Mongabay.co.id

Kedaulatan Maritim, Warisan Sriwijaya untuk Indonesia [Bagian 1]

 

Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, tanpa memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia, dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia.”

Itulah kutipan dari Deklarasi Djuanda 1957 yang diumumkan ke dunia internasional pada 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri RI Ir. H. Djuanda. Kita patut bersyukur, kalau tidak ada deklarasi tersebut, wilayah Indonesia hanya sebatas tiga mil dari garis pantai sebuah pulau, dan perairan di antara pulau merupakan perairan internasional.

Deklarasi ini merupakan awal perjalanan menuju “Negara Kepulauan” yang diakui PBB dengan ditetapkannya dalam Konvensi Hukum Laut melalui United Nation Convention on Law of the Sea [UNCLOS] 1982. Dengan dasar hukum itu, luas Republik Indonesia mencapai 1,9 juta mil persegi yang terdiri dari 16.056 pulau.

Jauh berabad sebelum Deklarasi Djuanda, Kedatuan Sriwijaya pada sekitar abad ke-8 hingg 11, telah menyatakan kedaulatan di wilayah territorialnya. Territorial ini meliputi perairan Selat Malaka, sebagian Laut Tiongkok Selatan, Selat Karimata, bagian barat Laut Jawa hingga Selat Sunda. Kedatuan merupakan penyebutan untuk kerajaan atau negara.

Bagaimana Sriwijaya mewujudkan kedaulatannya, dan bagaimana bentuk moda transportasinya?

 

Muatan kapal yang tenggelam di perairan Cirebon dapat menunjukkan asalnya khakkhara, alat upacara yang dimiliki
kelompok pemeluk ajaran Buddha. Foto: Dokumentasi Imam/DKP

 

Disatukan budaya bahari

Bila kita cermati dari sisi kesukubangsaan dan budaya, keberadaan laut bebas di antara pulau-pulau di Negara Republik Indonesia adalah hal janggal. Tetapi, bagaimana pun penduduk antara satu pulau dengan pulau lainnya, masih satu bangsa. Lalu, bagaimana mungkin, sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya?

Sejak awal kedatangan manusia di bumi Nusantara ini, pulau-pulau besar seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua telah dihuni manusia. Bahkan, pulau-pulau kecil seperti Nusa Tenggara [dahulu disebut Kepulauan Sunda Kecil] juga telah dihuni. Beberapa penelitian arkeologi di Flores menemukan sisa-sisa kehidupan sekitar 80.000 tahun silam.

Bangsa barat yang merantau menyebut Nusantara adalah tanah kelahiran homeland atau motherland yang jika diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia lebih tepat “bumi pertiwi” atau “ibu pertiwi”. Istilah ini mungkin berasal dari pemujaan pada Dewi Kesuburan yang sifatnya universal.

Meski nenek moyang Bangsa Indonesia juga mengenal pemujaan Dewi Kesuburan, untuk menyebut tanah kelahirannya, namun akan lebih tepat dengan istilah “tanah air” mengingat, bangsa yang berbeda suku bangsa ini mendiami pulau-pulau yang dikelilingi laut dan selat.

 

Lonceng, alat upacara yang dimiliki kelompok pemeluk ajaran Buddha, ditemukan di kapal yang tenggelam di perairan Cirebon. Foto: Dok. Imam/ DKP

 

Republik Indonesia merupakan Negara Kepulauan dengan 770 suku bangsa, 726 bahasa, dan 19 daerah hukum adat. Meski secara fisik antara satu budaya dan budaya lain dipisahkan laut, namun dari sisi kemaritiman pemisahan itu tidak pernah ada.

Seluruh perairan di Nusantara adalah pemersatu, mengintegrasikan ribuan pulau yang terpisah. Dalam proses perkembangannya, tingkat integrasi dapat berbeda, baik secara geografis maupun politik, ekonomi, sosial dan kultural.

Ada dua kelompok kehidupan pada Bangsa Indonesia, yang mendiami pesisir dan masyarakat yang hidup di pedalaman. Sadar atau tidak, keduanya hidup dengan ketergantungan laut.

