- Tumpahan minyak di anjungan Lepas Pantai YYA-1 area Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java atau PHE ONWJ, sudah terjadi sejak 12 Juli 2019. Ditergetkan selesai penanganannya Oktober 2019.
- Pertamina menegaskan bertanggung jawab penuh atas kebocoran tersebut. Menurut perhitungan, tumpahan minyak yang diangkut sejak 20 Juli 2019 hingga 7 Agustus 2019 mencapai 3.965,71 barel.
- Dampak kebocoran minyak, nelayan tidak dapat melaut, jika dipaksakan hasilnya rugi. Mereka sementara waktu beralih profesi, membersihkan tumpahan minyak yang per hari dibayar 100 ribu Rupiah oleh Pertamina.
- Petambak ikan, udang dan garam juga merugi dengan kebocoran minyak ini. Air yang tercemar membuat ikan dan udang mati. Sementara garam, tidak dapat diproduksi karena terkontaminasi minyak.
Baca sebelumnya: Tumpahan Minyak Pertamina, Derita Warga Menanggung Beban Pencemaran
**
Desir angin tak lagi membawa kabar baik bagi ribuan nelayan di sepanjang pesisir Karawang, Jawa Barat. Tumpahan minyak Pertamina dari Sumur YYA-1 di lepas pantai Tempuran-Karawang sejauh 18 kilometer, sejak 12 Juli 2018, telah menghilangkan harapan mereka. Minyak tak hanya mengotori air, tapi juga sudah menghitamkan pantai.
Mereka resah akan nasib yang tak berpihak, meski Pertamina menegaskan bertanggung jawab penuh atas kebocoran tersebut. Menurut perhitungan, tumpahan minyak yang diangkut sejak 20 Juli 2019 hingga 7 Agustus 2019 mencapai 3.965,71 barel.
Sebanyak 44 kapal dikerahkan menyedot minyak melalui oil skimmer. Cara lain juga dikerjakan seperti memanfaatkan oil boom statis sepanjang 4.700 meter. Juga, oil boom dinamis sepanjang 600 meter untuk mengejar tumpahan minyak. Target penyelesaian pencemaran, selesai Oktober 2019.
“Sekarang, pendapatan melaut nihil,” kata Ramli [55], nelayan Desa Sukakerta, Cimalaya Wetan, Kabupaten Karawang, Rabu [04/9/2019]. Dia mengeluh, sudah sebulan tidak turun. Jika dipaksakan tidak ada hasil, tekor.
Sebelum minyak bocor, satu kapal nelayan tradisional bisa membawa pulang ikan 5-10 kilogram. Hasilnya dibagi rata 2-3 orang setelah dipangkas bensin. Biasanya, Ramli mengantongi hasil bersih Rp200.000-Rp300.000.
Kini, Ramli beserta nelayan lain ikut serta membersihkan tumpahan minyat. Setiap hari, mereka dibayar Rp100 ribu. “Tetapi bergilir. Kadang tidak sampai satu bulan penuh,” imbuhnya.
Saat ditemui Mongabay Indonesia, Ia dan empat kawannya tengah memasang waring di lepas Pantai Tangkolak. Tujuannya, agar minyak tak masuk ke area mangrove. Terkait ekosistem pesisir, Pertamina juga berjanji mengganti serta menyelamatkan sabuk hijau pantai tersebut.
Data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kabupaten Karawang, mencatat sebanyak 232.000 pohon mangrove terpapar minyak. Angka itu bagian dari 935.000 pohon yang ditanam 5 tahun terakhir, di sepanjang pesisir utara Karawang.
Nelayan merugi
Di Dermaga Muara Ciparage, Desa Ciparagejaya, Kecamatan Tempuran, sekitar 8 kilometer dari Sukakerta, ratusan kapal nelayan ukuran 6-10 GT bersandar.
Pagi itu, tak tampak kesibukan berarti. Begitu pula di tempat pelelangan ikan [TPI] Ciparage, bisa dihitung jumlah nelayan dan pedagang.
Di mulut dermaga, Dirja [31] terlihat mengakut bensin dan perbekalan ke perahu. Dia bersiap melaut lebih dari 20 mil dengan kapal 8 GT milik Aming [45].
“Kalau beruntung kami bisa bawa pulang 70-100 kilogram,” ujarnya. Hasil tangkapan dipotong biaya perbekalan Rp1.000.000. Kemudian dibagi dua dengan pemilik kapal. Setelah itu dibagi rata dengan jumlah bidak atau ABK.
“Satu orang bisa dapat Rp400-600 ribu,” terangnya.
Dirja mengatakan, sesuai arah mata angin tumpahan minyak telah menyebar ke daerah-daerah tangkapan ikan, kawasan 2-7 mil yang sering dijelajahi nelayan.
Dirja juga sudah pernah ikut menjaring limbah. Diupah Pertamina Rp1,5 juta per perahu, untuk 4 orang. Masing-masing menerima Rp200.000 setelah dikurangi bensin dan lainnya. “Tidak tiap hari, bergilir,” jelasnya.
