Mongabay.co.id

Abrasi Hantam Pesisir Skouw, Bagaimana Warga Menghadapinya?

Kubus Beton yang dipakai untuk menahan pantai hantaman dari hantaman Gelombang di Skouw Mabo. Foto: Asrida elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

 

Angin Timur, sedang bertiup saat saya mengunjugi Pantai Skouw, pada minggu pertama September 2019. Pantai di pesisir utara Kota Jayapura dengan panjang mencapai 10 km ini langsung menghadap ke Samudra Pasifik. Ada tiga kampung terletak tepat di garis pantai ini, yaitu, Skouw Yambe, Skouw Mabo, dan Skouw Sae. Tiga kampung ini masuk Distrik Muara Tami, Kota Jayapura, Papua.

Alfons Pattipeme, warga Skouw Yambe menemani saya menyusuri pantai di kampung ini. Tahun 1970-an, semasa Alfons kecil, pantai ini adalah hutan kelapa. Abrasi menggerus, hutan kelapa lenyap. Yang tersisa, pantai yang terus terancam abrasi.

“Saya perkirakan sekitar 100 meter, 100 meter hilang. Saya ingat, kita main di pinggir-pinggir sana itu. Pantai ada di laut sana,” katanya.

Di sini, warga mengenal dua musim. Musim timur dan musim barat. Musim timur, saat laut teduh, sedangkan musim barat saat gelombang tinggi.

Menurut Alfons, musim timur biasa berlangsung pada April hingga September atau Oktober, sedang musim barat pada September hingga April.

Saat musim barat datang, gelombang tinggi mengakibatkan pantai rusak, rumah-rumah hancur dan aktivitas di pantai terhenti. Guna mencegah kerusakan, tanggul beton sepanjang 500 meter dibangun.

Di Skouw Mabo, Yomima Kemo menunjukkan saya bekas rumah masa kecilnya di pantai.

“Di sini rumah, dapur di sini. Ini sumur, tapi sudah ditutup. Kita tinggal di sini dan begitu ombak naik, kita langsung pindah,” katanya.

Kala itu, akhir 1980-an, Yomima berusia 12 tahun. Banyak warga memilih pindah dari pantai.

Abrasi terus terjadi hingga bertahun-tahun kemudian. Kuburan yang terletak di hutan pinggir pantai tak luput terkena abrasi. Yomina mengenang, tulang belulang dan peti-peti berserakan di pantai.

Berbeda dengan Skouw Yambe, masih membangun rumah sepanjang pesisir, di Skouw Mabo, warga memilih membentuk perkampungan baru di wilayah lebih jauh ke arah darat.

Di pantai, tampak tumpukan kubus beton yang dipasang untuk menahan abrasi. Kubus-kubus beton tergeletak tidak beraturan karena terus dihantam gelombang.

“Ketika datang musim gelombang, kubus-kubus ini tidak bisa menahan gelombang. Gelombang yang besar tetap tembus dan naik sampai di darat.”

 

Rumah di Pesisir Skouw Mambo yang pernah dihantam angin puting beliung. Foto: Asrida elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

Menurut Yomima, kubus beton yang kini tampak di pantai adalah lapisan ke lima. Lapisan-lapisan sebelumnya tenggelam tertimbun pasir.

Di kampung ketiga, Skouw Sae, saya bertemu Darius Lomo, Kepala Suku Lomo. Kampung Skouw Sae, sudah lima kali relokasi.

“Ini kampung kelima. Sebelumnya di laut, yang ombak ada patah-patah itu,” katanya, menunjuk ke laut.

Di Skouw Sae, warga menolak membangun tanggul penahan abrasi.

Eduard Muttang, Kepala Kampung Skouw Sae menyampaikan alasan. Dia bilang, sistem penahan ombak dari beton sangat menantang alam dan lebih banyak dampak negatif daripada positif. Apalagi, katanya, ini pantai wisata dan tempat mendarat penyu.

“Kalau memang pemerintah mau bangun penahan ombak, itu coba survei lebih awal untuk melihat bangunan yang cocok bagaimana.”

Pada 30 Oktober 2003, pimpinan adat dan gereja di Skouw Sae, upacara adat di pantai. Upacara ini untuk membangun kembali hubungan baik dengan laut. Kala itu, bersamaan dengan gempa dan tsunami di Jepang, air pasang hingga merusak rumah-rumah warga termasuk rumah adat.

Dalam upacara adat itu, sejumlah harta adat berupa manik-manik dipersembahkan ke laut. Satu tanaman kelapa sebagai penanda. Tiap tahun, kini warga Skuw Sae memperingati Hari Abrasi, sambil mengukur sejauh mana pantai mereka bertambah atau berkurang.

Warga meyakini, upacara adat yang sudah dibuat dan upaya penanaman pohon masih bisa melindungi wilayah mereka dari abrasi.

Dari data Kajian Kerentanan Wilayah Pesisir Ditinjau dari Geomorfologi dan Elevasi Pesisir Kota dan Kabupaten Jayapura, Papua tahun 2017 menunjukkan, selain pantai Skouw di Muara Tami, wilayah lain juga rentan dengan ancamaan kenaikan permukaan air laut di Kota Jayapura ada di Distrik Abepura, Distrik Jayapura Selatan.

