Mongabay.co.id

Bahaya Mikroplastik! Bukan Hanya Ikan, Manusia Juga Terpapar

 

 

Andreas Agus Kristanto Nugroho mengeluarkan sejumlah wadah kaca, ketika ditemui di kantor Ecoton [Ecological Observation and Wetlands Conservation], awal September. Wadah itu berisi sampel feses manusia yang akan diteliti kandungan mikroplastiknya. Isu mikroplastik lagi hangat diperbincangkan. Serpihan plastik berukuran kurang dari 5 milimeter itu nyatanya tidak hanya mencemari lingkungan, tapi juga mengancam makhluk hidup tak terkecuali manusia.

Total 40 feses [kotoran manusia] yang diteliti, dari target 100 sampel. Dengan bantuan kawan-kawan Navicula dan Koalisi Pulau Plastik, sampel-sampel itu diperoleh dari partisipan berbagai kota di Jawa dan Bali.

Hasilnya menunjukkan, tak satu pun sampel luput dari kontaminasi mikroplastik. Bentuknya bermacam, ada fragmen, filamen, fiber, dan granula. Dalam 10 gram feses, atau bila digambarkan setara dengan ukuran ibu jari, jumlahnya berkisar 2 hingga 15 partikel per milimeter.

“Mikroplastik berasal dari mana saja. Kosmetik, minuman atau makanan kemasan, cat, roda kendaraan, bahkan pakaian,” jelas Andreas, peneliti Ecoton.

Mikroplastik memiliki dua jenis, primer dan sekunder. Mikroplastik primer sengaja dibentuk industri untuk produk tertentu seperti kosmetik, pasta gigi, sabun, dan deterjen. Mikroplastik sekunder berasal dari plastik ukuran besar yang telah terdegradasi alam menjadi partikel lebih kecil. Keduanya berbahaya bila masuk tubuh.

Andreas menambahkan, selain penelitian mikroplastik dalam feses, saat ini sudah banyak riset untuk mengetahui nanoplastik dalam tubuh, yang lebih kecil dari mikroplastik. Nano langsung menembus peredaran darah manusia sembari melepaskan bahan pencemarannya.

“Nano begitu cepat masuk ke peredaran darah,” ujar Andreas.

Baca: Tidak Hanya Ganggu Kesehatan, Sampah Juga Merusak Lingkungan

 

Andreas Agus Kristanto Nugroho menunjukkan sampel feses manusia yang hendak diteliti kandungan mikroplastiknya. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Mikroplastik bersifat layaknya transporter, memiliki kecenderungan mengikat bahan-bahan lain seperti limbah, logam berat, deterjen, pestisida, dan racun.

“Ketika masuk tubuh, akan menyumbang chemical plastiknya sendiri, juga akan melepaskan penumpang-penumpang yang dibawa. Itu semua akan diserap tubuh, sementara fisik mikroplastik akan keluar melalui feses karena tidak tercerna,” terangnya.

Terkait maraknya bahan pengganti plastik yang terbuat dari singkong, Andreas berpendapat, justru lebih berbahaya karena mempercepat pembentukan mikroplastik. Komposisinya, singkong 30 persen, sedangkan 70 persen plastik.

“Risikonya akan lebih cepat hancur, iya. Tapi, mikroplastiknya lebih berbahaya karena gampang larut dan bentukannya tidak mudah terlihat,” paparnya.

Mengatasi persoalan bahaya plastik bagi tubuh manusia, Andreas mengatakan, hal paling memungkinkan adalah mengurangi penggunaan plastik jenis apapun. Saat ini, belum ada bahan pengganti plastik yang benar-benar 100 persen organik, aman bagi lingkungan dan makhluk hidup.

Baca juga: Jangan Lagi Buang Sampah Popok ke Sungai, Ini Dampaknya

 

Andreas menunjukkan kandungan mikroplastik dalam feses manusia setelah diproses laboratorium dan dilihat melalui mikroskop. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Ecoton telah melakukan penelitian kandungan mikroplastik pada lambung 132 ikan di Sungai Brantas, 2018 lalu. Berdasarkan riset tersebut, 80 persen lambung ikan mengandung mikroplastik. Akibatnya, ikan menjadi interseksual atau memiliki jenis kelamin tidak menentu karena adanya Endrocine-Disrupting Chemicals [EDC] yang mengganggu sistem hormon. EDC mengganggu pembuahan ikan yang berlangsung eksternal.

