Mongabay.co.id

Membumikan Program di Masyarakat Adat Butuh Pendekatan Khusus

 

Sejumlah pemerintah daerah telah memberikan pengakuan atas masyarakat adat melalui Peraturan Daerah (Perda). Salah satunya adalah pengakuan atas masyarakat adat Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Pengakuan ini berimplikasi pada kewajiban Pemda untuk melakukan pemberdayaan dan pelaksanaan program-program yang relevan dengan kepentingan masyarakat adat. Terdapat kekhawatiran pelaksanaan program yang sifatnya top down malah menjadi kontraproduktif dengan nilai-nilai yang dibangun oleh masyarakat adat.

“Terkait dengan upaya pemerintah saat ini dengan hadirnya Perda dan Perbub, memang kita perlu duduk bersama di tengah tatanan nilai masyarakat adat Kajang dengan konsepsi pasang ri kajang tentang kamase masea. Jangan sampai intervensi ataupun program-program yang berusaha dibangun di kawasan adat kontraproduktif dengan nilai-nilai yang dibangun oleh masyarakat Kajang sendiri,” ungkap Tomy Satria, Wakil Bupati Bulukumba, dalam diskusi dengan media di Kantor Bupati Bulukumba, Rabu, (28/8/2019).

baca : Dua Tahun Molor, Perda Masyarakat Adat Ammatoa Kajang Akhirnya Disahkan

 

Masyarakat adat Kajang, Bulukumba, Sulsel, memiliki filosofi hidup kamase-kamasea (hidup dalam kesederhanaan). Mereka menolak produk teknologi modern sehingga menjadi tantangan tersendiri dalam pelaksanaan program pembangunan. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Untuk itu, menurut Tomy, konsepsi pemberdayaan yang akan dilakukan harus diketahui bentuknya, apakah memang menjadi kebutuhan masyarakat dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakat adat tersebut.

“Pemda sangat terbuka untuk menemukenali seperti apa program-program strategis yang harus kita bangun bersama di Kajang. Hanya memang selama ini bacaan saya kegamangan dari Pemda sendiri memahami seperti apa pola-pola pemberdayaan tersebut,” katanya.

Ia mencontohkan pada isu pendidikan dan kesehatan, apakah memang harus diintrodusir bangunan-bangunan sekolah dan Pustu di dalam kawasan Kajang. Apakah pembangunan fasilitas yang dianggap sebagai modern, yang ditolak oleh masyarakat Kajang, tidak mencederai tatanan-tatanan yang dibangun masyarakat melalui filosofi hidup kamase-kamase atau hidup dalam kesederhanaan.

“Menarik suatu waktu kalau kita mendudukkan ini, seperti apa sih sebenarnya strategi pemberdayaan yang kita maksud, dengan tatanan nilai yang dibangun di masyarakat Kajang. Valuasi ekonomi yang kita bangun tidak serta merta benefitnya harus didapatkan oleh masyarakat adat Kajang, tidak serta merta harus dilihat pada intervensi pembangunan yang ada di kawasan itu, tetapi juga pada valuasi-valuasi lain yang penting kita lihat,” jelasnya.

baca juga : Sengkarut Lahan Warga Kajang dan Lonsum Berlarut

 

Masyarakat Adat Ammatoa Kajang, Bulukumba, Sulsel, identik dengan pakaian hitam-hitam. Pakaian hitam yang mereka gunakan untuk ritual diproduksi sendiri melalui alat tenun sederhana, berbahan baku dari tumbuh-tumbuhan sekitar hutan sebagai bahan pewarna. Foto : Wahyu Chandra

 

Tomi selanjutnya menyarankan perlunya program-program strategis di masyarakat adat yang inline dengan kearifan yang mereka pahami, tidak semata-mata memaksakan program yang sifatnya top down.

“Pemda tidak ingin lagi datang dengan orang yang paling tahu bahwa ini loh yang Anda harus lakukan. Seharusnya mungkin ada pengorganisasian di tingkat masyarakat adat Kajang sendiri yang menyusun program strategis sesuai kebutuhannya. Kita cari format-format terbaik yang relevan dengan kultur masyarakat adat Kajang, pada isu-isu pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan ekonomi,” tambahnya.

 

Akses terhadap Masyarakat Adat

Kunjungan ke Kabupaten Bulukumba dilaksanakan oleh Yayasan Perspektif Baru bekerja sama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) untuk melihat progres pembangunan di masyarakat adat Kajang setelah lahirnya Perda, Perbub dan SK Pengakuan Hutan Adat.

Menurut Mansyur, Direktur YPB, Kajang merupakan salah satu contoh praktik terbaik dari masyarakat adat yang semakin terberdayakan setelah mendapatkan pengakuan dari negara.

Dijelaskan Mansyur tentang upaya kolaborasi AMAN bekerja sama dengan 3 perguruan tinggi yaitu, Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran dan Institut Pertanian Bogor, melakukan kajian valuasi ekonomi terhadap 6 komunitas adat, salah satunya adalah masyarakat adat Kajang. Untuk melihat bahwa masyarakat adat ketika diberikan hak akses pengelolaan dan diakui mereka bisa secara ekonomi terberdayakan.

“Hasil valuasi tersebut menunjukkan bahwa nilai valuasi ekonomi di Kajang minimal Rp28,92 miliar per tahun, yang dilakukan dengan pengelolaan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.”