Namun, menjaring limbah membuat jaring ikan cepat rusak. Sehingga, Dirja dan 7 rekannya memaksakan melaut. “Meski hasil tangkapan dipastikan tidak seperti biasanya, melaut sudah kehidupan kami.”
Bagaimana nasib pedagang ikan? Carinah [58], mengatakan tumpahan minyak membuat daya beli ikan di Karawang anjlok. Belum lagi, keluhan pelanggan karena ikannya bau minyak. Ujungnya, urung membeli. “Dalam satu hari omset biasanya Rp2-3 juta. Sekarang Rp1 juta pun sulit,” terangnya.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil pernah meninjau lokasi tumpahan minyak ini, 7 Agustus 2019. Saat itu, dia meminta nelayan tidak menjual ikan yang diduga terpapar limbah minyak. Solusinya, nelayan akan mendapat ganti rugi atau kompensasi.
Setelah kunjungan itu, Bupati Karawang menerbitkan Keputusan Bupati Nomor 541/Kep.529-Huk/2019 tentang Tim Koordinasi Penanganan Dampak Tumpahan Minyak Mentah di Perairan Laut Kabupaten Karawang. Tim bakal mengakomodir sekaligus memverifikasi warga.
Berdasarkan data Dinas Perikanan dan Kelautan Karawang, pendapatan dari sektor perikanan di kawasan sepanjang 84,23 kilometer ini mencapi Rp179 miliar tahun 2018.
Tambak rusak
Rasa sesak juga menghampiri pembudidaya udang vaname, Rohimat [65], warga Desa Pabean, Cilamaya Wetan. Limbah minyak dari laut itu membuat udangnya mati. Padahal 1-2 bulan lagi memasuki masa panen. Idealnya, satu kolam ukuran 2.500 meter per segi dapat menghasilkan 7-8 ton. Untuk harga, tergantung ukuran. Satu kilogram berisi 30 ekor seharga Rp135.000.
“Kerugian untuk satu kolam mencapai puluhan juta Rupiah. Saya punya empat. Itu belum modal, pakan, dan ongkos pekerja yang sehari dibayar Rp100.000,” terangnya.
Pengalaman pahit juga dialami Sakom [41] petambak asal Desa Sukajaya, Cilamaya Kulon. Ia mencemaskan satu hektar tambaknya yang diisi 3.000 bibit ikan bandeng, setengah bulan lalu. “Saya sudah kehilangan 1.700 bibit karena keracunan,” ungkapnya.
Modal satu bibit sekitar Rp1.200. Itu, belum ongkos pakan. Tiap satu hektar bisa dipanen sekitar 7 kuintal, dengan harga per kilogram Rp9.000.
Begitu pula kerugian yang dialami petambak garam di beberapa Kecamatan seperti Cilamaya Kulon, Cilamaya Wetan, Pakisjaya, dan Tempuran. Di kolam mereka, ada gumpalan minyak cokelat pekat, beraroma tak sedap. Dampaknya, kualitas garam menurun.
Menurut Acih [49], sejak pencemaran minyak terjadi, garamnya tak laku dijual. Padahal, lahan seluas dua hektar itu telah menghasilkan 10 ton garam. Harga saat ini Rp500-700 per kilogram.
“Jualnya susah. Tak ada yang mau beli, takut ada solarnya,” keluhnya. Ia pasrah. Satu-satunya mata pencaharian itu tak lagi diandalkan. Ia mesti utang, mencukupi kebutuhan harian.
Pertamina Hulu Energi [PHE] melalui anak usahanya, PT PHE Offshore North West Java [ONWJ], melakukan pembayaran kompensasi tahap awal kepada 10.271 warga terdampak tumpahan minyak sumur YYA-1, yang telah diverifikasi. Pencairan dana dimulai dari Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Rabu [11/9/2019].
Dikutip dari Tribune News, Alif Saifudin, Direktur Pengembangan PHE, mengatakan total dana kompensasi tahap awal sebesar Rp18,54 miliar. Kompensasi disepakati sebesar Rp900 ribu per warga selama dua bulan terdampak, Juli-Agustus 2019. Besarannya berdasarkan hasil koordinasi Tim Kejaksaan Agung, BPKP, KKP, KLHK, SKK Migas, MUI Jabar, dan kepala dinas di tujuh kabupaten dan kota.
Pertamina juga telah membentuk Tim Khusus Pendataan dan Kompensasi, untuk mempercepat kompensasi. Tim terdiri perwakilan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Dinas Kelautan dan Perikanan, Pemerintah Kabupaten Karawang, Pertamina Grup, dan tim yang turun ke masyarakat.
“Hingga 15 September 2019, jumlah penerima kompensasi sudah 2.114 orang dari 2 desa yaitu Sedari dan Tambaksari,” terang Pertamina dalam keterangan tertulis.