- Hutan lindung gambut Londerang, Jambi, merupakan kawasan kesatuan hidrologi gambut Mendahara-Sungai Batanghari. Kini, kondisi menyedihkan. Karhutla menghanguskan pepohonan yang kembali dtanam sebagai upaya restorasi lahan gambut.
- Hutan lindung Londerang ini di kelilingi lima konsesi perkebunan sawit dan dua hutan tanaman industri serta 10 desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi.
- Data Warsi menunjukkan, kebakaran hutan dan lahan terjadi pada areal hutan tanaman industri seluas 3.499 hektar, perkebunan sawit 4.359 hektar, hak pengelolaan hutan 1.193 hektar, lahan restorasi seluas 6.579 hektar dan lahan masyarakat 2.954 hektar.
- Sejak 2017, di Jambi, BRG sudah berupaya restorasi melalui pembasahan dengan pembangunan sekat kanal maupun sumur bor. Sebanyak 297, sumur bor dibangun di Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi dan 445 sekat kanal di Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat serta Muaro Jambi.
Langkah kaki terdengar bergemerisik menginjak gambut yang mengering, dan tak lama kemudian terdengar suara berdentum kobaran api. Saya beruntung, belum sampai lima menit keluar dari lokasi gambut yang tiba-tiba mengeluarkan api besar.
Entah darimana asalnya. Lokasi ini berada hutan lindung Gambut Londerang, dengan kondisi kanal masih berair, namun angin kencang membuat gambut yang saya pijak kala mengambil foto dan video langsung berapi.
Dari pantauan satelit NASA, sepanjang 2019, terdapat 8,102 titik panas melanda Jambi sampai tanggal 8 September. Kebakaran hebat ini, kalau ditelisik dari Citra Satelit Lansat TM 8 hingga 31 Agustus 2019, telah menghanguskan 18.584 hektar, baik di tanah mineral maupun gambut. Dari luas ini, 8,168 hektar kebakaran gambut dengan 2,978 hektar atau lebih 36% merupakan gambut lebih empat meter.
Hutan lindung gambut Londerang, termasuklah yang terbakar. Pada 2015, El-Nino juga membakar kawasan ini. Kondisi serupa pada tahun ini.
Upaya penanggulangan sudah dilakukan. HLG Londerang merupakan kawasan kesatuan hidrologi gambut Mendahara-Sungai Batanghari, yang mendapat intervensi dari Badan Restorasi Gambut. Pada 2017, WWF melalui Program Rimba didukung pendanaan proyek kemakmuran hijau Millenium Challenge Account Indonesia (MCAI) untuk upaya restorasi.
WWF mengupayakan pembasahan gambut dengan membangun 70 sekat kanal, dan revegetasi dengan menanami sejumlah area terbakar dengan bibit jelutung dan tanaman hutan serta buah-buahan endemik rawa lain.
Pantauan terakhir Mongabay di lokasi itu, terlihat jelutung rawa dan tanaman lain setinggi satu meter berjejer, hangus terbakar. Kebakaran begitu rentan di areal gambut yang pernah terbakar.
Kondisi HLG Londerang saat ini sangat memprihatinkan, hampir tak ada lagi tutupan hutan tropis gambut masih tersisa. Hutan lindung ini di kelilingi lima konsesi perkebunan sawit dan dua hutan tanaman industri serta 10 desa di Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi.
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2016, terbentuklah Badan Restorasi Gambut. BRG mempunyai tugas mengkoordinasikan dan memfasilitasi restorasi gambut pada Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.
Sejak 2017, di Jambi, BRG sudah berupaya restorasi melalui pembasahan dengan pembangunan sekat kanal maupun sumur bor. Sebanyak 297, sumur bor dibangun di Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi dan 445 sekat kanal di Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat serta Muaro Jambi.
Untuk membangun satu sekat kanal perlu Rp15-17 juta. Anggaran pembuatan sumur bor per unit Rp4-6 juta tergantung kedalaman.
Upaya revegetasi juga di sekitar Taman Nasional Berbak Sembilang (TNBS) seluas 125 hektar. Ada total 42 paket penambahan pendapatan masyarakat melalui budidaya perikanan,peternakan, pertanian sebagai upaya revitalisasi.
Soesilo Indrarto, Ketua Kelompok Kerja Wilayah Sumatera BRG menegaskan, upaya pemulihan tak bisa dilihat dalam waktu tiga tahun. Suara dia sedikit meninggi ketika dikatakan banyak lokasi restorasi kerja BRG terbakar sebagai bentuk kegagalan.
“Tidak bisa dinilai begitu saja, karena kita juga melakukan analisa dari setiap kebakaran yang jadi areal kerja kita. Ini juga erat kaitan dengan areal konsesi dan perusahaan yang tidak jadi wewenang kita,” katanya.
Di Jambi, ada seluas 200. 772 hektar lahan mesti restorasi, 46.415 hektar hutan lindung, 128.472 hektar areal perusahaan dan 25. 885 hektar lahan masyarakat.
