Mongabay.co.id

Coba Raih Wisatawan, TN Kelimutu Garap Treking dan Ekowisata Desa Penyangga

 

Dalam rangka mempromosikan kunjungan wisatawan ke Taman Nasional Kelimutu (TNK), pada awal April 2019 pihak Balai TNK meluncurkan dua buah buku. Buku pertama berjudul “Menjelajah Keindahan dan Keajaiban Kelimutu” dan buku kedua berjudul “Manusia dan Budaya di Sekeliling Taman Nasional Kelimutu”.

Kunjungan wisatawan memang menjadi target pengelola TNK. Pada 2017 TNK dikunjungi sekitar 91 ribu orang wisatawan dan -meski agak menurun, di 2018 dikunjungi 87 ribu orang.

“Untuk tahun 2018, wisatawan lokal turun 7 persen tapi mancanegara naik 10 persen. Tapi pendapatan tiket total naik Rp3,8 miliar dari sebelumnya Rp3,5 miliar. Kami targetkan wisatawan mancanegera meningkat,” jelas Agustinus Sitepu, Kepala Balai TNK beberapa waktu lalu kepada Mongabay Indonesia.

Baca juga: Danau Kelimutu Bakal Ditata, Apa Perubahannya?

Dalam pandangan Agustinus, wisatawan mancanegara (wisman) memang disasar, karena ia cenderung lama tinggal di suatu tempat dan dapat berdampak besar bagi perekonomian setempat.

Untuk tujuan itu, TNK memiliki program untuk pemberdayaan masyarakat adat yang ada di sekitar kawasan. Agustinus bilang ini sesuai dengan visi TNK, yaitu menjadikan kawasan konservasi berbasis ekowisata budaya yang berdayaguna bagi masyarakat adat dan desa penyangga.

“Saat ini sedang dikembangkan program peningkatan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang ada di sekitar kawasan, yang paling menyentuh langsung adalah pengembangan ekowisata,” terangnya.

“Harapannya nanti jadi satu paket kunjungan ke Kelimutu. Tidak hanya ke TNK, tapi juga tempat wisata budaya di kampung-kampung adat yang menarik.”

Sebutnya, dengan adanya wisata masyarakat akan terdorong untuk melestarikan tradisi, budaya, termasuk menjaga situs ritual. Juga akan menghidupkan sanggar seni hingga memelihara aset potensi alam yang dimiliki.

 

Gregorius Masa, Mosalaki Pu’u Wolomoni Desa Niowula, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende berada di papan petunjuk jalur treking yang berada persis di batas wilayah TNK dan tanah adat. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Jalur Treking

Saat ini sebagai bentuk inovasi pengembangan paket wisata, TNK dan warga desa sekitar telah membuka tiga jalur treking menuju Danau Kelimutu.

Dua jalur dibangun di Kecamatan Detusoko, yakni dari Desa Wologai di sebelah utara dan Desa Niowula di bagian barat. Satunya lagi jalur dari Desa Sokoria di sebelah selatan Danau Kelimutu.

“Memang rencananya akan dibuka beberapa jalur treking. Niowula dan Wologai sudah kami bangun sarana dan prasarananya. Masyarakatnya juga mulai dilatih memandu dan memasak,” jelas Agustinus.

Jalur yang dibuat juga sudah dicoba dan dicek oleh Tim SAR dan BPBD Ende. Para mitra pariwisata pun sudah dikumpulkan untuk promosi wisata trekking ini. Jalur treking ini sendiri panjangnya 11 km, dimana 8,5 km-nya ada dalam wilayah kawasan TNK.

Namun demikian, masih minim wisatawan yang tertarik untuk memanfaatkan jalur trekking tersebut.

Bartolomeus Toi (44), Kepala Desa Niowula, menduga medan yang cukup berat membuat belum banyak orang yang berminat.

“Saya akan diskusi dengan kelompok masyarakat, untuk survey lagi jalur ke air terjun, yang aksesnya lebih mudah dijangkau. Pengunjung bisa ke sana dengan aman dan nyaman.”

Dia bilang kalau inisiatif pengembangan jalur trekking ini didukung pula oleh pihak desa, sudah masuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa atau RPJMDes.

Kendala lain, sebut Bartolemeus belum banyak kaum muda di Niowula yang ingin bergelut di bidang pariwisata. Pariwisata belum membudaya. Juga belum banyak pemuda yang punya kemampuan promosi wisata lewat teknologi informatika.

Di sisi lain, Agustinus mengakui bahwa transportasi ke Kelimutu masih jadi kendala. Dia bilang harga tiket pesawat yang mahal ke Ende dan ketiadaan angkutan umum yang melayani secara rutin dari Kota Ende ke TNK jadi faktor penghambat.

