Mongabay.co.id

Kedaulatan Maritim, Warisan Sriwijaya untuk Indonesia [Bagian 2]

 

 

Baca sebelumnya: Kedaulatan Maritim, Warisan Sriwijaya untuk Indonesia [Bagian 1]

**

 

Berkembangnya pelayaran dan perdagangan Asia Barat dan Asia Timur, bukan hanya didorong lahirnya dua pusat perniagaan besar di dua wilayah itu, tetapi juga hadirnya emporium Sriwijaya.

Sumber-sumber tertulis [sejarah] yang merupakan catatan harian orang-orang Tionghoa, Arab, India, dan Persia, menginformasikan bahwa tumbuh kembangnya pelayaran dan perdagangan melalui laut antara Teluk Persia dengan Laut Tiongkok Selatan sejak abad ke-7 Masehi atau abad ke-1 Hijriah, dikarenakan dorongan emporium besar di ujung barat dan ujung timur Benua Asia.

Di ujung barat terdapat emporium Muslim, di bawah kekuasaan Khalifah Bani Umayyah [660-749 Masehi], kemudian Bani Abbasiyah [750-870 Masehi]. Di ujung timur Asia, terdapat kekaisaran Tiongkok di bawah kekuasaan Dinasti T’ang [618-907 Masehi].

Keduanya yang mungkin mendo­rong majunya pelayaran dan perdagangan Asia. Namun, jangan dilupakan peranan Sriwijaya sebagai sebuah emporium yang menguasai Selat Malaka pada abad ke-7 hingga 11 Masehi. Emporium ini merupakan kerajaan maritim yang menitikberatkan pada pengembangan pelayaran dan perdagangan.

Persia yang sekarang disebut Iran, menurut catatan harian Tionghoa adalah Po-sse atau Po-ssu, biasa diidentifikasikan atau dikaitkan dengan kapal-kapal Persia. Sering pula diceritakan sama dengan sebutan Ta-shih atau Ta-shih K’uo yang biasa dikenali dengan Arab.

Po-sse dapat juga dimaksud­kan dengan orang-orang Persia yaitu orang-orang Zoroaster yang berbicara dalam bahasa Persi –orang-orang Muslim asli Iran— yang dapat pula digolongkan pada Ta-shih atau orang-orang Arab. Orang Zoroaster dikenal oleh orang Arab sebagai orang Majus, yang mayoritas penduduk Iran setelah pengislaman.

Kehadiran orang-orang Po-ssu bersama orang Ta-shih di bandar-bandar sepanjang tepian Selat Malaka, pantai barat Sumatera, dan pantai timur Semenanjung Tanah Melayu sampai ke pesisir Laut Tiongkok Selatan, diketahui sejak abad ke-7 Masehi atau 1 Hijriah. Mereka dikenal sebagai saudagar dan pelaut ulung.

 

Hulu pisau dari kristal yang merupakan atribut orang-orang Timur Tengah ditemukan dalam muatan kapal yang tenggelam di perairan Cirebon. Foto: Dokumentasi Imam/DKP

 

Catatan Nusantara

Sebuah catatan harian Tionghoa men­ce­ritakan perjalanan bhiksu Buddha I-tsing tahun 671 Masehi dengan menum­pang kapal Po-sse dari Kanton ke arah selatan, yaitu ke Fo-shih [Sriwijaya]. Catatan itu mengindikasikan kehadiran orang-orang Persia di bandar-bandar pesisir laut Tiongkok Selatan dan Nusantara.

Kemudian pada 717 Masehi, diberitakan pula tentang kapal-kapal India yang berlayar dari Sri Lanka ke Sriwijaya dengan diiringi 35 kapal Po-sse. Tetapi pada 720 Masehi, kembali lagi ke Kanton karena sebagian besar kapal tersebut rusak.

Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Arab, Persia, dan Sriwijaya dibarengi pula dengan persahabatan antara kerajaan-kerajaan di kawasan yang berhubungan dagang. Ini dibuktikan dengan beberapa surat dari Maharaja Sriwijaya yang dikirim­kan melalui utusan ke Khalifah Umar ibn ‘Abd. Al-Aziz [717-720 Masehi]. Isinya antara lain tentang pemberian hadiah sebagai tanda persahabatan, dan permohonan dikirimkan mubaligh untuk mengajarkan hukum-hukum Islam.

