Mongabay.co.id

Kemarau, Bekas Perkampungan Muncul di Waduk Gajah Mungkur

Bekas perkampungan di waduk Gajah Mungkur jadi lokasi wisata. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

Terik mentari siang tak menghalangi Warni dan Katini menyiangi lahan garapann di waduk Gajah Mungkur. Kala banyak orang saat kemarau berharap hujan segera turun, tidak bagi mereka. Musim hujan justru mengancam kedelai dan jagung yang baru sekitar satu bulan lalu ditanam. Waduk segera terisi dan lahan garapan mereka akan tenggelam.

Warni penduduk desa Sendang, Kecamatan Wonogiri, sedang Katini dari Desa Kembang, Kecamatan Jatipurno. Mereka baru kali ini ikut menanam di Waduk Gajah Mungkur.

“Saya hanya ikut-ikutan. Siapa tahu masih bisa panen sebelum musim hujan tiba,” kata Warni. “Kalau hujan turun dan gagal panen itu jadi risiko kami,” timpal Katini.

Mereka tidak perlu izin menanami bagian dasar waduk yang mengering. Juga tak perlu membayar uang sewa. Namun tidak berarti mereka tak mengeluarkan biaya sama sekali untuk tanaman ini. Agar tanaman tumbuh baik, selain pupuk juga perlu air. Berarti mereka harus menyediakan pupuk dan menyewa pompa. Ada beberapa orang di sekitar waduk yang menyewakan pompa air untuk petani.

Tak jauh dari mereka teronggok bangkai sampan di tengah lahan. Dekat bibir waduk, ada dermaga yang terlihat seperti menggantung di atas tanaman jagung. Air waduk surut membuat dermaga itu kering, tak bisa didekati perahu maupun kapal motor.

Lahan yang bisa mereka garap tak luas. Apalagi kalau di lereng bagian atas dan kanan kiri sudah ditanami penggarap lain.

Sak candhake,” katanya, Sabtu, (21/9/19), saat ditanya seberapa luas lahan garapan.

Maksudnya, mereka kerjakan seluas yang mereka bisa. Lagi pula, kalau terlalu luas, berarti makin menjorok ke tepi waduk yang berair, dan berarti makin besar risiko terendam air waduk.

Ada banyak petani penggarap lahan Waduk Gajah Mungkur seperti Katini. Setidaknya, ada 6.000 hektar daerah pasang surut, yang digunakan warga untuk pertanian sekitar 800 hektar. Air waduk surut menjadi berkah bagi petani penggarap seperti mereka.

 

Dermaga yang seolah menggantung di atas ladang jagung akibat waduk yang surut airnya. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

 

Bekas perkampungan muncul

Surutnya air juga menjadi berkah buat Samar, warga Melikan, Nguntoronandi. Akhir-akhir ini dia kerap mengantar orang yang ingin mengunjungi bekas perkampungan yang muncul kembali karena Waduk Gajah Mungkur, mengering.

Berkurangnya air waduk yang memunculkan bekas perkampungan itu bukan kali ini saja terjadi. Begitu pula tahun-tahun sebelumnya. Seiring marak swafoto yang diunggah ke media sosial, bekas perkampungan di Waduk Gajah Mungkur makin terkenal dari tahun ke tahun.

Samar mengantar saya ke Betal Lawas, melewati Jalan Wonogiri-Pacitan, Nguntoronadi, lalu berbelok ke kiri. Setelah melewati jalan beton kampung, akhirnya menyusuri jalan tanah berliku.

“Tadi batas waduk dan perkampungan. Di sini, tergenang air semua. Biasa hujan sehari saja jalan ini sudah tidak bisa dilewati.”

Kami pun menerobos semak dan perdu setinggi hampir dua meter. Seolah-olah memasuki labirin. Pandangan ke waduk terhalang pohon-pohon ini. Beberapa kali kami berpapasan dengan anak-anak muda bersepeda motor.