Dia berharap Festival Kelimutu, suatu event tahunan yang digelar TNK dan Pemda dapat dijadikan ajang untuk memantapkan branding kawasan Kelimutu.

 

Peta tutupan lahan di kawasan Taman Nasional Kelimutu (TNK). Dok: BTNK

 

Akhiri Polemik, Harus Kerjasama untuk Jaga Kelimutu

Meskipun banyak program yang akan digagas, namun semua program itu harus dikembangkan bersama. Seluruh perencanaan akan berjalan baik jika dibangun lewat landasan dialog dan saling terbuka diatas konsensus dan semangat kolaborasi.

Pelestarian adat, budaya dan hutan TNK penting dibicarakan diantara pemda, Balai TNK maupun diantara sesama masyarakat sendiri.

“Harus duduk setara. Tidak boleh ada diskriminasi dimana ada pihak-pihak yang dipinggirkan. Karena hak masyarakat adat sudah diamanatkan dalam konstitusi, Pasal 18b ayat 2, dan Pasal 28j UUD’45,” jelas Philipus Kami, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Nusa Bunga.

Dia lalu menambahkan bahwa secara sosio-antropologis, kawasan TNK sendiri sebenarnya merupakan bagian wilayah adat. Ada 23 wilayah adat yang di kawasan ini. Untuk itu banyak hal yang harus dibicarakan oleh para pihak.

Baca juga: Mencari Solusi Kelola Lahan Masyarakat di Sekitar TN Kelimutu

Sebagai contoh, Philipus lalu menyinggung tentang kebun-kebun kopi masyarakat yang ada di dalam TNK. Kebun-kebun itu ada sebelum ada penetapan Tapal Batas 237 tahun 1996.

Berdasarkan pengukuran, luas lahan kopi yang digarap totalnya 19,6 hektar. Kopi pun banyak yang ditanam sebelum penetapan TNK pada tahun 1992.

 

Hubertus Pango menunjukan hasil panen kopi arabika miliknya yang ada di dalam Kawasan Hutan Taman Nasional Kelimutu. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia.

 

Hal itu sekarang sudah ada solusinya.

“Di bulan Desember 2018 lalu ada kesepakatan. Kami yang sudah garap [tanaman kopi] di dalam kawasan boleh tetap kerja, asal lahan jangan diperluas lagi. Lahannya juga sudah diukur,” sebut Hubertus Pango (52), Ketua Kelompok Tani Desa Niowula.

“Kalau pihak TNK datang mau patroli, sekarang mereka jumpai kami dan sama-sama patroli. Kalau dulu kami diusir.”

Sebelumnya polemik tentang lahan kopi ini memang sempat berlangsung lama. Pada periode 1997-2002 kerap terjadi pengusiran warga yang menggarap kopi dalam kawasan. Warga lalu protes, mereka menyambangi Kantor Bupati dan DPRD Ende untuk mencari keadilan.

Dalam pertemuan dengan Bupati Ende saat itu, Paulinus Doni, mosalaki (tokoh adat) Niowula, Gregorius Masa menjelaskan tentang batas wilayah tanah adat (Ulu Eko Tana Watu) dan batas hutan (Watu Buru Saga Su’u Dore Mutu).

Kata Gregorius, dahulu nenek moyangnya tinggal di kawasan atas Danau Kelimutu. Saat Gunung Kelimutu meletus, warga lari terpencar dan turun ke dataran, hingga akhirnya membuat perkampungan di lokasi yang sekarang mereka tempati.

Lebih lanjut Gregorius juga bilang, secara adat mosalaki sudah membagi 86 bidang lahan kebun yang lokasinya berada di tempat semula yang berada dekat batas hutan.

“Tanah yang sudah dibagi oleh mosalaki itu kembali kepada mosalaki. Hutan itu hutan adat. Kalau pihak TNK mau kerjasama kami tidak keberatan. Syaratnya asal kami jangan dilarang tebang kayu untuk bangun rumah adat,” sebut Gregorius.

Agustinus Sitepu pun membenarkan. Dia bilang jika ada lahan kopi di dalam kawasan TNK. Dengan adanya kesepakatan, maka lahan kopi yang terlanjur ada akan diizinkan, selama tidak bakal dibuka lagi lahan kebun baru.

 

Foto utama: Seorang wisatawan memandang Dawah Danau Tiwu Koo Fai Nuwa Muri dan Tiwu Ata Polo di kawasan Taman Nasional Kelimutu saat pagi dan masih tertutup awan di beberapa bagiannya. Foto: Ebed de Rosary/Mongabay Indonesia

 

Exit mobile version