Mongabay.co.id

Burung Migran yang Pasti Datang ke Tanjung Panjang

 

 

Di Cagar Alam Tanjung Panjang, mangrove terlihat mati, terpanggang sinar mentari. Tujuh orang tampak menelusuri kawasan itu, melewati pematang tambak bandeng dan udang, tanpa terganggu cuaca panas. Mata dan telinga mereka awas. Burung sekecil apapun yang terpantau dicatat.

Mereka adalah individu yang bernaung di bawah organisasi Perkumpulan Biodiversitas Gorontalo [Biota]. Organisasi ini anggotanya berbagai profesi, disatukan pada kepedulian keanekaragaman hayati. Hari itu, mereka menjelajah Cagar Alam Tanjung Panjang di Kabupaten Pohuwato. Tujuannya, memperkaya data jenis-jenis burung air di sana.

“Pengamatan burung atau bird watching rutin kami lakukan. Biasanya di Danau Limboto,” ungkap Debby Hariyanti Mano, Direktur Perkumpulan Biota.

Jarak Kota Gorontalo dan Kabupaten Pohuwato sekitar empat jam. Mereka tiba Sabtu siang, 14 September 2019, dan sorenya langsung pengamatan, berbekal kamera dan binokular. Berdasarkan peta, tambak garam berada di luar cagar alam dengan status area penggunaan lain.

Baca: Polemik Cagar Alam Tanjung Panjang: Tambak hingga TORA [Bagian 1]

 

Burung gagang bayam mencari makan di Cagar Alam Tanjung Panjang. Foto: Debby Hariyanti Mano

 

Sebuah plang berdiri, penanda wilayah cagar alam. Tim dibagi dua kelompok, satu dipimpin Ririn Hasan, pegawai negeri di BKSDA Seksi II Wilayah Gorontalo bersama Hanom Bashari, pegiat burung yang aktif di E-Pass [Enhancing Protected Area System in Sulawesi] for Biodiversity Conservation. Kelompok lain bersama Rosyid Azhar, fotografer alam.

Burung Black Winged Stilt atau gagang bayam belang [Himantopus himantopus] datang menyambut. Suara si kaki jangkung ini mudah dikenali, cukup berisik. Biasanya, mencari makan berkelompok, tapi ada juga yang sendiri. Tampak pula gajahan penggala [Numenius phaeopus], juga seekor burung trinil pantai [Actitis hypoleucos] yang sibuk menyantap pakan.

“Jenis apa itu?” tanya Ririn seketika, saat sepasang burung hinggap di pohon mangrove.

“Itu dederuk merah,” jawab Hanom, memastikannya dengan binokular.

Burung bernama latin Streptopelia tranquabarica itu tiga pasang. Di pohon yang sama terpantau juga perling kumbang [Aplonis panayensis] dan cekakak suci [Todiramphus sanctus] yang melintas.

“Sore ini berhasil dicatat 27 jenis. Itu sudah terhitung satu jenis yang berjumlah lima individu,” kata Ririn.

Baca: Polemik Cagar Alam Tanjung Panjang: Tambak hingga TORA [Bagian 2]

 

Gagang bayam merupakan pengunjung setia Cagar Alam Tanjung Panjang. Foto: Debby Hariyanti Mano

 

Dampak kerusakan cagar alam

Minggu pagi, 15 September 2019. Matahari belum menampakan diri, namun antusias pengamatan memaksa mereka bangun lebih awal. Segera ke lokasi.

Kali ini pengamatan dipandu Tatang Abdulah, Kepala Resort Cagar Alam Panua yang sebelumnya Kepala Resort di Cagar Alam Tanjung Panjang. Tatang memang menguasai lokasi, menyusuri pematang tambak di Dusun Bolongga, Desa Siduwonge, Kecamatan Randangan, yang berada di cagar alam.

Burung-burung yang terdeteksi masih sama kemarin. Menurut Hanom, itu bukan menandakan jumlah yang sedikit. Saat ini baru memasuki awal musim migrasi, masih banyak kemungkinan pertambahan jenis. Ia juga menambahkan, perubahan fungsi hutan menjadi tambak jelas mengurangi keragaman habitat Cagar Alam Tanjun Panjang, khususnya jenis burung yang membutuhkan mangrove, seperti pecuk dan kowak.

“Beberapa jenis lain adalah cangak merah, kuntul, dan blekok sawah,” ujar Hanom.

 

Cagar Alam Tanjung Panjang merupakan habitat burung air. Foto: Debby Hariyanti Mano

 

Terlepas status Tanjung Panjang sebagai cagar alam, yang tidak boleh ada perubahan bentang alam di dalamnya, tambak ikan bukan hal yang merugikan burung. Beberapa jenis bahkan beradaptasi baik.

“Jika dibandingkan Danau Limboto yang merupakan daerah lahan basah terbuka, jenis di Tanjung Panjang harusnya lebih beragam,” terang Hanom.

 

Sebuah gubuk menyerupai rumah panggung milik Jalam, seorang petani tambak, berada di Cagar Alam Tanjung Panjang. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Apa pentingnya burung air bagi kawasan konservasi?

Yus Rusila Noor, Head of Programme Wetlands International Indonesia, memberikan tanggapan. Menurutnya, burung air bisa menjadi indikator kesehatan suatu ekosistem lahan basah. Ekosistem yang baik akan menjadi tempat hidup yang baik beragam jenis biota, proses rantai makanan akan berlangsung.

“Semakin baik ekosistem, idealnya semakin banyak biota,” ungkapnya.