Mengapa? Semua itu kembali pada konsep hidup dan kesadaran ruang hidup yang berasal dari heterogenitas. Dalam sejarahnya, tercatat ada hasrat antagonis untuk saling mengendalikan. Kelompok daratan berusaha mengendalikan pesisir de­ngan segala upaya untuk mendapatkan hasil laut, dan sebaliknya.

 

Wajra, alat upacara yang dimiliki kelompok pemeluk ajaran Buddha. Foto: Dok. Imam/ DKP

 

Laut adalah ajang mencari kehidupan kedua kelompok masyarakat tersebut. Dari laut dapat dimanfaatkan sumber daya biota dan abiota, serta banyak kegiatan kemaritiman yang menjanjikan dan memesona. Inilah yang mendorong kedua kelompok masyarakat itu menuju laut.

Jika awalnya mendapatkan hasil laut untuk mempertahankan hidup, dalam perjalanannya visi tersebut berkembang demi kesejahteraan, atau dengan kata lain membangun kejayaan dan kekayaan dari kemaritiman. Fenomena ini pada akhirnya membentuk karakter bangsa pelaut, seperti lahirnya Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan Malayu, Kerajaan Majapahit, serta Kerajaan Makassar.

 

Hulu pedang. Foto: Dokumentasi Imam/DKP

 

Pada akhirnya, laut merupakan media pemersatu, karena melalui laut orang dari berbagai bangsa melakukan interaksi dengan berbagai aktivitas. Melalui laut, orang dari berbagai bangsa menjalankan perekonomian melalui “jasa” pelayaran antarbenua atau antarpulau. Sejak awal tarikh Masehi, laut Nusantara telah diramaikan kapal-kapal berbagai penjuru dunia. Dengan sarana transportasi air itu, komoditi per­da­gangan dibawa dari satu tempat ke tempat lain.

Wawasan Nusantara adalah konsep politik Bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah [darat], air [laut] termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan.

Wawasan ini menyatukan bangsa dan negara secara utuh, menyeluruh, mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan.

Inilah cara Bangsa Indonesia memandang tanah air, tempat kelahirannya yang akhir-akhir ini mulai dilupakan.

 

Manik-manik kaca dengan variasinya. Foto: Dokumentasi Imam/DKP

 

Kejayaan teknologi perahu

Sejak awal tarikh Masehi, perairan Nusantara ramai di­layari perahu-perahu berbagai bangsa, dengan teknologi pembuatan yang juga berbeda. Sejumlah perahu yang melayari Nusantara, sebagian besar menggunakan teknologi tradisi Asia Teng­gara dengan teknik penyam­bungan “papan ikat dan kupingan pengikat”.

Potret dari bentuk moda transportasi laut atau air pada zaman purbakala “ter­cetak” pada relief Borobudur. Pada stupa yang dibangun Dinasti Sailendra sekitar abad ke-8 Masehi itu, para seniman Jawa dengan cer­mat mendokumentasi­kan jenis-jenis perahu yang pernah mereka lihat di laut, danau, maupun sungai. Namun, penglihatan para se­niman itu hanya sebatas bentuknya, tidak merekam teknologinya.

 

Arca yang kemungkinan dari India ini ditemukan pada muatan kapal yang tenggelam di perairan Cirebon. Benda ini milik kelompok pemeluk ajaran Buddha. Foto: Dokumentasi Imam/DKP

 

Karena dokumentasi pembuatannya ti­dak ada, maka para sarjana/peneliti berdasarkan pengamatan re­lief lambung “luarnya” meli­hat ada tiga jenis perahu, yaitu [1]. perahu lesung/dogout yang sangat seder­hana, [2]. perahu lesung yang dipertinggi dengan cadik, dan [3]. perahu lesung yang dipertinggi tanpa cadik. Untuk mengetahui bagaimana cara membentuk bagian lambungnya, tentu harus mengetahui bagian dalamnya.

Runtuhan perahu yang ditemukan di beberapa situs di Indonesia [Palem­bang, Samirejo, Tulung Selapan, Lambur 1, Punjulharjo, dasar laut Jawa perairan Cirebon, dan Pemangkat] serta dari negara jiran, seperti Malaysia [Pontian], Fili­pina [Balanghai], ada kesamaan umum yang dapat dicermati, yaitu teknologi pembuatannya.

