Tidak Lagi Terbakar, Dua Desa Ini Kembangkan Wisata Sejarah dan Ekowisata

 

  • Berdasarkan pendataan Tim Restorasi Gambut [TRG] Sumatera Selatan, sebanyak 174 desa menjadi langganan karhutla [kebakaran hutan dan lahan]. Sejak peristiwa karhutla 2015 lalu, kini ada desa yang bebas kebakaran.
  • Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, sejumlah desa yang bebas karhutla tersebut, di antaranya adalah desa di Kabupaten Banyuasin: Upang Ceria dan Desa Gelebak Dalam.
  • Dua desa ini bebas karhutla karena selain masyarakatnya sadar, juga didukung teknologi pertanian mandiri, meskipun belum tersentuh program restorasi gambut yang dijalankan pemerintah.
  • Dua desa ini ingin kembangkan diri sebagai desa wisata sejarah dan ekowisata.

 

Berdasarkan pendataan Tim Restorasi Gambut [TRGD] Sumatera Selatan, tercatat sekitar 174 desa di Sumatera Selatan yang menjadi langganan kebakaran hutan dan lahan [karhutla]. Sejak peristiwa karhutla 2015, apakah ada desa yang kini bebas kebakaran?

Berdasarkan catatan dan pantauan Mongabay Indonesia, terdapat sejumlah desa yang mulai bebas kebakaran, baik di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Banyuasin, dan Musi Banyuasin. Dua desa yang berada di Kabupaten Banyuasin, contohnya.

“Sudah tiga tahun tidak ada lagi titik api di desa. Hampir setiap warga tidak lagi membakar rumput atau jerami di sawah dan kebunnya. Mereka menimbun atau menjadikannya pupuk,” kata Abdul Hamid, Kepala Desa Upang Ceria, Kecamatan Muara Telang, Kabupaten Banyuasin, kepada Mongabay Indonesia, awal September 2019.

“Ada sih beberapa warga membakar, tapi dengan cara sedikit demi sedikit, dan mereka tunggui,” jelasnya. “Desa kami belum terlibat dalam program restorasi gambut yang dijalankan pemerintah,” katanya.

Dijelaskan Abdul Hamid, desanya bebas kebakaran karena warga belajar dari peristiwa karhutla 2015. “Kebakaran itu membuat kami susah. Kabut asap membuat kami sakit dan kesulitan keluar desa. Kami disibukkan memadamkan api yang makan waktu dan tenaga,” katanya.

“Takut ditangkap aparat kepolisian atau tentara jika ketahuan membakar juga menjadi alasan warga tidak lagi melakukannya,” tambahnya.

Desa Upang Ceria yang lahannya sebagian besar rawa gambut luasnya mencapai 2.516 hektar, dengan penduduk 2.493 jiwa. Desa ini berada di tepi Sungai Musi, masuk kawasan muara Sungai Musi, yang mengalir ke Selat Bangka.

Baca: Karhutla Membara, Jangan Frustasi Hadapi Perusak Lingkungan

 

Seorang warga Desa Upang Ceria menunjukan udang satang yang didapanya di Sungai Demang Lebar Daun, anak Sungai Musi, yang akan dijadikan lokasi wisata sejarah dan ekowisata. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Hendri Sani, Kepala Desa Gelebak Dalam, Kecamatan Rambutan, Banyuasin, mengatakan, setelah 2015, desanya relatif bebas kebakaran. Memang beberapa hari lalu, ada warga yang membakar sisa kayu dari pembukaan kebunnya. Tapi saya dan warga buru-buru ke lokasi, memadamkannya, dan meminta dia jangan lagi membakar. “Desa kami belum ikut program restorasi gambut yang dijalankan pemerintah.”

Dijelaskan Hendri Sani, membakar sisa jerami dan rumput merupakan tradisi masyarakat selama ratusan tahun, baik bersawah maupun berkebun karet. Ada aturan cara membakar. Dibuat sekat bakar dan ditunggui.

