Mongabay.co.id

Pesona Pantai Tanjung Luar Pikat Hati Wisatawan

Kalau datang pada waktu tepat, wisatawan bisa berjalan di Pulau Pasir, masih satu gugusan dengan Pulau Maringkik. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Sebuah dermaga kecil terapung menjadi pemberhentian saya di Desa Tanjung Luar, Lombok. Ia berada hanya sepelemparan batu dari keriuhan pasar ikan, yang jadi tempat pelelangan ikan terbesar di Lombok itu. Perahu-perahu kayu nelayan pemburu hiu, dan perahu penuh ikan, berganti dengan perahu fiber bercat warna-warni, dan nama-nama indah.

Minibus mengkilap, mobil-mobil pelat hitam tampak baru, dengan para pria berkacamata hitam duduk di berugak (gazebo). Kontras dengan pemandangan di pasar ikan. Wajah-wajah penuh keringat para buruh TPI, berganti orang yang bersantai menikmati keindahan alam.

Desa Tanjung Luar dan Desa Pulau Maringkik, terkenal sebagai kantong nelayan pemburu hiu di Nusa Tenggara Barat, bahkan terkenal hingga mancanegara. Dua kampung nelayan pemburu hiu ini ternyata memiliki potensi pariwisata pantai dan bawah laut luar biasa.

Dermaga kecil itu adalah lokasi pemberangkatan wisatawan yang hendak berlibur ke pulau-pulau kecil di Teluk Jukung. Ada yang hendak berlibur ke Pantai Pink, Pantai Segui, Pantai Telone dan sejumlah pantai berpasir putih lain.

Perjalanan laut 45 menit dari dermaga itu tak sia-sia. Sepanjang perjalanan, wisatawan dimanjakan pemandangan laut biru. Kalau berangkat pada waktu tepat, bisa singgah di Pulau Pasir. Pulau yang muncul ketika perairan surut. Kalau berdiri di atas Pulau Pasir, ketika belum sempurna surut, laksana sedang berjalan di atas air. Seolah mengambang di tengah laut.

Awalnya, beberapa wisatawan backpacker mencoba jalur darat menuju Pantai Pink. Perjalanan darat Pantai Pink melewati hutan Sekaroh dengan jalan rusak parah, bukanlah pilihan tepat. Apalagi kalau gunakan roda empat. Sepeda motor pun bukan pilihan tepat ketika musim kemarau. Jalanan pada musim hujan jadi kubangan berubah jadi lautan debu kala kemarau.

Tempat wisata ini dimulai para wisatawan minat khusus, pemancing, lalu dari mulut ke mulut meluncurlah beberapa nama nelayan yang direkomendasikan. Nelayan yang bisa mengantar hingga ke Pantai Pink.

Wak Badar, salah satu nama nelayan itu. Dengan perahu penangkap ikan, Wak Badar mengantar tamu ke Pantai Pink. Dalam perjalanan, wisatawan itu melihat pantai-pantai berpasir putih lain. Belakangan pantai-pantai itu diberikan nama Pantai Pink II, Pantai Pink III. Walaupun nelayan setempat mengenal dengan nama lain, tetapi penomoran itu memudahkan wisatawan untuk mengingat.

Postingan foto di media sosial selama perjalanan dari TPI Tanjung Luar menuju Pantai Pink itu, tersebar luas. Wisatawan pun baru tahu bahwa ada Pulau Pasir. Selama ini, hanya dikenal Pulau Pasir di Gili Kondo, Kecamatan Sambelia.

 

Seorang nelayan hendak pulang ke Pulau Maringkik, setelah semalam penuh mencari ikan di perairan Teluk Jukung. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Beralih ke sektor pariwisata

Testimoni wisatawan yang menggunakan jalur laut juga tersebar dari mulut ke mulut. Setiap akhir pekan, Wak Badar sibuk menerima telepon dari nomor tidak dikenal. Mereka meminta diantar ke Pantai Pink.

“Katanya dapat nomor saya dari yang pernah pakai perahu saya. Saya sudah tidak ingat berapa yang pernah naik,’’ kata Wak Badar.

Nelayan lain menangkap peluang. Nelayan yang memiliki modal lebih membeli perahu baru khusus penumpang. Senin-Jumat melaut, akhir pekan melayani tamu.

Lama kelamaan, makin banyak tamu, makin jarang melaut, termasuk Wak Badar. Hampir tidak pernah lagi mencari ikan. Kini, dia melayani wisatawan. Pendapatan dari melayani wisatawan ini lebih pasti, Rp400.000–Rp500.000. Melayani wisatakan, katanya, tak menghabiskan bahan bakar sebanyak mencari ikan. Dia juga tak terlalu lelah. Ketika tamu singgah di satu pantai, dia juga ikut singgah dan istirahat.

“Lebih pasti hasil bawa tamu (wisatawan),’’ katanya.

Dalam perjalanan dari TPI Tanjung Luar menuju Pantai Pink, wisatawan biasa singgah di Pulau Pasir, Pulau Maringkik, Pantai Segui, Pantai Pink.

Dalam perjalanan itu, para nelayan membocorkan rahasia, ada tempat snorkeling bagus. Gili Petelu, salah satu. Saya pernah melihat bayi hiu di perairan pulau ini. Pesisir-pesisir pantai berpasir putih mulai dari arah Telone hingga Segui, pun tidak kalah memikat. Terumbu karang terjaga utuh. Warna warni. Ikan hias mudah ditemui.