Menurut dia, ekosistem lahan basah yang rusak tidak langsung mengganggu burung, tapi mempengaruhi makanannya. Di lahan basah terdapat burung migran dan residen. Meski secara umum perlu makanan, untuk yang residen juga tempat bersarang. Burung residen butuh ekosistem lahan basah sepanjang waktu, sementara migran saat migrasi.

“Kerusakan habitat atau ekosistem bersarang bagi residen berpengaruh terhadap kelangsungan populasi. Jika ada lokasi lebih cocok dan aman, mereka pindah,” jelas Yus.

 

Papan informasi Cagar Alam Tanjung Panjang. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Masalah di Tanjung Panjang

Saat pengamatan, terdapat beberapa gubuk menyerupai rumah panggung yang ditempati petambak. Salah satunya Jamal,  bersama istri dan seorang anak laki-lakinya [4 tahun]. Dia memiliki lahan tiga hektar. “Sudah 20 ribu bibit ikan bandeng disebar, usianya 5 bulan,” katanya.

Jamal mengaku sudah 10 tahun menggarap tambak. Ia orang ketiga yang memilikinya, dibeli Rp50 juta. Jamal berasal dari Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, ikut orang tuanya ke Gorontalo. Lulus SD, dia bekerja sebagai buruh di tambak Haji Anwar, pemilik tambak terluas di Tanjung Panjang.

“Rumah, tanah, dan semua harta di Maros sudah dijual,” ceritanya.

Ia dan keluarga tidak tahu bila tambaknya berada di Cagar Alam Tanjung Panjang. Jamal memang sering berhadapan petugas dari Kantor Kehutanan.

“Sebulan lalu, ada 10 orang yang mengukur tambak saya dan mencatatnya. Kata mereka akan dibebaskan dan diberi sertifikat. Mereka dari TORA,” ungkapnya.

Kabar itu membuat Jamal senang. Dengan ada sertifikat, ia dan pemilik tambak lain bakal keluar dari polemik ini.

 

Cagar Alam Tanjung Panjang di Kabupaten Pohuwato yang telah beralih fungsi menjadi tambak ikan bandeng dan udang. Foto: Christopel Paino

 

Cagar alam Tanjung Panjang memiliki luas 3.174,10 hektar. Penunjukannya melalui keputusan Menteri Kehutanan No. 250/Kpts-II/1984 tanggal 20 Desember 1984. Disusul penataan batas kawasan 1992. Tahun 1995, kawasan ini ditetapkan menjadi Cagar Alam melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 573/Kpts-II/1995 tanggal 30 Oktober 1995 seluas 3.000 hektar.

Pada 25 Mei 2010, keluar SK Menteri Kehutanan No. 325/Menhut-II/2010 tentang penunjukan kawasan hutan Provinsi Gorontalo. Ini berbeda dengan sebelumnya, ketika Gorontalo masih bergabung dengan Provinsi Sulawesi Utara. Pada 2015, Cagar Alam Tanjung Panjang ditetapkan kembali melalui SK Menteri LHK No 9612 MENLHK-PKTL/KUH/2015 seluas 3.174.10 hektar di Kabupaten Pohuwato. Selanjutnya pada Desember 2016, pemerintah melakukan penataan blok CA Tanjung Panjang.

Sementara yang dimaksud TORA adalah Tanah Objek Reforma Agraria. Kawasan konservasi ini masuk peta indikatif TORA karena dikuasai masyarakat. Menurut Balai Pemantapan Kawasan Hutan [BPKH], prinsipnya TORA menyelesaikan permasalahan dalam kawasan hutan, tidak dibatasi fungsi kawasan apakah hutan lindung maupun konservasi.

Luasan Cagar Alam Tanjung Panjang yang masuk peta indikatif TORA adalah 2.479,85 hektar. Lahan tersebut garapan masyarakat berupa sawah serta tambak ikan, bandeng, dan udang. Berdasarkan kondisi tutupan lahan, wilayah ini telah beralih fungsi menjadi tambak seluas 2.513,66 hektar, atau 80,35 persen.

Andi Setiawan Kepala BPKH XV Wilayah Gorontalo mengatakan, tiga desa masuk cagar alam berdasarkan verifikasi lapangan, yaitu Patuhu, Siduwonge, dan Palambane. Hasilnya diserahkan ke Gubernur Gorontalo selaku ketua tim inventarisasi TORA.

Hasil rekomendasi gubernur diberikan ke Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian [Kemenko Perekonomian], lalu diteruskan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

“Skema TORA melibatkan empat kementerian: Kemenko Perekonomian, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian ATR BPN, dan Kementerian LHK. Putusan akhir di Kementerian KLHK,” jelas Andi.

Menurutnya jika masuk skema TORA, kawasan tersebut akan ditata batas oleh BPKH, dan hasilnya menjadi dasar Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengeluarkan sertifikat pemohon. “Prosesnya satu tahun sejak pertama kali sosialisasi,” jelasnya.

 

Matahari terbenam di Cagar Alam Tanjung Panjang. Foto: Christopel Paino/Mongabay Indonesia

 

Balik lagi

Saat Jamal bercerita tambaknya, sesekali burung hinggap di sisa pohon mangrove. Sementara Hanom Bashari, Tatang Abdulah, Ririn Hasan dan lainnya menelusuri pematang, mengamati sudut-sudut tambak.

Ketika matahari meninggi, mereka pulang membawa catatan. Total, 35 jenis terpantau. Ada 16 jenis burung pengunjung dan 1 jenis berstatus terancam punah, yaitu gajahan timur [Numenius madagascariensis].

“November kita balik lagi, itu puncaknya burung bermigrasi,” ungkap Debby.

 

 

Exit mobile version