Mongabay.co.id

Masnuah, Pejuang Perempuan Nelayan dari Demak

Susi Pudjiastuti, menteri KKP bersama perempuan nelayan anggota Puspita Bahari yang menerima kartu asuransi nelayan. Foto: dokumen Puspita Bahari).

 

 

 

“Saya tuh dari dulu sudah diajak ke Morodemak,” kata Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan, mengawali pidato sambutan pada kunjungan kerja di Kabupaten Demak, Jawa Tengah, akhir Juli lalu. Susi tak ke Morodemak. Dia singgah di Desa Betahwalang, mengikuti sedekah bumi dan laut, serta menyaksikan pemberian bantuan dan asuransi untuk nelayan.

Di Morodemak, ada perempuan tangguh. Namanya, Masnuah. Perempaun 45 tahun ini pendiri Puspita Bahari, sebuah organisasi perempuan nelayan yang berjuang melawan kekerasan, bias gender, sekaligus memberdayakan ekonomi nelayan.

Bermula dari iuran Rp1.000 per bulan tiap anggota, lalu mendirikan koperasi, Puspita Bahari, yang berarti kembang lautan, kini jadi gerakan perempuan nelayan yang menginspirasi.

Salah satu perjuangan yang berhasil mereka lakukan mendesak pemerintah memberikan pengakuan pekerjaan nelayan untuk 31 anggotanya. Sebelumnya, kolom pekerjaan perempuan-perempuan itu di KTP tertulis buruh, atau ibu rumah tangga. Status ini menghentikan mereka mengakses program pemerintah untuk nelayan.

Pada acara ada Menteri Susi, hanya tiga orang dari mereka mendapat undangan menyaksikan secara simbolis penyerahan kartu asuransi nelayan. Masnuah pun “curhat” kepada sahabat sekaligus mentornya, Susan Gui Herawati. Dia gusar mengapa pengurus Puspita Bahari, tidak diundang. Padahal anggotanya berjuang cukup lama mendapatkan pengakuan itu.

“Tidak ada yang boleh menghalangi keceriaan kalian. Perayaan kecil dari perlawanan untuk pengakuan perempuan nelayan harus dirayakan dengan suka cita bersama,” kata Susan, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) di ujung telepon, kepada Masnuah.

“Saya sudah tanyakan ke DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan-red), mengapa perwakilan. Padahal, kami selama ini maju bukan orang perorang, tapi organisasi. Paling tidak seharusnya ada surat pemberitahuan lewat organisasi atau lewat pengurus,” kata Masnuah.

 

Masnuah, pendiri Puspita Bahari . Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Akhirnya, 31 perempuan nelayan itu sepakat datang bersama-sama. Mulanya mereka hendak naik perahu mendatangi tempat acara. Karena ada informasi perahu harus mendapat izin masuk ke Betahwalang, mereka pun mengurungkan niat dan memilih naik kendaraan darat.

“Kami jadi tamu tak diundang. Kami mempersiapkan nasi bungkus sendiri, tidak bergantung pada konsumsi dari panitia. Ketika tiba acara makan bersama, tamu lain membuka kotak makan, anggota Puspita Bahari membuka nasi bungkus bekal dari rumah,” katanya, bercerita.

“Tapi kami percaya diri. Kami organisasi, tidak bisa dipecah-pecah. Berjuang bareng, menyaksikan keberhasilan, ya harus bareng. Saya bilang ke ibu-ibu, jangan merasa minder.”

Usai pidato Susi pun masuk ruangan khusus. Perempuan nelayan Morodemak minta kepada petugas protokoler dapat kesempatan bertemu menteri. Petugas jawab tak bisa karena acara padat.

“Sampai pengunjung kegiatan itu habis, kami tetap bertahan menunggu Bu Susi keluar. Kami tidak mau menyerah.”

Demi memastikan bisa bertemu sang menteri mereka rela berdiri seperti pagar betis di pintu keluar. Mereka pun harus menunggu hampir satu jam hingga Susi keluar ruangan. Sayangnya, kesempatan berbincang panjang lebar belum memungkinkan.

“Saya sampaikan, bu ini ada 31 perempuan nelayan ingin bertemu. Kami tidak sempat ngobrol apa-apa. Paling tidak sudah berjuang menunjukkan, ini lho perempuan nelayan yang berupaya mendapat pengakuan.”

Menurut catatan Masnuah, pemberian kartu asuransi nelayan di Betahwalang itu yang terbanyak pertama kali di Indonesia untuk perempuan nelayan. Sebelumnya, pernah ada penyerahan serupa, hanya untuk dua perempuan nelayan di Gresik.

“Itupun seperti tidak sengaja. Karena kabarnya mereka dikejar target hingga ada dua perempuan nelayan yang diikutkan mendapat asuransi.”

 

Pada perempuan nelayan di Demak sedang memilah ikan kering.. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

***

Puspita Bahari berdiri 25 Desember 2005. Kini, organisasi ini menempati sekretariat seluas 5×9 meter, di tanah kalang. Istilah untuk tanah pinggiran sungai yang sudah diklaim pemilik rumah di depannya.

