Mongabay.co.id

Nasib Warga Sekitar PLTU Celukan Bawang, Bakal Makin Sulit dengan Perluasan Pembangkit

 

 

 

 

Kala kami tiba di Desa Celukan Bawang, Gerokgrak, Buleleng, Bali, akhir Mei lalu, Surayah, sedang merawat ternak sapinya. Dia satu-satunya warga yang bertahan dan tak menjual lahan pertanian dan rumah untuk pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara.

Puluhan warga lain, telah lama pergi. Mereka menjual tanah dan rumah. Surayah bersama suami, tinggal berjarak hanya 100 meter dari cerobong asap PLTU. Walaupun tanah dan rumah sempat ditawar perusahaan, mereka menolak.

“Saya ingin terus bertani dan beternak di sini,” katanya, ditemui Mongabay.

PLTU Batubara beroperasi pada 2015, perempuan 65 tahun ini mulai terkena radang paru-paru (bronkitis). Sebelumnya, dia tak pernah sakit pernapasan. Kini, udara panas dan kotor karena debu, belum lagi suara bising mesin PLTU yang beroperasi 24 jam, jadi keseharian Surayah.

Baca juga : Mengganggu Kesehatan, Limbah PLTU Celukan Bawang Bali Menuai Protes

Sejak sakit radang paru-paru, hampir tiap bulan dia periksa ke dokter. Bertani jadi berkurang, berdampak pada penghasilan rumah tangga.

Di kebun, dia menanam kelapa, pisang, cabai, jagung dan tanaman lain. Kini, tanaman tak bisa bertahan lama, mati pelahan. Dia pun hanya menggembala sapi di samping rumah.

“Dulu, hasil pertanian cukup untuk makan, kini semua mati terkena penyakit dan debu. Hanya menjaga sapi,” katanya.

Surayah dan suami, tak pernah tahu, PLTU batubara akan dibangun di dekat rumah. Dia tak pernah mendapatkan pemberitahuan, tiba-tiba ada PLTU batubara.

Kini, rumah dan lahan pertanian terancam hilang untuk perluasan PLTU. Pembangkit listrik batubara ini bakal lanjut, terlebih setelah kasasi warga dan Greenpeace, berakhir penolakan Mahkamah Agung.

Surayah akan tetap bertahan, tak akan menjual lahan dan rumahnya.

Baca juga : Warga dan Greenpeace Gugat Gubernur Bali terkait Izin Lingkungan PLTU Celukan Bawang.

Selain Surayah, ada Ketut Mangku Wijana, warga Desa Celukan Bawang, Kabupaten Buleleng. Ketut, salah satu penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar, atas izin gubernur Bali untuk memperluas dan menambah PLTU batubara sebesar 660 Megawatt.

Kalau dari awal dia tahu akan dibangun PLTU, akan menolak sejak lama.“Dulu, kami tahunya akan dibangun pabrik kecap, jika tahu dibangun PLTU batubara jelas kami tolak,” katanya.

Usia Ketut 50 tahun, rumah berjarak 150 meter dari lokasi PLTU batubara. Kebun kelapanya, bersebelahan tembok dengan lokasi PLTU batubara.

Sebelum ada PLTU, kebun kelapa panen sekitar 6.000-8.000 tiap dua bulan sekali. Kini, tinggal 1.200 butir setiap panen. Bahkan, banyak tanaman kelapa mati.

“Tidak ada debu selain dari PLTU batubara itu,” kata Ketut.

 

PLTU batubara Celukan. Rainbow Warrior III datang juga bawa pesan setop energi batubara, giatkan energi terbarukan. Foto : Alit Kertaraharja/Mongabay Indonesia

 

Ketut memperlihatkan puluhan tanaman kelapa mati. Dengan luas lahan 3,6 hektar, dia juga tanam pisang dan sayuran. Semua gagal tumbuh. Bahkan, irigasi di kebun beralih ke perusahaan.

