hari pemanggilan. Tapi, PT. Kallista Alam maupun kuasa hukumnya tidak pernah menerima panggilan sah dan patut sehingga tidak pernah menerima peringatan,” terang kuasa hukum perusahaan yang diwakili Sri Yuni Hartati, dalam gugatannya.
Sebelumnya, Ketua Pengadilan Negeri Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat mengabulkan permohonan eksekusi dan meminta Ketua Pengadilan Negeri Suka Makmue melelang aset PT. Kallista Alam dengan perantara Kantor Pelayanan Kekayaan Negera dan Lelang Banda Aceh, berupa sebidang tanah bagunan dan tanaman. Lokasinya, di Kecamatan Darul Makmur, dengan sertifikat Hak Guna Usaha Nomor 27 seluas 5.769 hektar.
Baca: Putusan Pengadilan Dieksekusi, Aset PT. Kallista Alam akan Dilelang
Menanggapi perlawanan tersebut, pegiat lingkungan dari Gerakan Masyarakat Aceh Menggugat, Fahmi menilai, seharusnya eksekusi terhadap PT. Kallista Alam dilakukan. Alasannya, semua upaya hukum telah dilakukan dan perusahaan divonis bersalah.
“Mereka telah selesai dalam upaya mencari keadilan. Sudah tidak ada lagi hukum lanjutan,” terangnya, Senin [09/9/2019].
Menurut Fahmi, perlawanan PT. Kalista terhadap penetapan Pengadilan Negeri Meulaboh sangat aneh. Penolakan eksekusi hanya bisa dilakukan pihak ketiga yang merasa berkepentingan terhadap objek eksekusi.
“Seharusnya mereka menghormati, bukan sebaliknya karena semua putusan hukum telah selesai. Kalaupun mereka menilai ada kesalahan putusan, sampaikan ke Mahkamah Agung lewat jalur kasasi atau peninjauan kembali. Faktanya, kasasi dan peninjauan kembali juga ditolak Mahkamah Agung, jadi mereka harus taat hukum,” ungkapnya.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [Walhi] Aceh, Muhammad Nur menilai, kasus PT. Kallista Alam telah berlarut hingga tidak ada titik temu. Ini menjadi pelajaran berharga negara, untuk memperkuat aturan bagi pengrusakan hutan atau lingkungan.
“Seingat saya, sejak pertama kasus ini bergulir sudah ada delapan keputusan keluar, baik di Pengadilan Tata Usaha Negara, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, hingga Mahkamah Agung,” terangnya.
Muhammad Nur mengakui, kasus panjang ini menunjukkan ada kelemahan menjerat perusahaan pemegang hak guna usaha. “Gugatan-gugatan hukum memang dibolehkan dalam perspektif hukum, atau tidak melanggar hukum. Hapan kami, keadilan terhadap lingkungan hidup tetap jadi perhatian utama semua pihak,” tegasnya.
Baca: Putusan Pengadilan Meulaboh Dibatalkan, PT. Kallista Alam Tetap Didenda 366 Miliar
Sejak 2012
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK] pada 2012 menggugat perdata dan pidana PT. Kallista Alam ke Pengadilan Negeri Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat.
Gugatan membuahkan hasil. Pengadilan Negeri Meulaboh dalam putusan Nomor 12/pdt.G/2012/PN.MBO, menghukum PT. Kallista Alam bersalah dan mewajibkan membayar denda Rp114 miliar tunai kepada KLHK melalui rekening kas negara. Juga, Rp251 miliar untuk pemulihan lingkungan terhadap 1.000 hektar hutan gambut Rawa Tripa yang dibakar perusahaan.
Pengadilan pun menyita tanah, bangunan, dan tanaman milik PT. Kallista Alam di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, seluas 5.769 hektar.
Putusan PN Meulaboh diperkuat putusan Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung, hingga Mahkamah Agung.
PT. Kallista Alam yang tidak menerima putusan tersebut, menggugat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Indonesia, Cq, Kementerian Agraria/Tata Ruang/Kepala BPN, Cq, Badan Pertanahan Nasional Kantor Wilayah Provinsi Aceh, serta Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh, ke Pengadilan Negeri Meulaboh dengan Nomor Perkara: 16/Pdt.6/2017/PN.Mbo.
Dalam gugatan disebutkan, koordinat gugatan perdata yang dicantumkan KLHK dan putusan pengadilan tidak sesuai di lapangan, atau error in objekto. Perusahaan juga menggugat adanya pihak ketiga atau Koperasi Bina Usaha Kita di lahan 1.605 hektar yang telah dicabut izinnya oleh Gubernur Aceh.
Pengadilan Negeri Meulaboh pada 12 April 2018 mengabulkan gugatan PT. Kallista Alam dan membebaskan perusahaan tersebut dari segala tuntutan hukum. Namun, saat KLHK mengajukan banding, Pengadilan Tinggi Banda Aceh dalam putusan Nomor Perkara 80/PDT-LH/2018/PT.BNA membatalkan putusan Pengadilan Negeri Meulaboh dengan Nomor Perkara 16/Pdt.6/2017/PN.Mbo. Artinya, Kallista Alam tetap harus membayar denda dan biaya pemulihan lahan.