Mongabay.co.id

Abrasi Ancam Pulau Ambo, Bagaimana Keseriusan Pemerintah?

 

Tengah malam, 23 Desember 2018. Gelombang Selat Makassar berkecamuk. Warga tepi barat Pulau Ambo jadi gelisah. Suara gemuruh ombak dan angin menambah kesan mencekam. Warga yang didera kantuk memilih berjaga.

Senin, 24 Desember 2018 dini hari, situasi kian kalut. Lidah ombak mulai sentuh pemukiman warga dan bangunan masjid yang letaknya tak jauh dari bibir pantai. Semula, tak ada apa-apa yang terjadi.

Namun, belum juga pagi, suara ambruk bangunan bunyi. Rupanya, bagian belakang bangunan Masjid rubuh. Porak poranda terhantam ombak. Selain itu, sembilan rumah milik warga ikut rusak. Warga lainnya mengungsikan diri.

“Saya kira tsunami,” kata seorang warga yang akrab disapa Mama Qila, saat ditemui Mongabay Indonesia di Pulau Ambo, kecamatan Balabalakang, kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, Jumat (19/7/2019).

Letak rumahnya berada depan Masjid naas itu. Meski rumahnya baik-baik saja, air rob setinggi betis dewasa merendam rumah dan warung miliknya. Kejadian tersebut, direkam oleh warga, lalu dipublikasikan sebuah media lokal.

Hingga hari ini, bangunan masjid itu tetap ada. Kaligrafi dan warna tembok masih jelas. Puing bekas struktur atap dan dinding tergeletak di sekitarnya. Sejak itu, warga membangun ulang masjid di wilayah timur pulau.

baca : Abrasi Pesisir Terjadi, Apakah Mengancam Kedaulatan Negara?

 

Kondisi Masjid di Pulau Ambo, Mamuju, Sulawei Barat yang rusak karena abrasi ombak lautan selat Makassar. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Letak gugusan pulau Balabalakang berada di Selatan Selat Makassar. Di hari naas itu, Stasiun Meteorologi Maritim Paotere memprakirakan, gelombang laut bisa capai tinggi 1,25 meter.

Putusnya akses informasi kebencanaan ke Pulau Ambo, membuat warga tak punya kesiapan lebih dulu. Andai saja, akses internet sampai ke pulau itu. Peringatan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) secara daring, berguna membuat warga lebih tanggap.

“Waktu itu gempa tsunami Palu saja, baru diketahui saat kita lihat di TV. Sore itu kita memang merasakan gempa itu,” kata Wandi (18) salah seorang pemuda di Pulau Ambo.

Pulau Ambo seluas 10,6 hektare, tak seluas Pulau Karampuang, dan jarang dikenal wisatawan bila berkunjung di Kota Mamuju. Butuh waktu sedikitnya 8 jam untuk sampai ke pulau berpasir putih ini.

Namun, dengan pindahnya Ibukota Indonesia ke Kalimantan Timur. Pulau Ambo diprediksi akan terkena pengaruh ekonomi sektor wisata atau malah sebaliknya.

Di gugus kepulauan Balabalakang, hanya Pulau Ambo yang letaknya terluar, juga dekat dengan Mamuju. Anda, mungkin kesulitan untuk melihat pulau ini via Google Earth. Kordinat pulau ini berada di 2°32’21.25″ lintang selatan dan 117°56’36.94″ bujur timur.

baca juga : Mencari Solusi Selamatkan Pulau Bengkalis dari Abrasi

 

Citra satelit Pulau Ambo, Mamuju, Sulawesi Barat. Sumber : Satu Peta KKP/ESRI/Mongabay Indonesia

 

Selama di Pulau Ambo, Mongabay Indonesia tinggal di rumah Rustam (60 tahun). Rumahnya tepat menghadap arah barat. Pemandangan alam dari terasnya sangat indah, bila pagi dan jelang petang. Namun, suasana berbalik 180 derajat ketika dini hari.

Pulau Ambo hanya terang sejak pukul 19.00 sampai 22.00 WITA oleh listrik tenaga surya. Selepasnya bakal gelap gulita hingga pagi. Saat dini hari, saya dengar dengan jelas suara riuh angin dan gemuruh ombak. Terasa dekat dan terkesan berbahaya.

