Mongabay.co.id

Bangun Pariwisata Danau Toba Ancam Wilayah Adat Sigapiton, Ada Kesepakatan?

Danau Toba. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Ratusan warga adat Sigapiton, berkumpul di wilayah adat mereka di Desa Sigapiton, Kecamatan Ajibata, Toba Samosir, Sumatera Utara, Kamis-Jumat (12-13/9/19). Mereka membawa berbagai spanduk menolak pengambilan paksa tanah adat oleh Badan Pengelola Otorita Danau Toba (BPODT).

Badan ini akan membangun jalan dari The Nomadic Kaldera Toba Escape menuju Batu Silali, sepanjang 1.900 meter, lebar 18 meter.

Masyarakat adat Sigapiton menilai, BPODT tak melibatkan mereka kala mau pakai lahan. Proyek ini salah satu usungan Presiden Joko Widodo untuk mempercepat pembangunan fasilitas wisata Danau Toba.

Para perempuan adat berada di barisan paling depan. Mereka menghadang eskavator yang bergerak menghancurkan pohon pinus, di lahan adat Sigapiton.

Situasi makin tegang, karena aparat penegak hukum dari TNI dan Polri mengawal proyek BPODT, mencoba membubarkan warga. Aksi saling dorong pun terjadi.

Entah bagaimana, seorang staf advokasi dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Rocky Pasaribu, mengalami penganiayaan hingga luka di bagian wajah.

Suasana makin memanas, masyarakat adat Sigapiton, mencoba menghalangi eskavator tak menghancurkan lahan pertanian mereka.

Hiras Butar-butar, pemuka adat Sigapiton Kamis (12/9/19) kepada Mongabay mengatakan, pemerintah mengambil paksa hutan adat, dengan tak mengakui wilayah mereka.

Setidaknya, ada 200 hektar lebih lahan adat mereka direbut paksa pemerintah, dengan alasan itu hutan negara.

Lahan padi dan bawang mereka, kata Hiras, rusak dengan alasan ditanam di hutan negara. Masyarakat adat dari kerajaan Bius Sigapiton ini makin tersingkirkan.

Warga bilang, tak anti pembangunan. Mereka mendukung Presiden Jokowi yang ingin mengembangkan Danau Toba. Namun, katanya, harus mengikuti aturan-aturan adat. Bukan malah tak melibatkan masyarakat adat yang sudah turun menurun di sana menjaga hutan adat

Dia biang, negara harus mengakui keberadaan masyarakat adat Sigapiton, lalu melibatkan dalam proses pembangunan fasilitas wisata yang akan dibangun di wilayah adat.

Mereka, katanya, khawatir, kalau pembangunan hotel dan fasilitas di wilayah adat Sigapiton, bisa menghancurkan lahan pertanian dan sumber mata air

“Kami dapat kabar akan dibangun hotel di bukit, di atas tanah adat kami. Jika itu terjadi, mata air yang kami jaga bisa rusak bahkan tak bisa digunakan karena jadi fasilitas private.”

Rocky Pasaribu mengatakan, pembangunan pariwisata ini gagasan Presiden Jokowi. Sepanjang dia tahu, Presiden Jokowi, tidak pernah memerintahkan mengirim aparat keamanan, apalagi sampai melakukan tindakan pemukulan

“Sangat perlu dipertanyakan secara serius, dan secara publik, apakah tindakan BPODT adalah cara “unik” lembaga ini memahami dan menginterpretasi apa yang dimaksudkan Presiden Jokowi, dalam membangun pariwisata?” katanya.

BPODT tampaknya memakai cara-cara lama dalam menjalankan proses pembangunan. Pakai cara-cara militeristik atas nama pembangunan.

Dia mempertanyakan keberadaan BPODT. Bukan saja lembaga ini belum menampakkan tanda-tanda memajukan pariwisata Danau Toba–setelah lebih dua tahun beroperasi—, malah menimbulkan ketegangan di masyarakat.

“Memantik konflik. Juga mempraktikkan kekerasan terbuka.”

Badan ini beroperasi dengan uang negara yang bersumber salah satu dari pajak masyarakat, termasuk warga Sigapiton.