“Seperti di HLG Londerang, kita melihat ada enam kubah gambut. Kalau BRG bertanggung jawab semua kan ga bisa juga. Kita sudah tinjau ke lapangan itu sekat kanal masih berair. Ini terbakar di permukaan. Kalau tidak ada upaya pembasahan bisa lebih dahsyat lagi terbakarnya,”kata Soesilo.
Dari analisa dan pantauan BRG, ada kebocoran sekat kanal di PT Dyiera Hutani Lestari, dan Desa Rawasari, Desa Catur Rahayu, Desa Jati Mulyo dan Desa Koto Kandis Dendang. Api juga disinyalir dari lokasi itu.
“Kemunculan titik api pertama kali di tanggal 16 Agustus 2019, ya dari sana,“ katanya, sembari memperlihatkan peta analisa kebakaran di areal itu.
Kalau merujuk pada penggunaan kawasan, data Warsi menunjukkan karhutla terjadi pada areal hutan tanaman industri seluas 3.499 hektar, perkebunan sawit 4.359 hektar, hak pengelolaan hutan 1.193 hektar, lahan restorasi seluas 6.579 hektar dan lahan masyarakat 2.954 hektar.
Pada 2015, izin HTI Dyiera Hutani Lestari sudah dicabut. Perusahaan ini juga penyumbang luasan terbakar mencapai 2.062 hektar pada 2019.
Data Polda Jambi 2015, ada delapan perusahaan proses hukum karena karhutla, antara lain PT Ricky Kurniawan Kertapersada (RKK), PT. Agro Tumbuh Gembilan Abadi (Atga), PT. Tebo Alam Lestari (TAL), PT. Dyera Hutan Lestari (DHL), PT. Gemilang Jambi Permai (GJP), PT. Bara Eka Prima (BEP), PT. Mugi Triman International (MTI), dan PT. Jambi Agro Wijaya (JAW).
Dari data Warsi memperlihatkan, ada tujuh perusahaan yang mengulang kejadian terbakar pada 2019, seperti Wira Karya Sakti dan Diera Hutani Lestari, HPH PT Pesona Belantara Persada dan PT Putra Duta Indah Wood.
Lahan gambut perkebunan sawit yang terbakar milik PT. Agro Tumbuh Gemilang Abadi, PT. Kaswari Unggul, dan PT. Citra Indo Niaga.
“Kondisi ini menunjukkan pemegang konsesi di gambut tidak mampu mengelola tinggi muka air gambut. “Terkait ini Warsi menyerukan kepada pemerintah mereview kembali izin-izin yang diterbitkan di areal gambut,” kata Rudi Syaf Direktur KKI Warsi.
Benahi serius pengelolaan kambut
Dari data gambut di Jambi, kedalaman lebih empat meter dibebani hak izin konsesi 29,701 hektar, 10% mengalami kebakaran hebat tahun ini. Warsi mengimbau, penegakan hukum jelas dan adil, terhadap pelaku kelalaian yang menyebabkan kawasan kelola mengalami kebakaran.
Upaya penanggulangan, seperti pembasahan tak akan berjalan baik, katanya, selagi ada pihak yang tak bertanggung jawab.
Soesilo mengatakan, semua harus sejalan, penegakan hukum dan upaya penyelamatan gambut. Di Jambi, sejak 2015, ada 33 tersangka kasus karhutla diadili, pada 2017, berkurang jadi delapan tersangka.
Pada, 2018, ada 13 tersangka, hingga September 2019 sudah 19 tersangka ditangkap. Tersangka merupakan masyarakat yang membakar lahan kebun, maupun menerima upah dari para pengusaha untuk membuka lahan. Untuk perusahaan, belum ada satupun kena jerat kasus karhutla.
Kebakaran hutan dan lahan di Jambi menyebabkan, banyak kerugian. Data Dinas Kesehatan Kota Jambi, kasus penderita infensi saluran pernapasan akt (ISPA) terus meningkat sejak Juni mencapai 7.142 kasus, Juli (9.316) dan Agustus-10 September 2019 sudah 11.251 kasus.
Pemerintah Kota Jambi bolak-balik meliburkan belajar–mengajar. Setidaknya, dalam bulan ini sudah tiga kali anak-anak sekolah libur berdurasi 1-3 hari setiap minggu.
Kebakaran tahun ini jadi pembelajaran, bahwa tidaklah mudah memulihkan gambut yang pernah terbakar atau sudah rusak. Bambang Hero, Guru Besar IPB dalam Bidang Perlindungan Hutan mengatakan, lahan gambut yang pernah terbakar akan mengalami kemungkinan lebih besar terus terbakar.
“Karena kondisi gambut sudah kritis, ibarat luka akan makin besar jika tidak dinonaktifkan,” katanya.
Selain upaya restorasi, katanya, seharusnya revegetasi gambut secara alami.
