Mongabay.co.id

Konflik Lahan Berlarut, Suku Anak Dalam Jalan Kaki Lagi ke Jakarta

Aksi jalan kaki sekitar 69 orang komunitas Suku Anak Dalam 113 ke Jakarta. Mereka terdiri dari, perempuan, anak-anak dan laki-laki. Foto: dokumen aksi

 

 

 

 

Ruangan besar terbuka tepat di samping Kantor Gubernur Jambi, dipadati ratusan orang. Mereka berpencar hingga ke sudut taman dan di bawah bangunan rumah adat. Bangunan itu merupakan pendopo untuk pergelaran seni ataupun perkumpulan oraganisasi masyarakat berkegiatan pendidikan dan budaya.

Adalah Kutar dan Abas Subuk, bagian dari Suku Anak Dalam (SAD113) yang sejak 2013 aksi jalan kaki ke Jakarta untuk bertemu presiden. Mereka mau lahan ambil lahan kembali setelah masuk izin perusahaan sawit. Kini, mereka mau ke Jakarta lagi. Sekitar 69 orang perwakilan SAD aksi jalan kaki dari Jambi menuju Istana Negara, terdiri dari 25 perempuan, 40 laki-laki dan empat anak-anak.

Baca juga: Kala Petani Jambi Jalan Kaki Lagi Tuntut Hak Kelola Lahan

Konflik lahan melibatkan SAD113 dengan PT Asiatic Persada (Asiatic), sejak 1986. Hak guna usaha (HGU) Asiatic, seluas 20.000 hektar, dengan bermodal izin lokasi dan legalitas gabungan bernomor 2272 tertanggal 16 Desember 2000, ada izin tambahan seluas 7.252 hektar. Lahan ini masing-masing dikelola anak perusahaan Asiatic, PT Jammmer Tulen 3.871 hektar dan PT Maju Perkasa Sawit 3.381 hektar.

Lokasi terbebani izin merupakan kawasan hutan, tempat hidup SAD Kelompok 113 terdiri atas tiga dusun: Tanah Menang, Pinang Tinggi dan Padang Salaj. Lokasi ini sudah ada sejak masa kolonial zaman Belanda. Pada 27 Oktober 1927, 4 September 1930, dan 20 Desember 1940, Pemerintah Belanda, membuat surat keterangan keberadaan dusun (pemukiman warga SAD dengan disertai penyebutan batas).

Abas Subuk duduk di hadapan saya, ada Nurman, wakil ketua koordinator lapangan aksi jalan kaki masyarakat SAD113 ke Jakarta. ”Ini aksi keempat kali, yang pertama 2014, satu orang meninggal dunia dan tiga lumpuh. Pada 2016, kita mendapatkan surat dari BPN atas kejelasan status lahan milik kita namun diabaikan perusahaan,”kata Nurman.

 

Aksi warga SDA113 jalan kaki ke Jakarta, untuk menuntut penyelesaian konflik lahan kepada Presiden Joko Widodo. Foto: dokumen aksi

 

Asiatic selalu berganti-ganti kepemilikan. Pada 2006, perusahaan ini dikuasai PT Wilmar International. Konflik dengan SAD bahkan nyaris berujung pada kesepakatan dengan pola kemitraan.

Mediasi melalui Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Juli 2012 menyatakan, semua pihak terlibat, termasuk BPN setuju pengukuran lahan 3.550 hektar. Sayangnya, rekomendasi itu diabaikan Asiatic. Sejak 9 Desember 2013 hingga kini, sekitar 150-an orang Kelompok SAD113 mau kembali bertemu BPN.

Pada Mei 2013, Pemerintah Jambi, mengeluarkan surat kepada Asiatic untuk mengembalikan lahan, juga diacuhkan. Pada 25 Oktober 2013, pemerintah daerah pun menerbitkan surat rekomendasi pembatalan izin HGU karena mengabaikan instruksi Gubernur Jambi, setelah ada peringatan berkali-kali.