Di beberapa titik, karena kebiasaan wisatawan memberi makan ikan, akhirnya jadi lebih jinak. Berpose bersama kerumuman ikan yang sedang makan jadi tambahan baru paket wisata.

 

Hampir tak ada lahan kosong di Gili Re. Pulau seluas satu hektar lebih ini dihuni 100 keluarga lebih. Nelayan di pulau ini banyak yang membudidayakan lobster. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Sunrise terbaik di Pulau Lombok

Air laut begitu tenang. Langit masih gelap. Sayup-sayur terdengar suara mesin perahu nelayantak lebih dari 5PK. Dari ufuk timur langit mulai terlihat merah. Sebentar lagi matahari akan terbit.

Muhsan, tempat menginap, meminta saya tetap duduk di beranda “rumah apung” miliknya. Dia meminta saya menyiapkan kamera. Sebentar lagi akan ada pemandangan terbaik di Lombok.

Muhsan adalah warga Gili Beleq. Pulau kecil yang masih bertetangga dengan Pulau Maringkik. Berdekatan dengan Gili Re, pulau terkecil di Teluk Jukung. Tiga pulau ini adalah pulau berpenghuni dari sembilan pulau (gili) di teluk Kecamatan Jerowaru dan Kecamatan Keruak itu.

Langit makin merah. Perahu-perahu nelayan mulai terlihat. Suara mesin meraung memecah pagi. Persis ketika sebuah perahu nelayan melintas, matahari muncul dengan sempurna. Bulat. Warna merah. Langit biru bersisian dengan langit merah. Laut berubah menjadi warna keemasan. Pemandangan serupa, di waktu berbeda juga saya nikmati saat menginap di Pulau Maringkik. Pulau tempat para nelayan pemburu hiu.

Pemandangan sunrise di dari teluk ini boleh dibilang tercantik di Pulau Lombok. Makin sempurna terlihat ketika saat bersamaan perahu nelayan hendak menepi ke Pulau Maringkik, tepat berada di bayang matahari. Dari daratan Lombok, kesempurnaan serupa juga terlihat, ketika nelayan menepi ke Gili Beleq dan Gili Re.

Dari dermaga Tanjung Luar, terlihat pulau-pulau kecil di teluk itu seperti kue tipis yang mengambang di lautan berwarna keemasan.

Keindahan ini jadi daya tarik wisatawan. Tak sedikit wisatawan, terutama lokal memilih menginap di pesisir Teluk Jukung, Pulau Maringkik, dan Gili Beleq. Kadang mereka berangkat dari Mataram pagi buta, ketika marbot masih baru memanaskan mesin loudspeaker mesjid untuk mengejar sunrise di Pulau Maringkik.

Matahari sudah sepenggalah naik, air laut makin hangat. Setelah menghabiskan sarapan dan meneguk segelas kopi pekat, saya melanjutkan perjalanan. Menelusuri titik-titik snorkeling di kawasan itu.

Ketika wisatawan tidak sebanyak saat ini, sebelum serangan coral bleaching pada 2016 yang merusak sebagian terumbu karang, hampir semua spot memiliki karang bagus. Kini spot-spot yang kali pertama saya kunjungi lima tahun silam, mulai rusak. Banyak terumbu karang patah dan mati.

 

Terumbu karang di Pulau Maringkik, masih terjaga, tetapi pada sebagian spot banyak mati. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

 

Terumbu karang yang masih bagus justru dijumpai di depan Dermaga Pulau Maringkik. Ini spot yang dikunjungi wisatawan yang menginap di Pulau Maringkik. Spot berikutnya, perairan sekitar Gili Re. Terumbu karang masih sehat, terjaga baik.

Lalu Hamdi, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB bilang, pariwisata merupakan salah satu program dukungan DKP. Program pemerintah provinsi untuk desa wisata, salah satu menyasar pesisir. Tanjung Luar, Pulau Maringkik, Desa Sekaroh, Desa Paremas merupakan desa-desa yang terkenal keindahan pantai dan titik snorkeling.

“Kita senang karena pelaku usaha ini para nelayan,’’ katanya.

Program DKP menjaga kelestarian laut juga beriringan dengan program pariwisata. Kelompok masyarakat pengawas (pokmaswas) yang selama ini fokus mengawasi perikanan ilegal, penangkapan ikan merusak juga jadi kelompok yang menjalankan usaha pariwisata. Mereka jadi pemandu wisata, maupun jadi operator angkutan bagi wisatawan.

 

 

***

Matahari mulai beralih ke barat. Langit memerah. Memantulkan warna keemasan di permukaan laut. Di sebelah barat Pulau Maringkik, tampak deretan tiang listrik. Kabel-kabel listrik dari Pulau Lombok itu membentuk seperti jemuran raksasa berdiri di atas pasir. Pasir muncul ketika laut surut. Ia mengular hingga ke Pulau Lombok. Pasir itu membelah laut sisi utara-selatan Pulau Maringkik.

Setelah azan maghrib berkumandang, anak-anak yang bermain di laut surut kembali ke rumah. Remaja dan orangtua yang mencari kerang, atau bulu babi, mengemas tangkapan mereka. Keesokan hari, isi dalam bulu babi itu dibungkus dan jadi pepes, makan lezat seharga Rp5.000.

 

Keterangan foto utama:  Kalau datang pada waktu tepat, wisatawan bisa berjalan di Pulau Pasir, masih satu gugusan dengan Pulau Maringkik. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia

Pulau Pasir, masih satu gugusan dengan Pulau Maringkik. Foto: Fathul Rakhman/Mongabay Indonesia
Exit mobile version