Antara lain teknik ikat, teknik pasak kayu/bambu, dan teknik ga­bungan ikat dan pasak kayu/bambu [perpaduan teknik pasak kayu dan paku besi]. Pada umumnya, perahu yang dibuat dengan teknik gabungan ikat dan pasak kayu/bambu dikenal dengan teknologi tradisi Asia Tenggara.

Ciri khasnya antara lain, lambungnya berbentuk V sehingga bagian lunasnya berlinggi, haluan dan buritan lazimnya berbentuk simetris. Tidak ada sekat-sekat ke­dap air di lambung. Dalam seluruh proses pem­bangunan sama sekali tidak menggunakan paku besi, juga kemudi bergan­da di kiri dan kanan buritan.

 

Kapal Kerajaan Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terukir di Candi Borobudur. Sumber: Wikipedia Commons/Michael J. Lowe/Atribusi Berbagi 2.5 Generik

 

Sebuah perahu besar, misalnya mendekati ukuran perahu pinisi sekarang, mempunyai ukuran panjang kemudi sekitar 5-6 meter dengan bilah kemudinya sekitar 50 sentimeter.

Teknik yang paling mengagum­kan untuk masa kini adalah cara mereka menyambung papan. Tanpa menggunakan paku besi, diikat dengan tali ijuk [Arrenga pinnata]. Sebilah papan, pada salah satu sisinya yang melebar dibuat tonjolan empat persegi panjang yang disebut tambuko.

Pada tambuko diberi lubang 4 buah, menembus bagian sisi tebal. Melalui lubang-lubang ini, tali ijuk dima­sukkan dan diikatkan dengan gading yang merupakan bagian kerangka. Di bagian sisi tebal, diperkuat dengan pasak-pasak kayu atau bambu.

Teknik penyam­bungan seperti ini dikenal dengan istilah “teknik papan ikat dan kupingan pengikat” [sewn-plank and lashed-lug technique]. Agar bagian lambung tidak bocor, sambungan di antara bilah-bilah papan dibaluri lapisan damar.

 

Wilayah Kekuasaan Sriwijaya abad ke-8 Masehi yang membentang luas dari Sumatera, Jawa Tengah, hingga Semenanjung Malaysia. Sumber: Wikimedia commons/Gunawan Kartapranata/Atribusi Berbagi 3.0 Tanpa Adaptasi

 

Harus gunakan perahu Sriwijaya

Dengan menggunakan perahu tersebut, sejak awal tarikh Masehi dan mungkin jauh sebelumnya, anak Bangsa Bahari membawa rempah-rempah ke ber­bagai penjuru dunia. Sekaligus, menya­tukan Nusantara melalui komunikasi antarnusa. Runtuhan perahu yang ditemu­kan dari berbagai situs di Indonesia, diketahui berasal dari sekitar abad ke-6 hingg 10 Masehi.

Pada masa itu, Bangsa Bahari yang dalam hal ini Kedatuan Sriwijaya sudah punya aturan ketat. Saudagar asing yang hendak berniaga di Nusantara harus menggunakan perahu Nusantara, dalam hal ini perahu Sriwijaya.

Dalam konteks kekinian, anak Bangsa Bahari menyatukan negeri menggunakan perahu, namun sudah berbeda teknologi dan bahan bakunya. Di beberapa tempat di Nusantara, seperti di Nusa Tenggara, teknologi milenium pertama tarikh Masehi masih digunakan.

Bagaimana nasib perahu kayu di masa depan? Mungkin akan punah sejalan dengan punahnya hutan. Tetapi sepanjang anak Bangsa Bahari masih memandang laut sebagai pemersatu Nusantara, bangsa ini tidak akan terpecah.

 

*Bambang Budi Utomo, peneliti arkeologi yang pernah bekerja pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 1982-2019. Fokus pada kajian Śrīwijaya dan Mālayu dengan pendekatan regional, seperti Sumatera, Kalimantan Barat, Semenanjung Tanah Melayu, dan Thailand Selatan.

 

 

Exit mobile version