Pada April 2013 dikabarkan Asiatic, kembali dijual kepada PT Agro Mandiri Semesta (AMS) di bawah kendali Ganda Group.

Dalam pertemuan di Bukit Terawang Desa Pompa Air, Bajubang, 15 Maret 2012 disepakati pengukuran ulang HGU Asiatic. Pertemuan dihadiri Direktur Konflik BPN, Tim PAP DPD, anggota DPD Perwakilan Jambi, BPN Batanghari, Pemkab Batanghari , DPRD Batanghari, perwakilan Asiatic dan perwakilan SAD  serta petani.

Tim Terpadu Batangahari menyerahkan, lahan 2.000 hektar sebagai penyelesaian konflik antara SAD113 dengan Asiatic. Pada 2014, keputusan ini dianggap final menuntaskan konflik berkepanjangan antara SAD113 dan Asiatic.

Ternyata, warga SAD113 tak mengetahui data pembagian lahan 2.000 hektar yang digadang-gadang sebagai solusi penyelesaian konflik itu. Selang satu tahun, Kejaksaan Negeri Muara Bulian menetapkan tiga tersangka terkait gratifkasi Asiatic untuk dana saving ala kemitraaan warga SAD lahan 2.000 hektar itu.

Ketiga tersangka ini oknum tim terpadu Batanghari, yaitu, Ketua Lembaga Adat Batanghari,  Fathaddin Abdi, Kabag Hukum Setda Batanghari, Juliando dan Mantan Asisten I Setda Batanghari Muti Saari.

Dana saving SAD 2.000 hektar pada Asiatic terkumpul Rp13 miliar, dikelola  Koperasi Tuah Bersatu dan Koperasi Berkah Bersatu. Dari dana itu, oknum timdu menerima gratifikasi dari Asiatic Rp1,11 miliar. Uang dikucurkan Asiatic diduga ucapan terima kasih dari perusahaan karena konflik SAD selesai.

Perusahaan bersikukuh, tak mau ambil pusing, apakah yang mendapatkan lahan itu Kelompok SAD113 atau bukan. Mereka menyebutkan, upaya penyelesaian sepenuhnya ditangani Timdu Batanghari skema 2.000 hektar.

Tiga tahun berlalu, masyarakat masih menunggu kepastian atas lahan yang diserobot perusahaan. Abas Subuk merasa perusahaan makin semena-mena, bahkan parit yag dibuat untuk memutus akses masyarakat keluar tambah diperdalam. “Kami ini dianggap gajah oleh perusahaan. Tidak ada keadilan,” katanya.

 

Lokasi yg dituntut untuk SAD sesuai dengan peta hasil surve mikro tahun 1987.

 

Minta solusi ke Jokowi

Nurman bersikukuh akan menjadi jalan kaki mereka terakhir ke Jakarta untuk menemui Presiden Joko Widodo. Kepada orang nomor satu ini, Abas berharap bisa dapat solusi. “Jika tidak ada solusi, kami pikir akan ada pertikaian di lokasi perusahaan. Kami memilih mati di tanah sendiri, daripada lahan kami direbut,” katanya.

Abas Subuk, tak turut berjalan kaki kali ini. Dia bercerita akan aksi juga pendudukan lahan di lokasi perusahaan. Ada tiga lokasi yang akan mereka duduki: Tanah Menang, Pinang Tinggi, dan Padang Salak.

 

Keterangan foto utama: Aksi jalan kaki sekitar 69 orang komunitas Suku Anak Dalam 113 ke Jakarta. Mereka terdiri dari, perempuan, anak-anak dan laki-laki. Foto: dokumen aksi

Aksi Jalan Kaki SAD 113 dari jalan protokol Kantor Gubernur Jambi menuju Jakarta untuk menuntut lahan yang diserobot perusahaan sawit. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version