Rianda Purba, Peneliti Hutan Rakyat Institute (HaRI) mengatakan, tak pantas pemerintah menggusur wilayah adat, kalaupun saat ini Desa Sigapiton jadi obyek pembangunan Danau Toba. Pemerintah, katanya, seharusnya melindungi dan menghormati hak-hak, beserta aturan atau hukum masyarakat adat Sigapiton.

Danau Toba, katanya, kaya tak hanya obyek alam, juga adat dan budaya. “Kalau wilayah adat digusur demi pembangunan pariwisata, itu sama dengan mencabut pohon hingga ke akarnya. Layaknya, perempuan yang jadi korban pelecehan,” kata Purba.

Pemerintah, katanya, jangan bilang membangun wisata Danau Toba, sebelum mengakui, dan melindungi hak-hak masyarakat adat.

Tindakan represif terhadap masyarakat adat termasuk perempuan, katanya, harus dihentikan.“Jika tidak, siap-siap, kita akan melihat slogan wisata Danau Toba, Welcome to Danau Toba, enjoy your brutal tourism.”

 

Warga adat Sigapiton, beramai-ramai aksi tolak pengambilan paksa wilayah adat oleh oleh Badan Pengelola Otorita Danau Toba (BPODT). Badan ini akan membangun jalan dari The Nomadic Kaldera Toba Escape menuju Batu Silali, sepanjang 1.900 meter, lebar 18 meter. Foto: dari screenshot video

 

Abdon Nababan, Wakil Ketua Dewan Nasional Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) kepada Mongabay mengatakan, yang terjadi di Sibisa atau Sigapiton ini pendekatan kekuasaan dalam pembangunan pariwisata di Danau Toba. “Pendekatan kekuasaan seperti ini tidak zamannya lagi,” katanya.

Dalam konsep pariwisata berkelanjutan, kata Abdon, seharusnya dengan pendekatan sosial-budaya yang partisipatoris.

“Pemerintah masih berpandangan kuno kalau menilai pengakuan hak masyarakat adat itu akan menghambat pembangunan pariwisata.”

Dia bilang, bukan tak boleh membangun di wilayah atau tanah adat tetapi masyarakat adat harus ikut menentukan arah dan model pembangunan. “Karena itu, pengakuan hak jadi keharusan sebelum pembangunan dimulai.”

Abdon menyarankan, pembangunan ini mulai dengan identifikasi, inventarisasi dan pemetaan wilayah atau tanah adat. Hasilnya, diakui dalam peraturan daerah. Setelah itu, katanya, baru mulai perancangan destinasi berdasarkan bentang alam dan budaya, di kawasan Danau Toba, dengan melibatkan masyarakat adat.

“Saran ini, tidak dipertimbangkan serius. Hasilnya? Konflik agraria muncul,” katanya, seraya bilang, pemerintah maupun pemerintah daerah membangun kawasan Danau Toba, sebagai destinasi wisata dunia harus di atas kepastian hak adat.

Menurut dia, pariwisata berkelanjutan secara bisnis, sosial dan ekologis, berkembang kalau masyarakat adat atau masyarakat lokal sebagai pemegang hak sekaligus pelaku wisata.

Kalau membangun pariwisata dengan pendekatan kekuasaan, hasilnya konflik berkepanjangan. “Akan habis energi urus konflik, bukan urus wisatawan yang datang,” katanya.

Abdon mengatakan, dalam membangun Tano Batak jadi destinasi wisata, kuncinya: jaga, rawat, kelola dan kembangkan titipan leluhur ini. Untuk itu, katanya, perlu beberapa hal, pertama, perjelas dan perkuat identitas budaya enam suku pemilik dan penghuni Tano Batak.

Setiap suku ini, katanya, harus terus menerus merawat dan mengekspresikan kekhasan masing-masing dalam pergaulan sosial lintas suku, seperti bahasa, pakaian, arsitektur, kuliner dan elemen-elemen identitas budaya lain.

Kedua, menjaga dan merawat spritualitas dan sistem pengetahuan adat. Ritual sebagai media komunikasi dengan sang pencipta alam semesta, dan para leluhur di masing-masing suku terus dirawat.

Ritual yang sudah hilang, kata Abdon, perlu digali, disesuaikan kebutuhan. Sistem pengetahuan adat digali, didokumentasikan dan praktikkan kembali kalau sempat hilang.

