Mongabay.co.id

Wisata Andalan Desa Ini dari Menjaga Hutan Mangrove

Kondisi hutan mangrove di Pulau Kucing yang masih terjaga drngan baik. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Matahari mulai terik, kala kami datang ke Sanana, Kabupaten Kepulauan Sula, Maluku Utara, akhir Agustus lalu. Tempat wisata kelolaan pemerintah desa melalui badan usaha milik desa (BUMDes) ini menyuguhkan pesona hutan mangrove, sebagai kekayaan alam dan aset penting desa. Dari sana, Desa Fukwew, Sanana Utara, Sula, mampu meraup pemasukan desa hingga puluhan juta per bulan. Warga pun mendapatkan beragam manfaat dari hutan mangrove yang terjaga ini.

Untuk menjangkau desa ini dari Kota Sanana, tak sulit, bisa pakai mobil atau sepeda motor sekitar 30 menit, atau 20 kilometer. Saat memasuki desa, harum cengkih menusuk hidung. Warga menjemur cengkih usai panen di kanan kiri jalan. Jemuran itu berjejer sepanjang jalan desa.

Desa Fukwew, berada di tepi laut, berhadapan langsung dengan Pulau Mangole. Saat saya mengunjungi tempat wisata ini, tak begitu ramai karena bukan hari libur. “Ramai setiap Minggu, waktu libur. Banyak orang memilih berwisata ke sini. Mereka menikmati laut dan pantai dengan bukit di Pulau Kucing,” kata Ules Banapon, warga Sanana.

Tempat wisata ini selain memiliki hutan mangrove juga pulau kecil berbukit setinggi hampir 100 meter. Pulau ini memiliki topografi berbukit sekitar satu hektar. Mangrove dan berbagai tumbuhan pantai tumbuh mengelilingi dan menghiasi pulau ini.

Di bagian pantai terutama menjorok ke laut dangkal, dibangun sejumlah fasilitas, seperti jembatan mengitari hutan mangrove, gazebo, tempat jualan warga, termasuk panggung di puncak bukit untuk swafoto pengunjung.

Pulau ini bernama Pulau Kucing karena dulu sebagai tempat pembuangan kucing liar oleh warga Fukwew. Kala mengunjung pulau ini, ada beberapa kucing hidup dan datang menyambut warga. Begitu pula kala saya menyambangi pulau ini, ada beberapa kucing datang. Mereka hidup liar di antara hutan mangrove dan bambu

“Orang tua-tua kami dulu menamakan Pulau Kucing, hingga dikenal sampai hari ini,” kata Suaib Umamit, warga Fukwew.

Di bagian utara Pulau Kucing, terbentang gugusan hutan mangrove yang memanjang mengikuti pantai. Di bagian depan, ada mangrove membentuk teluk- teluk kecil nan indah. Kalau naik ke puncak bukit Pulau Kucing, bisa melihat dari ketinggian pemandangan hutan mangrove nan indah. Warna tosqua laut menambah pesona tempat ini.

“Pemandangan menarik ini hampir setiap saat selalu diabadikan  pengunjung dengan ber-swafoto ketika berada di pulau ini,” kata Junaidi Drakel, warga Sula yang datang bersama saya.

 

Kondisi hutan mangrove yang masih baik di bagian utara Desa Fukuwew Sanana Utara dan mengiatari pulau kucing. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Selain hutan mangrove menawan, pengunjung yang menyukai mancing bisa memanfaatkan kesempatan. Berbagai jenis ikan karang bermain di bawah mangrove dan jembatan tempat perlintasan pengunjung. Ikan-ikan itu bisa disaksikan dekat ke pesisir pantai yang dihiasi mangrove.

“Pulau ini memiliki kekayaan hutan mangrove juga perikanan. Ini hiburan penting.  Ada beberapa jenis ikan dulu hidup di pulau ini, seiring waktu makin banyak warga menjamah pulau ini, akhirnya mulai hilang,” kata Rasman Buamona, warga Sanana yang sering mengunjungi pulau ini.

Desa dengan mayoritas warga petani cengkih, kakao dan kopra serta sebagian nelayan ini, tak hanya memanfaatkan perkebunan dan perikanan. Hutan mangrove pun punya nilai ekonomi bagi mereka.