Proses penanggulangan dengan upaya pembasahan bisa efektif dan benar kalau upaya pengawasan ketat untuk melihat apakah pembasahan sudah sesuai standar operasional. “Ada banyak persoalan, kenapa pembasahan tak berjalan baik, karena bisa saja standar tidak berlaku. Misal, sekat kanal yang berfungsi untuk membasahi bisa jadi malah mengeringkan. Supervisi perlu dilakukan,”katanya.
Bagaimana restorasi di konsesi?
Target restorasi BRG 2,7 juta hektar pada ekosistem gambut dalam waktu lima tahun, sekitar 75% berada di konsesi. Restorasi pada areal konsesi di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kondisi ini bukan perkara mudah.
Soesilo bilang, BRG memiliki wewenang penuh untuk koordinasi langsung dalam program restorasi, tetapi tidak di areal konsesi.
Dengan ada pengawasan menyeluruh, kata Bambang, guna memastikan perusahaan sudah melakukan standar penanggulangan kebakaran hutan dan lahan yang sama dengan BRG dan mitra lain.
Persoalan pembagian wewenang ini, katanya, seharusnya sudah jelas dan transparan.
“Kalau BRG terlihat transparan ya. Nah, ini yang di perusahaan yang merupakan kewenangan KLHK siapa yang bisa memastikan restorasi sudah benar? Bisakah BRG supervise di wilayah yang bukan wilayahnya tetapi masih dalam satu kesatuan hidrologi gambut,” katanya, seraya bilang.
“Supervisi ini untuk menilai upaya yang dilakukan, kalau benar diteruskan, kalau salah setop dan perbaiki.”
Kebakaran lahan gambut bukanlah persoalan mudah, perlu waktu dan dana besar untuk benar-benar serius pemulihan.
Dari analisa Bambang, setiap satu hektar lahan gambut terbakar, perlu dana pemulihan Rp350-Rp350 juta untuk pemulihan dengan catatan kawasan harus non aktif dari aktivitas manusia.
Kerugian berupa emisi karbon dari lahan gambut terbakar satu hektar dengan potensi bahan bakar 10 ton per hektar, maka menghasilkan 2, 25 ton karbon, 0.787 ton CO2,0.008 ton CH4, 0.036 ton NOx,0.01 ton NH3,0.008 ton O3,0.145 ton CO dan 0.078 ton total bahan partikel.
Kebakaran makin meluas
Kebakaran hutan dan lahan di Jambi, makin meluas. Berdasarkan data KKI Warsi, hingga 20 September 2019, diperkirakan mencapai 36.000 hektar. Sejak Jumat (20/9/19) sekolah kembali libur selama dua hari karena kualitas udara kota Jambi tidak sehat. Informasi indeks kualitas udara yang dikeluarkan BMKG fluktuatif berkisar 200 hingga 350 PM10 (µgram/m3).
Berdasarkan Prediksi prakiraan cuaca dan iklim di Jambi, awal musim hujan secara umum jatuh pada dasarian dua, Oktober 2019 (10-20 Oktober).
Adi Setiadi, Kepala BMKG stasiun Sultan Thaha Jambi menyebutkan, awal musim hujan kalau jumlah curah hujan per dasarian sama atau lebih besar 50 mm diikuti dua dasarian berikutnya. “Satu dasarian itu berkisar dari 1-10 setiap bulan dan lanjut dasarian berikutnya,” katanya.
Meskipun demikian, katanya, ada daerah-daerah awal musim hujan jatuh pada dasarian satu Oktober, seperti Kabupaten Kerinci. “Sebagian wilayah Tebo, Tanjung Jabung Barat bagian utara awal musim hujan terjadi pada dasarian tiga, September (21-30 September). Pada 24-25 September ada hujan di spot-spot Jambi bagian barat, Merangin, Kerinci, Sarolangun dan Bungo, bersifat lokal, hujan ringan 0,1-5 mm per jam,” katanya.
Curah hujan akan intens pada Oktober, November dan Desember. Untuk hujan buatan, saat ini tak memungkinkan. “Sekarang ini awan konvektif banyak tapi tipis, karena terbentuk awan konvektif pada 3.000 meter masih dominan dari arah timur-tenggara, sifatnya kering.
Ketika terbentuk awan, kena angin kering, awan akan pecah.” Belum lagi, katanya, kelembaban saat ini 50-70, untuk hujan buatan harus 70-90. “Ini kriteria tidak terpenuhi, untuk hujan buatan sangat kecil.”
Keterangan foto utama: Hutan lindung gambut Londerang, Jambi, merupakan kawasan kesatuan hidrologi gambut Mendahara-Sungai Batanghari. Kini, kondisi menyedihkan. Karhutla menghanguskan pepohonan yang kembali dtanam sebagai upaya restorasi lahan gambut. Foto: Elviza Diana/ Mongabay Indonesia