Mongabay.co.id

Benarkah Regulasi Impor Ikan Masih Longgar?

 

Kasus penyalahgunaan wewenang impor yang dilakukan Perum Perindo, salah satu badan usaha milik Negara (BUMN), harus menjadi pelajaran penting bagi industri perikanan nasional. Kasus tersebut, menegaskan bahwa regulasi tentang impor ikan yang ada saat ini masih terlalu longgar dan liberal. Akibatnya, pelaku usaha impor mengabaikan perlindungan keamanan pangan untuk produsen dan konsumen di dalam negeri.

Destructive Fishing Watch (DWF) Indonesia menganalisa, salah satu penyebab melonggarnya aktivitas impor ikan, karena sampai saat ini regulasi tentang impor ikan yang ada di Indonesia memang masih belum efektif. Regulasi tersebut, adalah Peraturan Menteri Perdagangan No.23/2019 tentang Impor Hasil Perikanan.

Menurut Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan, regulasi yang dijadikan rujukan hukum bagi para importir itu dinilai memberikan peluang kepada para importir untuk mengabaikan perlindungan keamanan pangan bagi produsen dan konsumen ikan yang ada di dalam negeri. Padahal, perlindungan menjadi sangat penting, karena itu akan memberikan rasa aman dan nyaman.

“Selain itu, ketentuan tersebut juga mempermudah pelaksanaan impor dengan tidak lagi mewajibkan bukti kepemilikan sarana pendingin oleh importir. Kelonggaran ini menyebabkan konsumen ikan menjadi tidak terlindungi dengan masuknya ikan impor,” ungkapnya di Jakarta, akhir pekan lalu.

baca : Perlukah Ikan Dikirim dari Luar Negeri?

 

Potensi ikan yang melimpah di Indonesia, sudahkah dimanfaatkan secara benar? Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Padahal, sesuai dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.58/2018 tentang Rekomendasi Pemasukan Hasil Perikanan selain sebagai Bahan Baku dan Bahan Penolong Industri, perusahaan importir yang mengajukan kuota impor ikan wajib untuk memiliki rencana usaha selama satu tahun.

Di antara usaha yang dimaksud, adalah tentang kapasitas gudang penyimpanan, ketersediaan sarana pengangkutan, kapasitas terpasang, kebutuhan ikan, target produksi, pemasaran, dan lokasi rencana distribusi. Sementara, untuk penetapan jenis, volume, dan waktu pemasukan impor ikan, itu wajib memperhatikan kebutuhan, ketersediaan pasokan atau produksi ikan dari hasil penangkapan atau budi daya.

 

Regulasi Longgar

Fakta tersebut, menurut Abdi, menjelaskan bahwa Pemerintah masih terlalu baik kepada para importir ikan. Itu bisa dilihat dari regulasi Permendag 23/2019 yang dinilai masih terlalu liberal, longgar, dan tidak melindungi konsumen ikan dalam negeri. Semua itu bisa terjadi, karena salah satunya, ketertelusuran dan penelusuran teknis ikan asal negara tidak lagi menjadi syarat impor.

“Hal ini kontradiksi dengan upaya dunia internasional yang terus meningkatkan standar keamanan hasil perikanan. Di saat Eropa dan Amerika memperketat verifikasi dan ketertelusuran ikan asal Indonesia, kita justru mempermudah masuknya impor ikan. Ini ironi,” tegasnya.

Dengan munculnya kemudahan dan kelonggaran tersebut, Abdi mengaku khawatir jika produk hasil perikanan yang memasuki pasar Indonesia melalui jalur impor tidak akan lagi memiliki sertifikat kesehatan ikan atau produk olahan. Sementara, di saat yang sama, Pemerintah juga memberikan kelonggaran kepada para importir ikan untuk tidak lagi mensyaratkan bukti penguasaan lemari pendingin (cold storage) dan bukti penguasaan alat transportasi berpendingin.

“Kelonggaran ini menyebabkan pihak manapun berpotensi melakukan impor bahkan ketika mereka tidak memiliki cold storage,” tuturnya.

Kelonggaran-kelonggaran itu akan memicu terjadinya penyelewangan izin impor, karena hanya mereka yang memiliki akses kepada Pemerintah saja yang bisa mendapatkan izin. Pada akhirnya, impor ikan akan menjadi ajang perburuan rente oleh para pelaku usaha.

baca juga : Impor Ikan Adalah Ironi untuk Indonesia, Negeri Kaya di Laut

 

Suasana pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada November 2016. Foto : Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Agar praktik seperti itu tidak akan muncul lagi di kemudian hari, DFW Indonesia meminta Pemerintah segera memberikan sanksi tegas dengan membekukan persetujuan impor kepada Perum Perindo. Dengan kata lain, izin impor ikan untuk Perindo harus segera dicabut oleh Kementerian Perdagangan.