Aiesh Rumbekwan, Direktur Walhi Papua mengatakan, penting memahami fenomena abrasi di Skouw dalam konteks perubahan iklim global. Suhu udara meningkat dan es di kutub mencair yang berakibat pada kenaikan permukaan air laut.

Pemahaman seperti ini, katanya, penting hingga upaya adaptasi dan mitigasi juga tepat. Wilayah pesisir dan daerah rawan bencana lain, katanya, harus ditata hingga siap menghadapi perubahan.

“Bukan hanya di Skouw, abrasi ini terjadi hampir di seluruh pesisir tanah Papua. Di Nabire itu perubahan (bergeser) hampir tiga meter tiap tahun. Warga beradaptasi dengan relokasi,” katanya.

Alih fungsi hutan dan gambut di Papua, juga berpotensi memicu perubahan iklim.

Data Sawit Watch berdasarkan perhitungan 2011 memperlihatkan, deforestasi di Papua, berkisar 143.680 hektar dan Papua Barat 293.000 hektar pertahun.

Menekan lajut deforestasi, katanya, merupakan hal penting sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. Upaya itu, kata Aiesh, harus masuk dalam kebijakan pembangunan Papua kini. Ekspansi industri ekstraktif ke Papua, harus setop karena punya dampak pada pemanasan global.

Hingga kini, belum ada penelitian khusus dan menyeluruh mengenai penyebab dan dampak perubahan iklim di Papua.

Ezri Ronsumbrem, Kepala Sub bidang Pelayanan Jasa Balai Besar Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BBMKG) Wilayah V–Jayapura mengatakan, ada dua indikator perubahan iklim, yaitu suhu udara dan curah hujan. Sejauh ini, perubahan suhu udara di Papua, masih batas normal.

Curah hujan ekstrim mengakibatkan banjir bandang di Sentani pada Maret 2019, katanya, kejadian yang harus diwaspadai.

“Kalau berdasarkan historikal data, hujan yang menyebabkan banjir bandang itu pertama kali dalam sekian puluh tahun ke belakang. Ini baru pertama kali hujan sangat-sangat ekstrim,”katanya.

Saat banjir bandang Sentani, intesitas hujan mencapai 240 mm perhari, bak akumulasi hujan bulanan yang turun dalam waktu sekitar tiga sampai empat jam.

Dia bilang, stasius pemantauan BMKG terbatas di Papua, membuat sulit mengamati curah hujan ekstrim di wilayah lain di Papua.

 

Tanggul Beton di Skouw Mabo untuk menahan gelombang. Foto: Asrida Elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Pertahankan luasan tutupan hutan

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) 2013 menyebutkan, luas wilayah Papua sekitar 32 juta hektar, sebanyak 30 juta hektar berupa hutan, sekitar 3 juta hektar merupakan lahan gambut.

Luas Papua Barat, sekitar 10 juta hektar, dengan lahan gambut sekitar 1 juta hektar. Baik Pemerintah Papua dan Papua Barat, sudah memiliki komitmen mempertahankan tutupan hutan. Ada kebijakan provinsi konservasi di Papua Barat dan visi 2.100 di Papua yang mempertahan 90% tutupan hutan.

Meski bagus di tingkat perencanaan, ada tantangan pada implementasi. Hal ini, terkait izin-izin yang sudah keluar baik di kawasan hutan maupun area penggunaan lain.

“Harus ada keberanian Pemerintah Papua dan Papua Barat, melihat kembali izin sektor perkebunan, kehutanan dan pertambangan yang berbasis lahan,” kata Benja Mambai, Direktur WWF Regional Papua juga Wakil Ketua Komisi Daerah untuk Perubahan Iklim dan Pembangunan Berkelanjutan (KOMD-PIPB) Papua.

Pemerintah juga harus mengevaluasi kembali kebijakan pengembangan sawit di Papua. Pengembangan produk unggulan lokal, katanya, harus jadi prioritas sebagaimana tercantum dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD).

Sementara itu, apaya-upaya pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan harus ditingkatkan, misal, dengan program ekowisata yang mulai berkembang di Papua.

“Kita harus menanamkan pemahaman, tidak selamanya menjaga hutan kita jadi miskin. Dengan menjaga hutan, kita mampu hidup lebih layak dibanding hidup dari kebun sawit.”

Suhu bumi saat ini mencapai satu derajat celsius. Jadi, katanya, perlu komitmen semua pihak menekan suhu di bawah 1,5 dearajat celisus. Caranya, antara lain, dengan mempertahankan tutupan hutan dan pakai energi bersih atau ramah lingkungan.

Benja bilang, para ilmuwan menyatakan, kalau suhu bumi mencapai 1,5 derajat celsius, akan sulit mengendalikan dampak. Bukan hanya warga seperti di Pesisir Skouw, yang terdampak, bencana alam, kelaparan hingga serangan penyakit akan melanda banyak tempat.

 

 

Keterangan foto utama:  Kubus Beton yang dipakai untuk menahan pantai hantaman dari hantaman Gelombang di Skouw Mabo. Foto: Asrida elisabeth/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version