Rustam cerita, kalau dulunya rumah miliknya ia bangun di tengah pulau. Kala itu, puluhan meter depan rumahnya, masih berderet belasan rumah panggung bertanah lapang, yang digunakan warga beraktivitas seperti hajatan pengantin atau olahraga.

Puluhan tahun lampau, bekas penangkap hiu tersebut melihat pulaunya kian terkikis. Rentetan rumah didepannya silih berganti rubuh seiring permukaan laut yang terus naik dan menjadi lahan tak layak huni. Bila waktu surut tiba, bekas pondasi tampak jelas berangkal, bercampur pasir putih dan karang mati.

Kini, rumah yang ditempati Rustam bersama isteri dan lima anaknya sudah berada di pinggir pulau. “Yang baru-baru ini, ada tiga rumah kena abrasi,” kata Rustam sambil menunjuk bekas pondasi rumah yang dimaksud.

Rumah penduduk pulau Ambo kebanyakan tak punya pekarangan. Halaman rumah mereka adalah jalan berpasir penghubung antar dusun. Rustam bilang, jalan depan rumahnya nanti bisa saja akan jadi bibir pantai baru.

Saat ini, lima rumah sedikitnya yang tersisa dan berderet sepanjang pesisir barat Pulau Ambo. Tiga rumah yang lebih dulu terdampak, didirikan ulang oleh pemiliknya ke wilayah utara. Tahun ini, tiga rumah berencana pindah, salah satunya milik Darsuddin (36), seorang nelayan penangkap hiu.

menarik dibaca : Kisah Para Pemburu Hiu Pulau Ambo [1]

 

Kondisi Masjid di Pulau Ambo, Mamuju, Sulawei Barat yang rusak karena abrasi ombak lautan selat Makassar. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Pemecah Ombak Sementara

Melihat kondisi yang mulai mengkhawatirkan, terlebih bila saat musim barat. Warga pun berinisiatif. Modal balok bekas jembatan rusak dan batu karang besar, disulap jadi pemecah ombak. Tampak sederhana, tapi berguna.

Sepanjang pesisir pantai barat, warga menancapkannya berderet. Dipisah dengan jarak 6 meter, mirip benteng. Di kawasan itu, belasan pemecah ombak setidaknya punya tugas berat, buat halau ombak ganas dan tetap kuat berdiri.

Agar tetap berdiri dan tak ikut hanyut lalu menjadi debris lautan, benteng itu dilengkapi tumpukan batu karang besar sebagai pemberat. “Biar tidak hanyut kalau ada ombak,” kata Dirman, Kepala Dusun Ambo Selatan, Sabtu (20/7/2019).

Awalnya benteng itu berhasil menahan abrasi meski warga masih cemas. Tak disangka, benteng yang ada sekitar tahun 2013 itu sebagiannya patah.

“Benteng itu tidak tahan terkena ombak, karena harusnya memang dicor,” kata Dirman.

Bupati kabupaten Mamuju, Habsi Wahid juga mengakui, bila pemecah sederhana itu belum mampu menahan abrasi dengan kuat dan tidak maksimal.

“(Benteng) yang paling bagus bertahan lama yang terbuat dari batu gajah. Makanya kita sudah usulkan pengadaan dari (anggaran) Pemerintah Pusat,” kata Habsi saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (23/9/2019).

baca juga : Kisah Para Pemburu Hiu Pulau Ambo : Antara Produksi dan Konservasi [2]

 

Kondisi pesisir sebelah barat Pulau Ambo, dengan puing-puing bangunan rumah yang roboh terkena abrasi. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

Rusaknya ‘Pemecah Ombak Alami’

2015 lalu, Tim Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan (FIKP) Universitas Hasanuddin (Unhas), meneliti ekosistem laut di gugus kepulauan Balabalakang. Di Pulau Ambo, mereka mengamati bencana abrasi.

Ahmad Bahar, dosen FIKP Unhas melihat abrasi tepi barat di Pulau Ambo, selain disebabkan gelombang, juga karena rusaknya pemecah ombak alami, ­yaitu terumbu karang.