“Kalau di ikan ada mikroplastik, manusia ikut terpapar karena mengkonsuminya,” ujarnya.

Dilansir dari National Geographic Indonesia, penelitian kandungan mikroplastik pada manusia telah dilakukan di Austria. Para peneliti dari Environment Agency Austria dan Medical University of Vienna menganalisis sampel feses dari delapan partisipan negara, meliputi Italia, Jepang, Polandia, Belanda, Rusia, Inggris, Finlandia, dan Austria. Hasilnya, seluruh feses partisipan positif mengandung mikroplastik.

 

Petugas mengangkut sampah plastik dan popok dari drop point di kawasan Wringinanom, Gresik. Foto: Petrus Riski/Mongabay Indonesia

 

Masyarakat perlu diedukasi

Dosen Kesehatan Lingkungan, Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Negeri Malang, dr. Agung Kurniawan, M.Kes., mengatakan, adanya mikroplastik dalam feses manusia menunjukkan, benda ini sempat terkonsumsi namun berhasil dikeluarkan karena tubuh tidak menganggapnya sebagai zat berguna. Meski begitu, bukan tidak mungkin ada chemical yang terserap di usus halus dan masuk ke darah.

“Penelitian mikroplastik masih baru, sehingga tidak bisa langsung ditetapkan bisa menyebabkan penyakit apa pada manusia,” ungkapnya.

Menurut Agung, penelitian ini penting dikaji lebih lanjut karena mikroplastik terbuat dari senyawa-senyawa anorganik yang tidak selayaknya berada di dalam tubuh. Senyawa-tersebut dapat memicu kanker, degeneratif, atau gangguan pada sistem hormon.

“Kita harus menggencarkan kampanye, plastik itu memiliki risiko terhadap kesehatan. Sehingga orang-orang tergerak mengurangi penggunaannya, mengganti bahan lain yang lebih aman dipakai,” terang Agung.

Satriyo Hari Wibowo, mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Malang mengatakan, Badan Eksekutif Mahasiwa [BEM] akan segera mengadakan penyuluhan mikroplastik dalam waktu dekat. Sebab tidak dipungkiri, penggunaan plastik masih banyak dipakai masyarakat tanpa mengetahui risiko di baliknya.

“Hal kecil yang biasa disepelekan dalam keseharian harus disadarkan,” terangnya.

 

Hasil laboratorium yang menunjukkan adanya temuan partikel plastik dalam lambung ikan. Foto: Ecoton

 

Sosialisasi pengurangan pemakaian plastik juga dilakukan Komunitas Nol Sampah Surabaya. Menurut Hanie Ismail, aktivis Komunitas Nol Sampah Surabaya, diet kantong plastik atau plastik kemasan harus dimulai sejak dini, agar masyarakat terbiasa menggunakan tas maupun kantong yang ramah lingkungan.

“Memang sulit menguranginya kalau tidak ada gerakan bersama, antara pemerintah dan masyarakat. Minimal masyarakat mulai mengganti botol minum plastik dengan tempat minum yang bisa digunakan berulang,” terangnya baru-baru ini.

Hanie mendesak pemerintah turut serta mengurangi dampak plastik bagi lingkungan, melalui regulasi. Menurutnya, masih banyak industri dan tempat usaha yang menggunakan kantong plastik, sehingga masyarakat mau tidak mau tetap menggunakannya.

“Harus ada aturan tegas, sehingga masyarakat pelan-pelan beralih ke wadah ramah lingkungan,” pungkasnya.

 

*Calista Amalia Wiradara, Mahasiswa Universitas Brawijaya, Malang [Studi Media dan Komunikasi, FISIP]. Magang di Mongabay Indonesia, Juli – September 2019

 

 

Exit mobile version