“Tradisi ini harus kami tinggalkan karena mengganggu lingkungan. Dulu hutan lebat, yang membakar juga sedikit. Sekarang berbeda, juga dilarang pemerintah,” katanya kepada Mongabay Indonesia, 22 September 2019.

Kini berkat alat berat, eskavator, masyarakat tidak perlu lagi membakar sisa rumput, pohon, dan daun yang. “Cukup ditimbun ke lubang yang dibuat menggunakan eskavator. Alat tidak bayar, warga cukup membayar upah operator dan beli BBM,” jelasnya.

“Sebenarnya pertanian kita akan maju dan bebas kebakaran, jika petani dibantu teknologi dan ilmu pengetahuan. Makanya, saya bertekad membeli eskavator dengan cara kredit guna membantu warga. Kami lagi mengusahakan mesin pemotong padi,” kata Hendri.

Hendri juga menjelaskan desanya mendapat pembinaan dari Korem 044 Garuda Dempo terkait karhutla 2015. Kini selain bebas api, desanya pun melahirkan usaha berupa pengelolaan air mineral yang sumbernya dari air tanah, serta penggunaan bios 044 sebagai pengganti pupuk kimia di persawahan.

Jumlah warga Desa Gelebak Dalam sekitar 2.000 jiwa dengan luas sekitar 1.773 hektar. Selain permukiman, lahan tersebut dijadikan persawahan dan perkebunan karet, serta kebun campuran.

Baca: Koordinasi, Kunci Awal Cegah Terjadinya Karhutla

 

Mangrove tersisa di tepian Sungai Musi yang masih menjadi lokasi pencarian ikan warga Upang Ceria. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Tidak berbatasan dengan lahan negara

Berdasarkan pantauan Mongabay Indonesia, lokasi dua desa ini tidak berbatasan dengan lahan negara, baik hutan produksi atau kawasan konservasi. Sehingga, tidak ada warga desa yang merambah hutan atau lahan.

“Mungkin juga karena kondisi tersebut. Sebab, semua lahan di desa ini sebagian besar sudah dikelola dan berbatasan langsung dengan desa lain, tidak ada kawasan hutan di sekitar desa, sehingga tidak ada lokasi yang akan dirambah warga. Kan tidak mungkin merambah Sungai Musi,” kata Abdul Hamid.

“Setahu kami banyak kebakaran yang tidak dapat dikendalikan lagi, itu biasanya di kawasan hutan. Sebab pelakunya lari atau sembunyi karena lahan itu bukan miliknya,” ujarnya.

 

Mangrove tersisa di muara Sungai Demang Lebar Daun yang akan direstorasi dan dijadikan lokasi ekowisata yang dikelola Desa Upang Ceria. Tahun 2015, sebagian mangrove habis terbakar. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Jika lahan Desa Upang Ceria sebagian besar rawa gambut, sementara lahan Desa Gelebak Dalam sebagian dataran tinggi, dan sisanya rawa gambut yang sudah menjadi pesawahan, yang dikelola warga hampir dua ratus tahun. Sebagian kecil berupa gambut dangkal.

“Kebakaran di sini biasanya terjadi di persawahan dan lahan kebun karet yang diremajakan atau gambut dangkal yang ingin dimanfaatkan warga. Bukan untuk membakar untuk merambah hutan atau lahan milik negara. Tidak ada lagi lahan negara, kecuali bantaran Sungai Komering di dekat desa kami,” ujar Hendri Sani.

 

 

 

Ekowisata

Upang Ceria mewujudkan diri sebagai desa wisata sejarah dan ekowisata didukung Pemerintah Kabupaten Banyuasin. “Wisata ini akan kami pusatkan di Sungai Demang Lebar Daun dan Pulau Sekoci,” kata Abdul Hamid.

Daya tarik sejarahnya, jelasnya, Upang merupakan nama tempat di masa Kerajaan Sriwijaya yang masih bertahan sampai sekarang. “Dari sejumlah nama tempat yang disebut dalam prasasti milik Kerajaan Sriwijaya, nama tempat yang masih ada ya Upang ini. Nama Upang disebut sebagai ‘Muara Upang’ dalam Prasasti Kedukan Bukit, prasasti awal atau tertua milik Sriwijaya pada 682 Masehi.”