 

Cetakan tangkup yang dibuat dari batu sabak berbentuk empat persegi panjang (4,2 x 6,7 cm). Pada salah satu sisinya terdapat kalimat yang ditulis dalam aksara Arab. Foto: Dok. Bambang Budi Utomo

 

Bukti-bukti arkeologis yang mengindikasikan kehadiran saudagar Po-sse di Nusantara [Sriwijaya dan Melayu] adalah ditemukannya artefak dari gelas dan kaca berbentuk vas, botol, jambangan dan lainnya di Situs Barus [pantai barat Sumatra Utara] dan situs-situs di pantai timur Jambi [Muara Jambi, Muara Sabak, Lambur]. Barang-barang tersebut merupakan komoditi penting yang didatang­kan dari Persia atau Timur Tengah dengan pelabuhan-pelabuhannya seperti Siraf, Musqat, Basra, Kufah, Wasit, al-Ubulla, Kish, dan Oman.

Dari Nusantara, para saudagar tersebut membawa hasil bumi dan hutan yang sangat digemari pada masa itu: kemenyan dan kapur barus. Hubungan tersebut dilanjutkan politik, yang selanjutnya terjadi proses islamisasi.

Dari fase ini, abad ke-13 Masehi, kemudian muncul Kerajaan Islam Samudera Pasai dengan sultan pertama Malik as-Saleh yang mangkat pada 1297 Masehi. Menurut kitab Sejarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, dan catatan harian Marco Polo yang singgah di Peurlak [1292 Masehi], Samudera Pasai bukan hanya kerajaan Islam pertama di Nusan­tara, tetapi juga di Asia Tenggara. Kehadiran kerajaan Islam ini kian mempererat hubungan Sumatera dan negara-negara Arab dan Persia.

 

Cetakan logam dalam aksara Arab. Foto: Dok. Bambang Budi Utomo

 

Pertengahan abad ke-14 Masehi, Ibn Battuta singgah di Pasai yang waktu itu diperintah Sultan Malik al-Zahir. Dalam catatan hariannya dise­but­kan, Sultan adalah penganut Islam taat yang dikelilingi ulama. Ada dua ulama Persia yang terkenal di sini, Qadi Sharif Amir Sayyid dari Shiraz dan Taj ad-Din dari Isfahan. Ahli-ahli tasawwuf atau kaum sufi dari Persia datang ke Samudera Pasai dan juga ke Malaka, karena para sultan menyukai ajaran “manusia sempurna atau insan al-Kamil”.

Beberapa ratus tahun sebelum Kesultanan Samudera Pasai, di wilayah Aceh juga, sudah ada kerajaan bercorak Islam, yaitu Kerajaan Peurlak. Kerajaan ini berdiri pada 225 Hijriah atau 845 Masehi dengan rajanya Sultan Sayid Maulana Abdul-Aziz Syah, keturunan Arab-Quraisy yang berpaham Syi’ah.

Intensitas hubungan perdagangan antara Persia dan kerajaan di Nusantara demikian tinggi. Tidak mustahil, di beberapa tempat yang dikunjungi saudagar Persia, mereka menetap pula.

Di lain sisi, hubungan perdagangan dan budaya juga dibangun Kerajaan Sriwijaya dengan Kekaisaran Tiongkok.

 

Relief kapal Kerajaan Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terukir di Candi Borobudur. Foto: Nuswantoro/Mongabay Indonesia

 

Kargo Cirebon

Berdasarkan penemuan runtuhan kapal yang tenggelam di perairan Cirebon beberapa tahun lalu, ada sejumlah benda yang mungkin tidak termasuk dalam barang komoditi, yang menunjukan identitas bangsa Persia, India, dan Tiongkok. Misalnya, sebuah benda berbentuk tanduk yang dibuat dari logam berlapis emas, sebuah benda seperti cumi-cumi [sotong] dari kristal, cetakan tangkup [mould] dari batu sabak, serta benda-benda perunggu yang berfungsi sebagai perlengkapan upacara Buddha dan Hindu.

Orang-orang di dalam kapal merupakan komunitas tersendiri, ada nakhoda, kelasi, dan penumpang. Semua dipimpin seorang nakhoda, pengendali kapal. Demikian juga penumpang yang terdiri bermacam status sosial dan profesi. Ada golongan saudagar, bangsawan, pendeta atau bhiksu, dan penumpang biasa. Semua itu dapat diketahui dari benda-benda yang disandangnya.

Hampir seluruh artefak yang diangkut tersebut menunjukkan bukan produk salah satu kerajaan di Nusantara. Ada yang dari Timur Tengah, India, dan Tiongkok. Meski demikian, artefak tersebut manfaatnya sangat besar bagi sejarah kebudayaan Indonesia.