Menurutnya, capaian ini tidak terlepas dari dukungan Pemda Bulukumba, terutama dengan adanya Perda No.9/2015 pengukuhan masyarakat adat, yang membuat mereka memiliki akses dan terjamin dalam mengelola SDA.

“Ketika Pemda mendukung penuh masyarakat adat dalam memberi akses membuat masyarakat adat berdaya,” katanya.

menarik dibaca : Ketika Masyarakat Adat Boven Digoel Belajar Hutan Adat di Ammatoa Kajang

 

Tenun sebagai salah satu pekerjaan utama perempuan di masyarakat adat Kajang. Hasil tenun tidak hanya dipakai sendiri, namun menjadi komoditas yang memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Menurutnya, selama ini pemerintah pusat sebagai pembuat kebijakan, selalu melihat bahwa untuk membangun indikator ekonomi selalu dengan mengundang investor untuk investasi secara besar, padahal ada alternatif lain model ekonomi dari masyarakat yang lebih sustainable.

“Pengelolaan hutan dari masyarakat adat kemudian tidak hanya bisa menghasilkan secara ekonomi tetapi juga tetap menjaga keberlangsungan lingkungan,” tambahnya.

Menurut Mohammad Arman, Direktur Hukum dan Politik AMAN, saat ini Bulukumba ini menjadi contoh dalam banyak hal terkait kebijakan masyarakat adat yang didukung penuh oleh Pemda.

Pengakuan dari Pemda ini bertolak belakang dengan kondisi di tingkat nasional yang masih mendapat banyak penolakan, khususnya dari Menteri dalam Negeri.

“Ketika kita ingin mendorong RUU masyarakat adat di nasional ini mendapat penolakan dari Mendagri, terutama karena beliau bilang kalau masyarakat adat diakui akan membebani APBN,” katanya.

Menurut Arman, valuasi ekonomi yang dilakukan di 6 komunitas adat hasilnya justru bertentangan dengan keyakinan dari Mendagri tersebut.

“Apa yang disampaikan oleh Mendagri itu tidak cukup beralasan karena dari 6 valuasi ekonomi yang dilakukan oleh para akademisi menunjukkan situasi yang berbeda. Dinyatakan hasil valuasi tersebut bahwa masyarakat adat bisa mandiri kalau diakui dan lingkungan bisa terjaga”

baca juga : Andingingi, Ritual Kajang Mendinginkan Bumi

 

Tarung, tanaman hutan sebagai bahan pewarna kain Kajang. Dengan pengelolaan hutan yang berkelanjutan, hasil valuasi ekonomi terhadap masyarakat adat Kajang menunjukkan nilai minimal Rp28,92 miliar per tahun. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia.

 

Kajian valuasi ekonomi oleh tim pakar ekonomi AMAN yang dilaksanakan pada bulan Januari-April 2018, secara khusus dilakukan untuk memvisualisasi secara kuantitatif pendekatan atau proxy nilai ekonomi di masing-masing wilayah masyarakat adat.

Model ekonomi digambarkan mulai dari banyaknya macam manfaat sumber daya alam dan jasa lingkungan dalam pengelolaan lanskapnya yang dirasakan langsung masyarakat adat dalam realitas kegiatan keseharian mereka, sampai pada macam manfaat utama yang diyakini menjadi motor penggerak ekonomi masyarakat adat.

Menurut Arman, secara singkat hasil kajian ini menunjukkan bahwa jika masyarakat adat diakui keberadaannya dan diberikan akses legal dalam pengelolaan SDA, mereka dapat membangun kemandirian tanpa memerlukan bantuan dari pihak luar, bahkan bisa berkontribusi untuk pendapatan asli daerah (PAD) dengan sangat signifikan.

Pada sisi lain, hasil penelitian mengenai pengelolaan SDA di sektor perkebunan sawit menunjukkan situasi yang berbeda.

Penelitian Auriga menyebutkan bahwa meskipun komoditi kelapa sawit memiliki nilai tambah ekonomi sekitar 9 persen pada tahun 2015 dari total ekspor Indonesia, tetapi juga menimbulkan biaya lingkungan rata-rata 40-60 persen dari nilai tambah ekonomi. Pendapatan negara di sektor pajak, negara hanya mendapatkan pajak 1,8 juta rupiah/hektar atau sekitar 185 rupiah/meter.

Arman juga menyebutkan hasil penelitian dari Karsa dan CRU yang dilakukan di Provinsi Jambi, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat yang menyebutkan bahwa biaya konflik tanah dan sumber daya alam dari perspektif masyarakat akibat masuknya konsesi perkebunan kelapa sawit berkontribusi meningkatkan angka kemiskinan, akibat hilang lahan masyarakat yang dikonversi menjadi HGU perkebunan.

Dampak utama dirasakan adanya penambahan biaya tinggi untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Hal ini disebabkan karena sumber-sumber kebutuhan rumah tangga lebih mudah didapatkan sebelum masuknya perusahaan.

“Nah, itu yang menjadi dasar valuasi ekonomi dibuat. Kita ingin berangkat dari 6 contoh ini sebagai referensi pengambil kebijakan, baik di daerah dan nasional bahwa sebenarnya ini bisa untuk menjadi alat mempercepat pembangunan daerah, sebagai alat penanganan konflik dan memastikan bahwa memang perlakuan negara adil untuk semua.”

 

Exit mobile version