“Waktu itu kami membeli dari pemiliknya. Sebenarnya, tidak bisa ada sertifikat, tetapi kami nekat karena memang perlu sekretariat.”

Sebelum ada sekretariat itu, Puspita Bahari terlunta-lunta. Kalau mau melakukan kegiatan tak boleh di sana sini. Mereka dianggap gerakan melawan hingga kami tak diterima di masyarakat.

Berjuang dalam kungkungan budaya patriarki membawa konsekuensi tak mudah bagi para perempuan nelayan. Masnuah mengisahkan, siapapun yang terlibat di Puspita Bahari, mendapat pelabelan jadi perempuan tak baik yang menentang budaya patriarki.

“Gerakan Puspita Bahari dibilang gerakan yang melawan kodrat karena mengajari perempuan berani. Berani keluar rumah, berani menentang suami yang melakukan kekerasan, berani melawan budaya yang beranggapan perempuan harus nurut, disuruh nrimo.”

Sampai sekarang, katanya, pelabelan perempuan yang tak baik itu belum hilang. “Masih ada tatapan-tatapan merendahkan. Saya masih merasakan itu.”

Sadar tak semua orang bisa paham dengan apa yang diperjuangkan, Masnuah memilih tetap melanjutkan gerakan pemberdayaan perempuan nelayan.

“Kami mengampanyekan kesetaraan, keadilan, tanpa harus melawan laki-laki. Ketika laki-laki tidak melakukan hal yang buruk kenapa harus dilawan.“

Masnuah ingin tetap berjuang di dalam gerakan perempuan nelayan. Seperti peribahasa, sekali layar terkembang, pantang kapal surut ke haluan. Apalagi, membawa Puspita Bahari sampai ke titik sekarang itu tidak mudah.

“Saya keras kalau ada anggota yang tidak sejalan atau tidak membawa nama baik Puspita Bahari. Karena saya merasakan pernah benar-benar sendiri merawat Puspita Bahari ini.”

 

Masnuah di atas perahu tradisional nelayan pesisir Demak.. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Baginya, perubahan adalah keniscayaan. Termasuk model gerakan Puspita Bahari yang bisa saja berubah mengikuti zaman tanpa meninggalkan nilai-nilai yang dia yakini. Punya showroom, outlet, dan koperasi yang mampu memenuhi kebutuhan anggota masih di angan.

“Memang tidak semudah yang diinginkan. Koperasi Puspita Bahari sering mengalami kredit macet, oleng. Kami tidak harus sempurna. Kami sadar secara sumber daya manusia ada keterbatasan. Saya juga berangkat dari pendidikan yang kurang. Kami lebih menghargai proses.”

Selama ini, Puspita Bahari sudah mendapat banyak dukungan dari swasta, pemerintah, maupun BUMN. Penyaluran berbagai bantuan sosial juga kerap melibatkan Puspita Bahari. Bantuan-bantuan sosial itu tidak hanya untuk perempuan nelayan, juga masyarakat nelayan secara umum, baik laki-laki dan anak-anak, bahkan penyandang disabilitas.

“Puspita Bahari untuk akses apapun sudah mendapat kepercayaan. Kini yang lebih kami butuhkan itu dukungan manajemen keuangan, pemasaran. Bagaimana memperkuat kapasitas anggota.”

Kebahagiaan penerima Saparinah Sadli Award 2018 ini pun membuncah manakala perempuan nelayan mendapat haknya. Dari yang tak sadar bahwa, mereka memiliki perkerjaan yang tidak diakui, punya akses perlindungan, hingga mendapatkan hak.

“Bahagia berada di antara kawan-kawan yang hebat selalu memotivasi saya. Yang bisa menerima saya apa adanya, yang tidak memandang latar belakang pendidikan saya yang hanya SD. Saya merasa dimanusiakan. “

Diam-diam, Masnuah ingin mengejar mimpi lain. Kini tengah berjuang menyelesaikan kelompok belajar (kejar) paket C, kalau tidak ada aral melintang bakal selesai tahun depan. Kalau mungkin, dia pun ingin kuliah. Sering berhadapan dengan masalah kekerasan rumah tangga, masalah sosial, dia pun ingin kuliah hukum atau psikologi.

“Jadi, sarjana mungkin umur 50 tahunan. Doakan panjang umur dan selalu sehat.”

Sampai kapan Masnuah setia mengurusi perempuan nelayan?

“Sampai napas terakhir. Saya tidak punya harta benda yang bisa diamalkan selain jiwa raga, pemikiran, meski dengan segala keterbatasan saya.”

 

Keterangan foto utama:  Susi Pudjiastuti, Menteri KKP bersama perempuan nelayan anggota Puspita Bahari yang menerima kartu asuransi nelayan. Foto: dokumen Puspita Bahari.

Exit mobile version