Kini, dia tak berhadap banyak pada hasil kebun. Tabungan dari bertani kelapa, dia bikin bengkel motor. Dia beralih jadi montir. Dia juga tak akan menjual lahan pertanian untuk perluasan PLTU batubara, sampai kapanpun.

Rencana pembangunan PLTU Celukan Bawang, sejak 2004, dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) ada sejak 2007.

Berbagai persoalan menghambat pembangunan sejak awal, salah satu masalah direktur PT. General Energy Bali (GEB), Tjandra Limanjaya dan istri, Irnawati Sutanto, memalsukan surat dan pencucian uang kepada kreditor, Bank Morgan Stanley, guna membiayai proyek pembangunan PLTU Celukan Bawang.

General Energy Bali adalah Indepedence Power Producer (IPP) yang menyepakati power purchase agremeent (PPA) selama 30 tahun dengan PT PLN Persero.

PLTU ini dibangun GEB, perusahaan bernama lokal berstatus penanaman modal asing. Berdasarkan dokumen resmi perusahaan, saham mayoritas GEB milik China Huadian Engineering Co. Ltd dari Tiongkok, lalu Meryline International PTE Ltd dari Singapur dan PT. General Energy Indonesia.

Dalam dokumen perusahaan di Dirjen AHU, Kementerian Hukum dan HAM tertulis, saham minoritas GEI beralih ke PT. Singa Energi Indonesia.

Pembiayaan pembangunan PLTU Celukan Bawang menggunakan dana pinjaman dari China Bank Development dan China Huadian Engineering Co, Ltd (CHEC), sebagai pengembang, dengan alokasi US$700 juta.

Penasehat keuangan mereka, Emerging Asia Capital Partners berada di Beijing. Berdasarkan Dokumen China’s Global Energy Finance, pinjaman pembangunan pembangkit berasal dari Chinese Development Bank (CDB) dan Export-Import Bank of China (Ex-Im).

PLTU Celukan Bawang, diduga gunakan tenaga kerja ilegal berasal dari Tiongkok. Tak hanya saat pembangunan pembangkit, juga operasional saat ini.

Sekretaris Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Buleleng, Dewa Putu Susrama, membantah. Dia bilang, tenaga lokal masih lebih banyak dan pekerja Tiongkok sudah mengurus kartu izin tinggal sementara (Kitas).

 

Lumba-lumba, dulu banyak bermain dan melintasi laut dekat PLTU Celukan Bawang. Kini, sudah sulit temui mereka di sana. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

 

Nelayan dan pariwisata

Pembangunan PLTU batubara Celukan Bawang juga berdampak buruk bagi nelayan di pesisir desa itu.

Baidi Suparlan, Ketua Kelompok Nelayan Bhakti Kosgoro mengatakan, tangkapan ikan berkurang. Sebelum ada PLTU mereka mudah mendapatkan ikan. Mendayung perahu saja, katanya, sudah dapat ikan. “Sekarang, perahu wajib bermesin, bahkan mencari ke tengah laut susah dapat ikan,” katanya.

Baidi bilang, sebelum PLTU Celukan Bawang beroperasi, 300 ember ikan per hari sepanjang tahun. Dia pakai jaring lalu ditarik dari pantai. Kini, ikan-ikan di pinggir pantai tak ada lagi.

“Mungkin karena air laut bertambah panas karena ada pembuangan limbah PLTU,” katanya.

I Putu Gede Astawa, Ketua Kelompok Nelayan Mekarsari merasakan hal sama. Kini, dia sulit menemui lumba-lumba dan paus. Padahal, kalau ada kedua satwa laut itu, di sekitarnya dia yakini banyak ikan kecil.

Gede mengatakan, Celukan Bawang berada satu garis dengan Pantai Lovina, kawasan populer melihat atraksi lumba-lumba. Biasanya, turis dari Lovina naik perahu melihat lumba-lumba di pagi hari sampai laut di Celukan Bawang.