Penghentian izin impor itu, menurut Abdi sesuai ketentuan pasal 18 ayat b Permendag 23/2019. Pembekuan izin harus dilakukan, karena Perindo saat ini sedang dalam proses penyidikan atas dugaan tindak pidana.

“Pemerintah perlu secara tegas menegakan aturan dan memberikan pembelajaran kepada pelaku impor hasil perikanan, termasuk BUMN jika terindikasi menyalahgunakan persetujuan impor,” pungkas dia.

Di sisi lain, dalam analisa Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), dugaan tindak pidana yang dilakukan Perum Perindo menjelaskan bahwa korupsi pada sektor kelautan dan perikanan selama ini sudah ada dan banyak, hanya tidak terlihat saja. Kasus Perindo tersebut, menjadi satu dari sekian banyak kasus korupsi yang terjadi di sektor tersebut.

 

Mega Korupsi

Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menjelaskan, selain pada kasus impor ikan yang dilakukan Perindo, korupsi juga berpeluang terjadi pada praktik usaha lain di sektor kelautan dan perikanan. Contohnya, adalah proyek reklamasi di Teluk Jakarta yang menjadi mega proyek bagi Pemprov DKI Jakarta.

Untuk itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai perlu untuk mengembangkan penyelidikan pada kasus korupsi lain yang ada pada sektor kelautan dan perikanan. Terutama, berkaitan dengan peraturan daerah (Perda) tentang rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang sudah ada di 22 provinsi.

“Di dalam Perda Zonasi, kebijakan pembagian ruang di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sangat bias kepentingan bisnis,” tuturnya.

perlu dibaca : KNTI: Impor Ikan adalah Kejanggalan Sistematis. Kenapa?  

 

Ikan dalam kemasan yang tahan lama untuk dikonsumsi. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Untuk kasus korupsi Teluk Jakarta, Susan menjabarkan, dari penyelidikan yang dilakukan KPK pada 2016 lalu, tercatat hanya Direktur Utama PT Agung Podomoro Land Tbk saja yang berhasil ditahan KPK. Namun, setelah menahan Ariesman Widjaja, KPK saat itu tidak melanjutkan penyelidikannya terhadap korupsi pada proyek reklamasi tersebut.

Selain Teluk Jakarta, korupsi juga terjadi pada proyek yang sama di Provinsi Kepulauan Riau. Di sana, Gubernur Kepri Nurdin Basirun disebutkan menerima suap sebesar SGD11.000 dan Rp45 juta untuk memuluskan izin reklamasi di Tanjung Piayu, Kota Batam berkaitan dengan pembangunan resor dan kawasan wisata seluas 10,2 hektare.

“Pusat Data dan Informasi KIARA 2019 mencatat, hari ini ada lebih dari 40 proyek reklamasi di Indonesia. KPK semestinya turun menyelidiki penuh proses pemberian izin proyek reklamasi yang sangat kuat kepentingan bisnis pengembang di dalamnya,” katanya.

Tak hanya mendorong untuk menyelidiki Perda RZWP3K dan kasus reklamasi, KIARA juga meminta KPK untuk menyelidiki pemberian kuota impor garam. Hal itu, karena setiap tahun pemberian izin kuota impor selalu ada dan mengalami peningkatan.

Lebih tegas, Susan juga menyebut kalau pemberantasan korupsi di sektor kelautan dan perikanan harus menjadi agenda penting di masa mendatang. Namun dia mengakui, agenda tersebut juga dipastikan mendapatkan tantangan hebat menyusul disahkannya revisi Undang-Undang No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Korupsi.

“Revisi terbukti melemahkan lembaga anti korupsi ini,” sebutnya.

Adapun, pelemahan dalam RUU KPK itu, menurut Susan, ada beberapa hal yang menjadi catatan. Yaitu, KPK diletakkan sebagai lembaga negara di rumpun eksekutif; dan Pegawai KPK merupakan aparatur sipil negara (ASN), sehingga ada resiko independensi terhadap pengangkatan, pergeseran dan mutasi pegawai saat menjalankan tugasnya.

Kemudian, pelemahan lain, adalah bahwa Dewan Pengawas lebih berkuasa dari pada Pimpinan KPK, namun syarat menjadi Pimpinan KPK lebih berat dibanding Dewan Pengawas; kewenangan Dewan Pengawas masuk pada teknis penanganan perkara; dan operasi tangkap tangan (OTT) menjadi lebih sulit dilakukan karena lebih rumitnya pengajuan Penyadapan dan aturan lain yang ada di UU KPK.

 

Aktivitas pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Sadeng, Gunung Kidul, Yogyakarta pada awal Desember 2015. Foto : Jay Fajar

 

Exit mobile version