Mongabay.co.id

Nasib Orang Bunggu, Sawit Datang, Hutan dan Sagu Hilang

Akses jalan ke Desa pakawa, melalui kebun sawit perusahaan. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

“Di sana dulu hutan!” kata Mei. Dia menunjuk segala arah.

“Tapi sekarang sudah milik perusahaan sawit.”

Pria 52 tahun ini lahir dan beranjak dewasa di Kampung Sampoa. Dia , seorang komunitas adat Bunggu. Mei, salah satu warga yang tersingkir dampak ekspansi kebun sawit di tanah Bunggu.

Mei, terpaksa merelakan kuburan ayah dan ibunya jadi tanah lapang yang kini ditumbuhi sawit.

Kini, dia tinggal di Dusun Bamba Apu, Desa Pakawa, Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat (Sulbar), bersama para perantau dan orang-orang Bunggu lain. Dia jadi kepala adat di Dusun Bamba Apu.

Serupa dialami Burhan. Dia lahir dan besar di Kampung Saloraya. Darah keturunan Bunggu mengalir di tubuh lelaki 48 tahun ini. Dia punya garis keluarga dengan Mei.

Dia cerita kala perusahaan sawit masuk ke tanah leluhu mereka. Nadanya agak tinggi. Dia tak mampu menyembunyikan rasa kesal terhadap PT Pasangkayu, anak usaha PT Astra Agro Lestari (AAL) yang menggusur kebun miliknya.

“Kayak ayam berkeok-keok betul kita dibikin perusahaan (sawit),” katanya kesal.

 

Mei, Kepala Adat Dusun Bamba Apu. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

***

Pasangkayu, satu kabupaten di Sulawesi Sulbar, jadikan sawit sebagai ikon daerah. Kabupaten ini berbatasan Sulawesi Tengah (Sulteng) dan Sulawesi Selatan (Sulsel). Sawit tumbuh di dataran rendah hingga pegunungan. Bahkan, jadi tanaman hias di halaman Kantor Kepolisian Resort (Polres) Pasangkayu.

Sebelum ada sawit masuk, belantara hutan Pasangkayu, telah hidup komunitas adat, bersuku Inde (sub Suku Kaili). Mereka menamai diri, To ri Bunggu atau orang Gunung.

Bunggu dan hutan berkait-kelindan sejak lama. Mereka berburu-mengumpul, berkebun nomaden, bangun kampung dan mendiami rumah pohon hingga 1990. Semua kehidupan ini di hutan.

Kebiasaan nomaden, membuat daerah yang dikuasai Bunggu, amat luas. Jejak mereka sampai ke Kabupaten Donggala, hingga Martajaya, kampung transmigran di Pasangkayu.

Meski luas, mereka urung menerapkan kekuasaan sentralistik. Tetua adat di masing-masing kampung dipercaya pegang kendali mengurus penjatahan tanah adat, hingga berperan sebagai pengadil adat.

To Bunggu, tak asal menggarap lahan. Urusan tanah diatur ketat secara adat. Kalau serobot tanah bertuan, bakal diganjar sanksi atau disebut pegivu. Tebusannya, bernilai jutaan rupiah dalam bentuk dula: piring tembaga atau keramik.

“Tapi dulu itu sengketa tanah tak ada. Semua dibagi secara mufakat. Tidak kayak sekarang ini,” kata Mei, Kepala Adat untuk Dusun Bamba Apu.

Saya datang di Desa Pakawa, 21 Agustus lalu. Puluhan tahun lalu, desa ini adalah hutan.

Kini, hutan adat kini tinggal ingatan. Pada 1991, AAL menyasar hutan tempat hidup masyarakat Bunggu.

Dengan bala Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI)—kini terpecah jadi TNI dan Polri— kampung, kuburan, gereja, dan kebun kena gusur. Hutan pun jadi kebun.