“Sekarang, makin susah lihat lumba-lumba di. Dulu, jarak 300-400 meter dari pantai sudah dapat lumba-lumba,” kata Gede.

Nelayan di Mekarsari, tak hanya menangkap ikan tetapi menyediakan layanan bagi turis melihat atraksi lumba-lumba di tengah laut. Pendapatan dari wisata lumba-lumba sangat besar. Kini menurun. Dia khawatir, penambahan kapasitas PLTU menyebabkan lumba-lumba hilang, otomatis pendapatan nelayan sehari-hari terancam.

Hindun Mulaika, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan, secara global dan regional negara-negara di Eropa dan Asia Timur, mulai meninggalkan batubara sebagai sumber energi mereka.

Dampaknya, perminataan batubara dari Indonesia ke pasar internasional juga berkurang.

PLTU batubara, sudah terbukti berdampak buruk terhadap warga. Laporan dari Universitas Harvard menyebutkan, sekitar 20.000 orang di Asia Tenggara, terdampak buruk PLTU batubara. Kalau tak disetop, bisa sampai 70.000 jiwa tiap tahun. Dampak buruk PLTU batubara, katanya, terutama pencemaran udara dan menyebabkan berbagai penyakit, terutama kanker.

Hindun bilang, salah satu kejanggalan dari investasi PLTU batubara, karena banyak investor dari Tiongkok. PLTU Celukan Bawang, katanya, yang telah beroperasi, misal, pakai dana pinjaman dari China Bank Development dan China Huadian Engineering Co, Ltd, sebagai pengembang. Padahal, pemerintah Tiongkok sendiri justru giat beralih ke energi terbarukan.

Greenpeace pada 2018 meluncurkan laporan terkait proyeksi polutan yang bisa membahayakan warga di sekitar PLTU Celukan Bawang. Hasil pemodelan emisi Celukan Bawang unit eksisting dan akan dibangun (unit II) dinilai menghasilkan polutan berbahaya bagi kesehatan manusia, satwa laut, dan industri wisata di Bali Utara. Salah satu, risiko habitat lumba-lumba di pesisir Lovina, rusak.

“Juga kemungkinan berdampak pada satwa di Taman Nasional Bali Barat,” kata Hindun.

Lauri Myllivirta, ahli polusi udara Greenpeace, mengatakan, hasil pemodelan dari sejumlah data awal tak tersajikan lengkap dalam dokumen amdal. Salah satu, limbah merkuri dari batubara. Merkuri merupakan logam berat sangat beracun penyebab masalah kesehatan bahkan dalam konsentrasi rendah.

“Polusi merkuri menimbulkan risiko serius untuk perkembangan anak-anak. PLTU batubara diyakini sebagai sumber emisi merkuri terbesar di atmosfer,” katanya kepada Mongabay.

 

Dulu, tangkap ikan di tepian pantai mudah dapat, kini, tidak lagi… Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

 

Lauri bilang, endapan merkuri dan abu batubara akan jatuh ke perairan pantai dan tanah. Air permukaan bisa mengalirkan ke ekosistem pesisir Lovina dan meningkatkan paparan logam berat pada lumba-lumba yang mencari makan di daerah ini. Pengendapan asam, katanya, dapat meningkatkan mobilisasi dan buangan logam berat ke perairan pesisir. Kondisi ini berdampak pada kualitas pangan laut yang jadi bahan konsumsi manusia.

Dari hasil pemodelan, diperkirakan merkuri PLTU eksisting sekitar 30 kilogram pertahun jadi lebih dari 80 kilogram pertahun dengan instalasi baru (unit II). Kemudian NO2 PLTU eksisting 4.000 ton pertahun, lebih dari 12.000 ton pertahun (unit II), begitu juga NOx.

Gubernur Bali, I Wayan Koster meminta, pengelola PLTU Celukan Bawang, berhenti pakai batubara. Dia minta, PLTU mengkonversi bahan bakar dari batubara ke bahan lebih ramah lingkungan seperti gas.