“Mereka baru saja pulang dari Betal Lawas,” kata Samar.

Sebelum tenggelam, Betal cukup strategis. Di sini dulu ada persimpangan yang menghubungkan empat kecamatan yaitu Wonogiri di sebelah utara, Wuryantoro di sebelah barat, Baturetno di sebelah selatan dan Tirtomoyo di sebelah timur. Kecamatan Nguntoronadi sendiri memiliki lahan pasang surut terluas di Waduk Gajah Mungkur.

Saat berpasasan dengan mereka, Samar harus memperlambat laju sepeda motor karena jalan hanya cukup dilewati dua motor.

Setelah menembus perdu, kami melewati ladang jagung dan sawah di kanan kiri jalan. Akhirnya, kami sampai di sebuah pertigaan yang terdapat warung kopi di sana.

“Ini dulu pertigaan yang ramai. Pusat keramaian Betal sebelum terendam. Ada kantor kecamatan, kantor polisi, sekolah.”

 

Bekas sumur di bekas perkampungan Waduk Gajah Mungkur. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Selepas pertigaan, ada jalan lebih lebar. Aspal jalan tersingkap, bercampur lumpur yang mengering. Di ujung jalan, terlihat kerumunan anak-anak muda. Ada juga satu dua penjual makanan dan minuman. Sebuah kotak sumbangan diletakkan persis di tengah jalan. Gapura ala kadarnya dari bambu seperti menjadi pintu gerbang masuk ke reruntuhan bekas sebuah kota.

Ada bekas sumur tak jauh dari sana. Juga dinding kamar mandi terbuat dari batu. Bangunan itu bisa dipastikan bekas kamar mandi atau dapur karena ada lubang tempat mengalirkan air yang ditimba dari sumur, seperti biasa ditemukan di desa-desa di Jawa. Dinding rumah sendiri sudah tak berbekas.

Di lokasi sama setidaknya terlihat ada lima bekas sumur, yang bisa dikenali dari bangunan melingkar terbuat dari batu setinggi sekitar setengah meter. Beberapa bekas rumah juga masih bisa dikenali dari pondasi yang tersingkap. Terlihat pula beberapa tanaman kelapa yang menyisakan akar dan sedikit batang sekitar 30 sentimeter.

Banyak pengunjung memanfaatkan bekas bangunan itu untuk latar belakang swafoto. Menurut Samar, waktu pagi dan sore tempat itu ramai pengunjung. Mereka biasa sekalian menikmati pesona matahari terbit dan tenggelam di Waduk Gajah Mungkur. Cahaya jingga di langit yang memantul di air waduk sangat indah.

Saat air menyusut, Betal Lawas menjadi obyek wisata dadakan. Ada saja kegiatan di lokasi itu. Seperti akhir September ini, diadakan festival layang-layang. Tahun lalu, ada yang mempertemukan warga Betal Lawas sembari mengenang bekas perkampungan yang pernah mereka huni.

 

Waduk Gajah Mungkur dengan volume air berkurang drastis. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

 

Mengering

Bukan hanya Gajah Mungkur, kemarau panjang telah menyebabkan volume air beberapa waduk di Jawa Tengah, alami penurunan. Bahkan beberapa terjadi kekosongan.

Kepala Dinas Pekerjaan Umum Sumber Daya Air dan Penataan Ruang Jawa Tengah, Eko Yunianto, menyebutkan, ada enam waduk kosong.

Waduk-waduk itu adalah Tempuran, Simo, Kedung Uling, Ngancat, Kembangan, dan Botok. Menurut dia, pemakaian air waduk harus seefisien mungkin, misal, dengan pemanfaatan intermiten atau bertahap.

“Patuh terhadap lengkung operasi waduk. Patuh terhadap pola dan tata tanam,” katanya saat dihubungi Mongabay, Sabtu, (28/9/19).