Di bawah ancaman senjata, orang Bunggu berlari ketakutan. Beberapa desa-kecuali Pakawa—seketika bak kampung hantu, ditinggal pergi penduduk. Mereka sembunyi dan mendirikan hunian sementara di kampung yang tak tergusur di Gunung Morokepi.

Mei bilang, bukan mereka tak mau melawan saat itu. Hanya, pedang, sumpit, tombak, dan kepalan tangan, tak ada guna melawan selongsong peluru tajam. “Kita ini, kalau sudah lihat senjata sudah takut. Kalau sudah baju hitam itu, berarti polisi (brimob). Terpaksa kita lari saja,” kata Mei.

“Apalagi dulu, kita belum tahu Bahasa Indonesia. Biar kita bilang apa, mereka mana tahu. Kita mau melawan, perusahaan balik kita ‘mana surat-suratmu?’ sementara kita ini mana ada.”

 

Hutan tersisa di Desa Pakawa. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Kala sudah merasa aman, medio 1993, Mei dan para Bunggu lain kembali dan bangun ulang pemukiman di Desa Pakawa. Tahun-tahun berikutnya, kehidupan mereka berangsur pulih.

Di sisa lahan produktif, mereka kembali bercocok tanam. Para Bunggu membudidayakan tanaman berjangka pendek hingga kakao, satu komoditi yang laris di pasaran saat itu.

Konflik tanah kembali terjadi beberapa tahun kemudian. Lagi-lagi, dengan ABRI, kebun milik warga dirampas, antara lain, kebun kakao milik Burhan.

“Tiba-tiba datang, tebang. Kena coklat, kena padi kita. Sudah dia ambil semua. Katanya sudah HGU (hak guna usaha-red),” kata Burhan.

Kini, komunitas adat Bunggu menyebar di 10 dusun di Desa Pakawa. Ia jadi desa cagar budaya, menurut Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Mamuju Utara (Matra) Nomor 1/2014 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2014-2034. Desa inilah yang dipertahankan warga hingga kini.

Bunggu lain menetap di Desa Bambara, Gunungsari, Sarjo, Polewali, Martajaya dan Desa Ngovi, Sulteng.

Mereka tak lagi membangun rumah di pohon. Pola hidup berubah, dari perkakas hingga alat transportasi. Sebagian dari mereka mulai bekerja selain petani. Ada yang jadi guru dan pekerjaan keras lain macam tukang bangunan hingga menggeluti aktivitas niaga.

Sementara, keluarga rumpun mereka, Binggi, masih memilih tinggal di hutan belantara hingga sekarang. Tak ada yang tahu pasti kondisi kehidupan para Binggi.

Warga pun hidup dalam kekhawatiran karena rumah dan lahan belum ada kejelasan hak. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 Sagu, pangan yang hilang

Sagu ape, sagu lala, kayurano, tatarifoyo, jokotendo, tiolu, gapantongo, pomalei, tonggarafa, kumbili, bululonjo, sipoku, sibuntu, sagu karampabinua…” sebut Burhan, seraya mengingat.

“Ada lagi, om?” tanya saya.

“Banyak sekali, tapi lupa,” kata Burhan.

Burhan berusaha mengingat petak-petak lahan sagu yang sengaja diberi nama sebagai tanda. Luas berhektar-hektar, jumlah tanaman sagu pun tak terhitung lagi. Kini, semua itu tak ada, berganti sawit.

Burhan bilang, sagu, bagi Bunggu punya peran penting bila padi belum panen atau sedang masa paceklik. Bisa jadi selingan pangan utama dan mengentas kelaparan penduduk kampung.

Kini, sagu bakar bikinan para ina atau ibu mulai jarang. Seiring waktu, beras yang dibeli di pasar menggantikan peran sagu. Burhan sampai lupa rasa sagu buatan sang almarhumah ibunya.

Aeh! Semuanya, tidak ada yang tinggal! Tidak ada!” kata Burhan, tampak kesal.