Dia bilang, hidupakn kembali keahlian adat sebagai basis pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya, suku seperti pemusik, penenun, pematung, peramu obat-obatan, dan lain-lain.

Ketiga, menjaga keutuhan Bonapasogit, tanah air masing-masing suku, sebagai wilayah budaya, dan sistem adat suku bekerja.

Setiap suku, katanya, gotong-royong, memetakan wilayah adat di Bonapasogit, masing-masing, berdasarkan sistem penguasaan wilayah dan pemilikan tanah. “Baik berdasarkan keluarga maupun komunal marga pada semua unit sosial yang berlaku di masing-masing suku.”

Keempat, menjaga, memperkuat dan mengembangkan pranata adat, baik berupa aturan (hukum adat) maupun kelembagaan adat, yang mampu mengatur dan mengurus masyarakat adat masing-masing sebagai unit sosial yang berdaulat, mandiri dan bermartabat.”.

Dewi Kartika, Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan, kasus Sigapiton ini pada Agustus lalu telah dilaporkan ke Kantor Staf Presiden (KSP), yang berjanji memanggil Bupati Toba Samosir. Warga juga melaporkan kasus ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sayangnya, hingga kini, belum ada tindak lanjut.

“Harusnya pemerintah mengedepankan dialog dengan warga, bukan menurunkan aparat keamanan untuk merepresi warga.”

Dia meminta, pemerintah pusat dan daerah, segera turun tangan menghentikan penggusuran ini.

 

Kesepakatan?

Pada Minggu (15/9/19) para pihak yang berkonflik adakan pertemuan di Kantor Camat Lumban Julu, Toba Samosir.

Mediasi yang berlangsung selama lima jam lebih ini menghasilkan delapan poin kesepakatan. Pertama, masyarakat adat Sigapiton menyetujui pembangunan jalan sepanjang 1.900 meter, lebar 28 meter di lahan adat. Pembukaan jalan itu, tahap pertama dari 2.791 hektar akan dipakai untuk pembangunan fasilitas pengembangan wisata Danau Toba.

Kedua, tuntutan pengembalian tanah adat yang dikuasai BPODT ditempuh melalui jalur hukum. Ketiga, BPODT menyatakan, dalam pembangunan di lahan di zona otoritas Danau Toba, tak akan merusak lingkungan, sosial maupun budaya di Desa Sigapito.

Keempat, BPODT menjamin tak merusak dan akan menjaga kelestarian sumber mata air di Desa Sigapiton. Kelima, pembangunan BPODT tak akan menggusur masyarakat Sigapiton yang tinggal di pinggir Danau Toba.

Keenam, BPODT menyepakati melibatkan dan memberdayakan masyarakat sekitar dalam pembangunan di zona otorita Danau Toba. Ketujuh, BPODT akan menyambungkan aliran listrik ke 28 rumah yang sudah berdiri di area Otorita Danau Toba. Dengan catatan, kalau gugatan perdata masyarakat ke PTUN kalah, maka listrik akan dicabut.

Kedelapan, soal makam atau situs bersejarah masyarakat adat Sigapiton di area pembangunan tahap pertama seluas 279 hektar, BPODT tak bakal mengganggu dan akan melestarikan.

Para penanda tangan kesepakatan ini, antara lain, perwakilan warga, Bupati Toba Samosir Darwin Siagian, Direjtur BPODT Arie Prasetyo, dan Kapolres Toba Samosir AKBP Agus Waluyo. Perwakilan warga Bius Paropat Desa Sigapiton: Mangatas Tigi Butarbutar, Jabangun Sirait, Manogu Manurung, Jaoinyat Nadapdap, Nagauruk Sitinjak. Informasi beredar, baru satu marga yang bertanda tangan.

Agus Waluyo mengatakan, bersama TNI akan mengurangi pasukan yang mengawal proyek fasilitas pembangunan tahap pertama di wilayah adat Sigapiton. Meskipun begitu, katanya, karena banyak alat berat, polisi tetap turun menjaga.

 

Keterangan foto utama:  Pemerintah berencana membangun Kawasan Danau Toba, jadi wisata berlevel internasional. Foto: Ayat S Karokaro/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version