Berdasarkan penemuan benda-benda rumah tangga kuno, seperti keramik, yang dilakukan para arkeolog 1970-an, Upang diperkirakan merupakan pemukiman masyarakat Sriwijaya.

Posisi Upang tetap penting di masa Kesultanan Palembang. Masyarakatnya, selain nelayan, juga sebagai penjaga muara Sungai Musi. Jika ada peperangan, warga Upang yang pertama berhadapan dengan musuh. Posisi Upang sama seperti Sungsang yang posisinya juga di muara Sungai Musi.

“Legenda terkenal dari masa Kesultanan Palembang yakni Demang Lebar Daun dan Putri Kembang Dadar. Sungai Demang Lebar Daun yang dijadikan lokasi wisata ini merupakan permukiman tertua, tempat tinggalnya Demang Lebar Daun,” kata Abdul Hamid.

Ekowisata yang akan dikembangkan yakni kembali merestorasi pesisir Sungai Musi yang masuk wilayah desa dengan hutan mangrove. “Sebagian besar mangrove di sini sudah habis, sehingga akan dilakukan penanaman kembali yang didukung Pemerintah Kabupaten Banyuasin,” katanya.

 

Inilah sebagian lahan pertanian dan perkebunan Desa Gelebak Dalam yang dulunya sering terbakar. Kini tidak lagi. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Wisata yang bakal digarap Desa Gelebak Dalam juga terkait sejarah dan ekowisata.

Desa Gelebak Dalam merupakan satu-satunya permukiman kaum ningrat Kesultanan Palembang yang berada di luar Kota Palembang. Pembentukan permukiman awal disebut Sri Kuto Parung Priyayi pada 1795 yang dipimpin Depati Mamat.

Tahun 1907, permukiman Sri Kuto Parung Priyayi digabungkan dengan sejumlah dusun sekitar, yang kemudian berubah nama menjadi Desa Gelebak Dalam. Nama ini diambil dari potongan kayu dari pohon Gelebak yang terendam dalam sebuah rawa, sebagai permukiman baru. Sejak saat itu warga menjadi Marga Parung Priyayi yang dipimpin seorang pesirah.

Sebagai keturunan ningrat, sejumlah tradisi dan kuliner masyarakat Kesultanan Palembang masih ditemukan di desa ini, seperti adat pernikahan yang dimulai dari rasa hingga mungga atau resepsi. Ada upacara kematian seperti takziah selama tujuh hari, makan bersama atau sedulang setudung yang dilakukan pada Hari Raya Idul Fitri, Idul Adha, Maulid Nabi dan hari-hari besar Islam.

 

Anak-anak Desa Gelebak Dalam bermain di sawah. Dulunya desa ini bernama Sri Kuto Payung Priyayi, satu-satunya permukiman kaum ningrat di luar Palembang. Foto: Nopri Ismi/Mongabay Indonesia

 

Juga, adat yang melarang seorang lelaki menyentuh atau memeluk gadis, istri orang atau janda yang bukan istrinya. Jika dilanggar, akan mendapatkan sanksi adat, seperti diusir dari desa. Lalu adat seseorang memelihara hewan kaki empat, seperti kerbau, sapi, kambing. Jika hewan itu merusak sawah atau kebun, pemiliknya akan memberikan ganti rugi.

Kuliner peninggalan masa Kesultanan Palembang pun masih bertahan di Desa Gelebak Dalam, seperti ketupat mimpi, bubur merah putih, bubur kuduk, burgo, lakso, rangin, sagon, kue satu, engkak ketan, kue lapan jam, bolu selai, matsuba, bolu lapis, dan lainnya.

“Sementara ekowisata, kami menawarkan paket mancing dan bersawah. Kami ini salah satu desa sentra padi. Ikan di sini sangat melimpah pada musimnya. Selama ini banyak pemancing dari Palembang, mereka gratis. Ke depan, kami akan buat tiketnya biar ada pemasukan bagi desa dan masyarakat,” tegas Hendri Sani.

 

 

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , , , , ,