Mongabay.co.id

Indonesia Tekankan Tiga Isu Kelautan pada Sidang Umum PBB

 

Pada hari pertama Pertemuan Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau UN High Level Meeting dalam rangkaian acara Sidang Umum ke-74 PBB di New York, Amerika Serikat, pada Senin (23/9/2019), Indonesia menyatakan tiga isu strategis kelautan global.

Wakil Presiden Jusuf Kalla yang memimpin delegasi Indoensia didampingi Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan lautan merupakan masa depan dunia, sehingga mengajak semua negara untuk melindungi lautan dunia yang lebih sehat dan lebih produktif meski menghadapi segudang tantangan.

“Kita harus menjaga keseimbangan antara mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan melindungi laut dan sumber dayanya. Ini adalah dua sisi dari koin yang sama yang tidak dapat dipisahkan,” kata Wapres dalam sesi High Level Panel on Building A Sustainable Ocean Economy (HLP Ocean) dalam rangkaian Sidang Umum PBB itu.

Wapres menyatakan Indonesia telah berkontribusi dalam agenda agenda kelautan global dan regional yaitu memerangi llegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing sebagai bagian dari komitmen pemimpin negara G20 tahun 2019. Dan mendukung penuh inisiatif aksi penanganan iklim yang diluncurkan di acara itu untuk mendukung Konferensi Tingkat Tinggi Aksi Iklim dalam rangkaian Sidang Umum PBB.

“Ini adalah upaya penting dalam menggarisbawahi yang hubungan antara laut dan perubahan iklim,” lanjut Wapres.

baca : Laut adalah Korban sekaligus Jawaban Perubahan Iklim

 

Wapres Jusuf Kalla pada sesi High Level Panel on Building A Sustainable Ocean Economy dalam rangkaian Sidang Umum PBB ke-74 PBB di New York, Amerika, Senin (23/9/2019). Foto : Setwapres/Mongabay Indonesia

 

Ke depan, Indonesia ingin menggarisbawahi tiga prioritas dalam HLP Ocean, yaitu mendukung upaya global untuk mengatasi sampah plastik lautan. Indonesia sendiri mengklaim telah telah mencapai target 20% pada 2019 dari 75% pengurangan marine debris di lautan Indonesia pada tahun 2025.

“Kedua, memastikan perikanan berkelanjutan. Komitmen untuk memerangi IUU Fishing dan Kejahatan Terorganisir Transnasional dalam Perikanan harus ditegaskan kembali. Dan keharusan kerjasama lintas batas yang kuat diantara negara ASEAN dan negara Pasifik,” kata JK.

Ketiga, untuk mengarusutamakan isu lautan ke dalam negosiasi perubahan iklim, termasuk dalam UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim).

Indonesia juga menggarisbawahi pentingnya pengelolaan hutan bakau dan lahan gambut yang berkelanjutan karena penting sebagai penyerap karbon, mendukung mitigasi, dan adaptasi, serta sarana untuk mendukung mata pencaharian masyarakat pesisir.

baca juga : Begini Seruan Indonesia Atasi Dampak Perubahan Iklim untuk Negara Kepulauan di Dunia

 

Sebuah kapal nelayan berjuang untuk berlabuh di perairan Cilacap, Jawa Tengah, pada Selasa (28/11/2017). Akibat siklon tropis Cempaka, maka nelayan hanya berani melaut tidak jauh dari pantai. Foto : L Darmawan/Mongabay Indonesia

 

Kolaborasi HLP Ocean

HLP Ocean merupakan inisiatif 14 kepala negara dan kepala pemerintahan termasuk Indonesia yang mengakui bahwa eksploitasi ekonomi dan perlindungan lautan harus saling mendukung dan berkomitmen untuk menghasilkan solusi dan kebijakan pragmatis demi kesehatan dan kekayaan samudra yang mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs)

HLP Ocean terdiri dari presiden atau perdana menteri Australia, Kanada, Chili, Fiji, Ghana, Indonesia, Jamaika, Jepang, Kenya, Meksiko, Namibia, Norwegia, Palau dan Portugal, dan didukung oleh kelompok ahli, jaringan penasihat dan sekretariat yang membantu pekerjaan analitis, komunikasi, dan pelibatan pemangku kepentingan, dengan sekretariat berada pada kantor World Resources Institute (WRI).

HLP Ocean terdiri dari negara-negara, pakar kelautan dan pemangku kepentingan dari seluruh dunia, yang bertujuan untuk mengembangkan peta jalan untuk transisi cepat menuju ekonomi laut berkelanjutan, dengan saling memperkuat dan mempercepat tindakan responsif di seluruh dunia.

HLP telah membuat sebuah laporan berjudul ‘Samudera sebagai Solusi untuk Perubahan Iklim: Lima Peluang untuk Bertindak’ (Hoegh-Guldberg. O., dkk. 2019, WRI, Washington) yang berisi rekomendasi praktis ilmiah untuk aksi lintas isu-isu sentral demi pencapaian ekonomi laut yang berkelanjutan.

Dalam laporan itu disebutkan opsi mitigasi berbasis lautan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca global (GHG) hingga hampir 4 miliar ton setara karbon dioksida (CO2e) per tahun pada tahun 2030 dan lebih dari 11 miliar ton per tahun pada tahun 2050 secara relatif terhadap proyeksi emisi business as usual (BAU). Pengurangan sebesar itu lebih besar dari emisi dari semua pembangkit listrik tenaga batu bara saat ini di seluruh dunia dan lebih dari total emisi China pada tahun 2014.

perlu dibaca : Perubahan Iklim Nyata Dirasakan Nelayan dan Masyarakat Pesisir

 

Grafis pilihan mitigasi perubahan iklim berbasis lautan dan potensi mitigasi Tahunan Terkait pada tahun 2050. Sumber : Laporan HLP Sustainable Ocean Economy, WRI, 2019

 

Opsi mitigasi berbasis lautan dapat mengurangi ‘celah emisi’ yaitu perbedaan antara emisi yang diharapkan jika tren dan kebijakan saat ini berlanjut dan emisi konsisten dengan membatasi kenaikan suhu global, hingga 21 persen pada jalur prediksi kenaikan suhu 1,5° celcius, dan sekitar 25 persen pada jalur kenaikan suhu 2,0° celcius pada tahun 2050.

Laporan ini mempertimbangkan lima bidang aksi iklim berbasis laut untuk mengurangi emisi GRK, yaitu energi terbarukan berbasis samudra; transportasi berbasis laut; ekosistem pesisir dan laut; sistem makanan berbasis laut (perikanan tangkap liar, akuakultur, dan mengubah pola makan manusia menuju makanan dari laut); dan penyimpanan karbon di dasar laut.

 

Exit mobile version