“Mereka (warga Ambo) akui terumbu karangnya sudah banyak rusak. Jadi gampang sekali tergerus,” katanya saat ditemui di Unhas, akhir bulan Juli.

Terumbu karang merupakan struktur besar bawah air. Spesies karang yang membangun terumbu karang dikenal; hard coral (HC) atau karang keras. Terumbu karang ini berguna meredam arus dan gelombang laut.

Hasil survei tim FIKP Unhas, menunjukkan, persentase tutupan karang keras (hard coral) hanya 10% dan soft coral hanya 15%.

Ahmad bilang, rusaknya terumbu karang diduga akibat terkena ledakan bom, praktik destructive fishing.

“Cepat sekali (abrasinya). Wah bahaya sekali,” responsnya saat ditunjukkan foto Masjid yang rusak terkena abrasi.

Variabel abrasi kata Ahmad, bisa disebakan karena kerusakan terumbu karang, atau efek dari pemanasan global: naiknya permukaan laut akibat lelehan gunung es. Dari perkiraanya setiap dua tahun, ombak mengikis bibir pantai sekitar 1 hingga 2 meter.

“Jadi isu bahwa Pulau Ambo akan tenggelam itu bisa benar,” kata Ahmad. “Apalagi tinggi pulau itu hanya sekitar 74 cm dari permukaan laut.”

baca juga : Kisah Nelayan Pulau Ambo yang Insyaf Ngebom Ikan

 

Kondisi pesisir timur Pulau Ambo, kecamatan Balabalakang, kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat, pada Juli 2019. Pulau Ambo terancam abrasi ombak lautan selat Makassar. Foto : Agus Mawan/Mongabay Indonesia

 

“Tinggal tunggu eksekusi”

Sugianto merupakan warga Balabalakang pertama yang terpilih sebagai anggota DPRD Kabupaten Mamuju. Ditemui selepas Rapat Paripurna pengesahan perubahan ABPD Mamuju tahun 2019 di sekretariat DPRD Mamuju, Sugianto mengklaim sudah ada rencana pembangunan pemecah ombak permanen di Pulau Ambo dalam program prioritas tahun 2020.

“Tinggal tunggu eksekusi dari pemerintah. Karena pasti butuh biaya yang sangat besar,” kata legislator fraksi Gerindra itu.

Bupati Mamuju Habsi Wahid mengklaim telah mengusulkan anggaran sebesar Rp20 miliar ke Pemerintah Pusat untuk membangun pemecah ombak untuk tiga pulau di Balabalakang: Pulau Ambo, Salissingan, dan Popongan. Tiga dari sepuluh pulau berpenghuni.

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Sulbar No.1/2014, kepulauan Balabalakang masuk sebagai Kawasan Rawan Bencana Alam (KRBA) oleh tsunami, abrasi, dan penenggelaman akibat alluvial dan kenaikan permukaan laut.

“Jadi kalau kita bilang penyelamatan pulau, ya harus semua pulau di Balabalakang. Tidak hanya Ambo saja,” kata Habsi. “Sehingga untuk mengamankan secara keseluruhan, sesungguhnya di pulau itu harus menggunakan anggaran yang besar.”

Namun, tampaknya kondisi alam tak berkompromi dengan keputusan politik. Pulau Ambo dan pulau kecil lainnya terancam penenggalaman selain abrasi.

University of Hawaii Sea Level Center mencatat, kenaikan permukaan air laut di dunia per Januari 2018 setinggi 3,9 cm atau meningkat 1,7 kali lipat dibandingkan tahun 1970. Kenaikan tertinggi selama hampir lima dekade terakhir yakni pada Juli 2017 setinggi 4,45 cm.

Di tengah ancaman ini, Habsi mengaku telah mengupayakan mitigasi bencana semaksimal mungkin dan dengan sumber yang ada. Dana Rp20 miliar, tentu bagi pemerintah kabupaten katanya takkan sanggup disediakan.

Ya.. mudah-mudahan ada respons dari pemerintah pusat,” harapnya.

 

Exit mobile version