Lengkung operasi waduk adalah grafis batas sebuah waduk dioperasikan yang menunjuk pada kapasitas dan pemanfaatan air. Sementara pola dan tata tanaman bersangkutan dengan waktu dan jenis tanaman yang dibudidayakan. Selain itu, juga patroli dan kawal air, serta memaksimalkan koordinasi antarlembaga.

Terkait kemunculan kembali bekas perkampungan di Waduk Gajah Mungkur, kata Eko, menggambarkan situasi musim ekstrem yang sedang dihadapi.

“Paling tidak memberikan ilustrasi bahwa saat ini kemarau panjang, yang ditandai turunnya elevasi air waduk yang seharusnya berada di elevasi 132,20. Saat ini, tercatat pada elevasi 127,96 pada minggu pertama September.”

Menurut dia, pengelolaan sumber daya air harus mencerminkan apa yang disebut one river, one plan, one integrated management dan ada keseimbangan pengelolaan hulu, tengah, dan hilir karena saling berhubungan.

Proyek waduk serba guna yang dibangun pada masa Orde Baru ini menenggelamkan 51 desa di tujuh kecamatan, yaitu, Wonogiri, Nguntoronadi, Ngadirojo, Baturetno, Giriwoyo, Wuryantoro, dan Eromoko. Hampir 70.000 jiwa harus pindah dari tempat itu. Sebagian besar menjadi transmigran ke Sumatera.

Pada 1976 berangkatkanlah rombongan pertama warga untuk transmigrasi ke Sitiung (Sumatera Barat). Ada yang ditempatkan di Jujuhan, Rimbo Bujang, Pemenang, Alai Ilir (Jambi), Sebelat, Ketahun, Air Lais, Ipuh (Bengkulu), dan Baturaja, Pangga (Sumatera Selatan).

Proses bedhol desa ini tidak berjalan mulus. Sebagian kukuh menolak pindah, antara lain karena pemerintah dinilai tidak memberikan ganti rugi layak dan tak ada jaminan akan mendapat kehidupan lebih baik di tempat baru.

Pada 1980, seluruh penduduk pindah meninggalkan tanah kelahiran. Suharto pun meresmikan Waduk Gajah Mungkur pada 17 November 1981.

Waduk Gajah Mungkur ditopang air dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Keduang, Temon, Bengawan Solo Hulu, Unggahan, Tirtomoyo, dan Alang. Waduk mempunyai fungsi sarana pengendali banjir, pembanghkit listrik tenaga air, memasok air baku, perikanan, dan pariwisata.

Waduk Gajah Mungkur yang awalnya diharapkan bisa bertahan 100 tahun dihadapkan pada persoalan laju sedimentasi cukup tinggi. Sumber sedimentasi terbesar berasal dari DAS Keduang, di sekitar Wonogiri.

Laju sedimentasi di Gajah Mungkur mencapai 4,6 juta meter kubik per tahun menurut data Dinas Pekerjaan Umum 2013. Eko membenarkan, laju sedimentasi Waduk Gajah Mungkur cenderung membesar dari tahun ke tahun. Untuk itu, perlu menjadi perhatian berbagai pihak.

“Laju sedimentasi dan kontinyuitas debit air yang masuk bersama inflow waduk harus menjadi perhatian kita bersama. Secara umum, Indeks Regim Sungai atau perbandingan antara debit maksimal dengan debit minimal kecenderungan makin besar, bahkan tak terhingga,” katanya.

Kalau itu dibiarkan terus menerus, daya tampung Waduk Gajah Mungkur akan makin menurun dan fungsi utama waduk tak tercapai.

 

Keterangan foto utama:    Bekas perkampungan di waduk Gajah Mungkur jadi lokasi wisata. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia

Katini, petani di Gajah Mungkur, kala waduk kering. Foto: Nuswantoro/ Mongabay Indonesia
Exit mobile version