Hampir tiga tahun ini, Desa Fukwew, jadi destinasi wisata penting di Kepulauan Sula. Potensi wisata hutan mangrove telah dikelola pemerintah desa melalui Badan Usaha Milik Desa (BumDes)

Desa mulai mendapatkan pemasukan. Warga juga memperoleh pendapatan tambahan dari mengantar tamu atau pengunjung dari Kota Sanana.   Begitu juga pengelola warung makan di Pulau Kucing.

“Kami yang pertama mengembangkan wisata   hutan mangrove ini. Full dana desa, tak ada anggaran pemerintah kabupaten,” kata Basyir.   Hasilnya,   lumayan, bisa memberi pemasukan bagi desa.

Dia bilang, dalam sehari pernah pemasukan sampai Rp 7 juta, dan sebulan Rp30 juta buat desa. “Tempat wisata Pulau Kucing ini dibuka karcis masuk Rp10.000 per orang. Meski terasa agak mahal tetapi setiap hari libur orang berbondong-bondong datang.”

Meskipun begitu, desa ini belum tahu luasan pasti hutan mangrove ini. “Kita belum mengukur. Yang jelas, hutan mangrove cukup rimbun,” kata Sekretaris Desa Fukwew, Abdul Basyir Umamit.

 

Pemandangan yang sangat menawan dari puncak bukit Pulau Kucing. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

Dia bilang, dulu warga desa selalu mengambil kayu bakar dari hutan mangrove. Saat ini, perilaku warga sudah berubah karena sudah paham fungsi dan manfaat mangrove. Apalagi, katanya, instansi terkait selalu memberikan pemahaman dan pengetahuan melalui sosialisasi, bahwa mangrove tak hanya memiliki manfaat bagi manusia juga tempat ikan serta menahan bencana tsunami maupun menjaga dari abrasi.

Sejak jadi tempat wisata ini, sudah ada larangan menebang hutan mangrove sembarangan. Bahkan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Sula sudah sosialisasi berulang- ulang agar menjaga dan lestarikan hutan mangrove.

“Warga tak berani lagi usik soki (mangrove-red) . Sejak ada sosialisasi fungsi dan manfaat hutan mangrove dari Dinas Kelautan dan Perikanan, warga mulai paham.”

Nelayan Fukwew, Suaib Gailea, bilang, warga tak lagi mengambil mangrove untuk kayu bakar atau keperluan rumah tangga karena sudah ada peringatan pemerintah. “Pokoknya dorang bilang, (pemerintah menyampaikan), jika ada yang tebang mangrove berarti akan dipenjara. Warga takut menebang mangrove,” katanya.

Dulu, warga memanfaatkan soki untuk bahan kayu bakar dan bahan bikin rumah. Sekarang, katanya, warga tak ambil mangrove lagi.

Suaib mengatakan, setiap mengantarkan wisatawan ke Pulau Kucing dengan perahu bermesin 25 PK, dengan biaya Rp10.000 per orang. Ia berjarak sekitar 500 meter dari Desa Fukuwew.

Pemilik perahu (boat) mengangkut pengunjung ke Pulau Kucing, hasilnya buat mereka sendiri. “Perahu   milik pribadi itu jika mendapatkan uang, tak dibagi lagi ke desa. Jika pendapatan   banyak, sampai ratusan ribu, biasan pemilik boat beri sedikit   untuk desa. Kadang Rp5.000, kadang lebih,” kata Basyir

Awalnya, armada yang mengantar pengunjung ke Pulau Kucing ada 13 perahu. Seiring muncul tempat wisata mangrove di Sanana, perahu yang bertahan tersisa tiga. “Pendapatan kami jauh menurun karena tempat wisata seperti ini sudah banyak dikembangkan tetangga desa.

“Kalau hari libur bisa Rp100.000, kadang   tak sampai. Bahkan, Rp 50.000 untuk bahan bakar,” kata Suaib.

Dia tidak menggantungkan pendapatan sepenuhnya pada usaha ini karena bisa ke kebun memanen cengkih dan kelapa maupun mengail ikan. Melayani pengunjung ini sambilan saja,. Kalau banyak pengunjung, katanya, mereka akan memakai perahu warga. Begitu juga warga yang berjualan makanan, mereka akan datang ke Pulau Kucing pada hari libur.

Meski demikian,  kata Suaib, tempat wisata dengan hutan mangrove- ini sangat membantu memberi pendapatan   desa maupun masyarakat.

 

Keterangan foto utama:    Kondisi hutan mangrove di Pulau Kucing yang masih terjaga drngan baik. Foto: Mahmud Ichi/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Exit mobile version