 

Emas dalam beragam bentuk banyak ditemukan di situs permukiman Kerajaan Sriwijaya di lahan gambut KHG Sugihan-Sungai Lumpur, Sumsel. Foto: Sengguk Umang

 

Sriwijaya adalah pemerintahan

Sriwijaya merupakan pemerintahan talasokrasi berbentuk kedatuan/kerajaan, terdiri dari kumpulan datu-datu atau penguasa. Masing-masing datu mempunyai daerah pemerintahan sendiri, tetapi pimpinannya berkuasa atas seluruh kedatuan, termasuk lautnya.

Sebuah berita Tionghoa menginformasikan, rakyat Sriwijaya tinggal di rumah-rumah yang dibangun pada tiang-tiang tinggi di tepian sungai. Ada juga tinggal di rakit-rakit. Mereka pandai berperang di darat maupun air. Gambaran seperti ini, pada masa sekarang, dapat dilihat pada perkampungan Suku Laut di perairan dangkal Kepulauan Riau dan Bangka-Belitung.

Sebagai sebuah kedatuan berdaulat di wilayahnya, ada aturan tegas yang menyatakan apabila para saudagar asing datang [dari mana pun], apabila hendak berdagang harus menggunakan kapal Sriwijaya. Cirinya, dibuat sesuai Tradisi Asia Tenggara dengan teknik papan-ikat dan kupingan-pengikat.

Kapal kayu yang tenggelam di dasar laut perairan Cirebon adalah contohnya. Dalam perahu tersebut terdapat barang-barang dagangan dari Persia, India, dan Tiongkok, sebagaimana dijelaskan sebelumnya.

 

Pecahan keramik dari masa Dinasti Tang di Kanal 8 Sumatera Selatan. Foto: Taufik Wijaya/Mongabay Indonesia

 

Kerajaan kuno di Nusantara yang juga memiliki kedaulatan di laut adalah Kerajaan Gowa-Tallo. Pada suatu masa, di kerajaan ini diberlakukan Amanna Gappa, semacam undang-undang kemaritiman yang menjamin keamanan perdagangan di laut. Meski undang-undang ini dibuat abad ke-17, namun masa berlakunya cukup lama, walau diterapkan diam-diam di antara para pelaut atau saudagar Bugis-Makassar.

Dalam konteks kekinian, ketika sudah 37 tahun Indonesia dinyatakan PBB [UNCLOS, 1982] sebagai Negara Kepulauan, apakah kedaulatan di laut ditandai kapal-kapal yang lalu-lalang berbendera Merah Putih?

Sudahkan angkatan laut kita disegani seperti 1960-an? Sudahkah nelayan menangkap ikan, bukan mencari ikan? Semoga di masa depan, semua itu tercapai, dengan semangat Indonesia sebagai poros maritim dunia. [Selesai]

 

*Bambang Budi Utomopeneliti arkeologi yang pernah bekerja pada Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan1982-2019. Fokus pada kajian Śrīwijaya dan Mālayu dengan pendekatan regional, seperti Sumatera, Kalimantan Barat, Semenanjung Tanah Melayu, dan Thailand Selatan. Tulisan ini opini penulis

 

Referensi:

Azyumardi Azra, 1994, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII: Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, hlm. 41-42.

Guillot, Claude, 2002, Lobu Tua: Sejarah Awal Barus. Jakarta: EFEO, Association Archipel, Pusat Penelitian Arkeologi, dan Yayasan Obor.

Hourani, George Fadlo, 1951, Arab Sea-Faring in the Indian Ocean in Ancient and Early Mediaval Times. Princeton New Jersey: Princeton University Press, hlm. 61-62.

Poerbatjaraka, R. Ng, 1952, Riwajat Indonesia I. Djakarta: Jajasan Pembangunan, hlm. 31-32.

Suryanegara, Ahmad Mansur, 1999, Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia. Bandung: Mizan, hlm. 24.

Tibbets, G.R., 1957, “Early muslim traders in South East Asia”, dalam JMBRAS 30(1): 1-45.

Uka Tjandrasasmita, 1978, “The Introduction of Islam and Growth of Moslem Cities in the Indonesian Archipelago”, dalam Dynamics of Indonesian History (eds. Haryati Soebadio, Carine A du Marchie Sarvas), hlm. 143. Amsterdam: North-Holland Publishing Company.

 

 

Exit mobile version