Penggunaan batubara, katanya, menyebabkan polusi udara yang berdampak buruk terhadap lingkungan. “Supaya udara bersih. Kalau batubara bikin panas, pengusaha PLTU batubara tidak boleh mengabaikan dampak lingkungan dan sosial di masyarakat,” katanya.

  

Putusan kasasi?

Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi warga Celukan Bawang dan Greenpeace Indonesia terkait Keputusan Gubernur Bali tentang izin lingkungan hidup pembangunan PLTU Celukan Bawang. Artinya, pembangunan PLTU Celukan Bawang berkapasitas 2×330 megawatt berpeluang berlanjut.

Obyek gugatan adalah Surat Keputusan (SK) Nomor 660.3/3985/IV-A/DISPMPT tentang Izin Lingkungan Hidup Pembangunan PLTU Celukan Bawang II. Ia terbit pada 28 April 2017 oleh Gubernur Bali masa itu, I Made Mangku Pastika.

Dalam putusan kasasi yang Mongabay lihat dari website Mahkamah Agung, Ketua Majelis, Yulius, dengan anggota Hary Djatmiko dan Yosran. Ketiganya menilai gugatan Greenpeace melewati tenggat waktu, lebih dari 90 hari sejak surat keputusan terbit.

“Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi,” kata majelis sebagaimana dikutip dari website Mahkamah Agung, Jumat, (5/9/19).

Dalam putusan juga tertulis, menolak gugatan ini dengan alasan para penggugat tak memiliki kepentingan dan proyek itu belum menimbulkan dampak apa-apa. Putusan itu dikuatkan PTTUN Surabaya pada 26 Desember 2018.

Dalam pertimbangan, majelis hakim juga menyatakan, belum menemukan ada kerugian langsung dan nyata yang dialami para penggugat. Selain itu, belum ada bukti ilmiah (scientific evidence) tentang potensi pencemaran.

Ni Putu Candra Dewi dari Lembaga Bantuan Hukum Denpasar mengatakan, kasus bermula saat Gubernur Bali mengeluarkan izin pembangunan proyek PLTU di Buleleng 28 April 2017. Proyek itu ditentang LSM lingkungan, Greenpeace, dan warga, seperti, I Ketut Mangku Wijana, Baidi Sufarlan, dan I Putu Gede Astawa.

Warga menilai proyek itu menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan dan menyebabkan perubahan iklim.

Gugatan dilayangkan ke PTUN Denpasar. Pada 16 Agustus 2018, PTUN Denpasar tak menerima gugatan. Putusan itu dikuatkan PTTUN Surabaya pada 26 Desember 2018.

Padahal, kata Candra Dewi, pada proses penyusunan amdal hingga penerbitan izin lingkungan menabrak antara lain, UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau Kecil; UU Pengesahan Kerangka Kerja Perubahan Iklim, dan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Belum lagi, kata Dewi, tak ada konsultasi dengan masyarakat mengenai rencana pembangunan PLTU Celukan Bawang tahap II. Izin lokasi, katanya, juga bertentangan dengan UU Nomor 1/2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil. Lokasi PLTU tidak berdasarkan pada rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K).

Hal lain, katanya, pemakaian batubara tak sesuai peta jalan Bali Clean and Green Energy maupun UU Nomor 6/1994 tentang Pengesahan Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim. Emisi batubara, katanya, potensial menyebabkan perubahan iklim.

Masalah lain, katanya, soal pelibatan masyarakat dalam proses amdal dan izin lingkungan, seperti diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 17/2012. Pemerintah dan kontraktor proyek, katanya, tak sosialisasi dan pelibatan masyarakat dengan benar.

Mongabay, berusaha menghubungi perusahaan General Energy Bali, namun sampai berita ini turun belum mendapatkan respon. Begitu juga upaya konfirmasi ke China Huadian Engineering, belum mendapatkan jawaban.

 

Kehadiran PLTU batubara Celukan Bawang, berdampak bagi kehidupan melayan sekitar. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version