 

“Saya rindu suara burung…”

Seorang pria tengah menikmati sore hari di depan rumahnya. Dia mengamati tingkah anak kecil tengah bermain. Sesekali dia tersenyum. Depan rumah lelaki ini Sekolah Dasar Kristen Bala Keselamatan, Desa Pakawa, di Dusun Kumu.

“Selamat sore,” sapa dia, dengan suara sesak.

Ima, begitu nama pria berusia 61 tahun ini. Dia keturunan Bunggu. Kini, Ima hidup bersama empak anak dan lima cucunya, sepeninggalan sang istri.

Ima didapuk sebagai pemimpin adat Dusun Kumu sejak 2016, menggantikan abangnya yang mangkat.

Ima berusia 33 tahun saat AAL merebut hutan Bunggu. Dia masih ingat, kala berlari ke sana ke mari di hutan, bangun dan tidur di hutan, dan beranjak dewasa di tengah hutan.

“Saya rindu sekali,” katanya.

“Apa yang paling dirindu, pak?” tanya saya.

“Berburu.”

Sariah, menyelang suaminya, Mei, saat bercerita romansa di hutan. Dua mata membelalak, warna merah pinang di gigi dan bibir tampak saat tertawa kecil. “Saya rindu suara burung.”

“Dia teman kita kalau di hutan,” kata Mei.

Selepas hutan adat mereka hilang, ritus adat persembahan terhadap Fiata, sang leluhur hutan masih dilakukan. Kala menyambut musim tanam, mereka menggelar ritual dengan cara melepas sesajen.

Begitu pula bila masa panen. Tiap Juni, komunitas Bunggu bakal menggelar ritual pesta panen di Bantaya, rumah adat, yang jadi tempat pertemuan. Pesta itu berlangsung empat hari tanpa jeda.

Vayo, orang Bunggu yang lain, punya cara sendiri melepas kerinduan pada hutan. Dia sengaja bangun rumah tinggi, khas Bunggu di tengah kebun sawit miliknya.

Vayo hingga kini melajang. Dari tangannya, baju adat yang berbahan kulit kayu tercipta. Meski, sebenarnya dia punya rumah panggung depan kediaman Mei.

“Sekarang susah cari pohon itu lagi. Itu kenapa saya tanam pohonnya. Itu sana,” tunjuk Vayo.

Rumah itu punya empat pancang tinggi lima meter, terbuat dari batang pohon utuh. Struktur bangunan diikat rotan. Guna menghalau terik matahari, tumpukan daun rotan ditata sebagai atap. Sedang lantai, Vayo menyusun batang-batang pohon, lalu dialasi pelepah kayu. Agar dapat naik ke atas, kami mesti menapaki sebatang pohon yang telah dipahat menyerupai tangga.

Jelang petang, di rumah tinggi itu, kami berbincang hingga langit gelap. Sejuk, tenang, dan asri.

Vayo ketawa, mendengar pertanyaan, “enak mana, hutan atau kebun sawit?” Dia senggol lengan saya. “Enak hutan. Sekarang banyak nyamuk malaria. Dulu itu, waktu masih di hutan, memang banyak nyamuk, besar-besar, tapi kita ini tidak kena malaria,” katanya.

Seingat Vayo, penduduk kampung yang meninggal dunia karena malaria sekitar tiga orang.

 

Tugu Desa Pakawa. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

Desa Pakawa, benteng akhir generasi Bunggu

Sejak kebun sawit PT. Pasangkayu beroperasi, orang Bunggu dan warga Desa Pakawa menyangka, usai sudah ekspansi lahan perusahaan. Demi mengamankan lahan, sebagian warga mulai mengajukan penerbitan sertifikat hak milik (SHM) atas rumah dan lahan. Kanwil Badan Pertanahan Negara (BPN) Kabupaten Mamuju Utara–sebelum berganti Kabupaten Pasangkayu– saat itu mengabulkan. Hasilnya, beberapa warga punya kepemilikan tanah.

Warga yang mengajukan penerbitan SHM, pada 2017 ke atas tidak bernasib sama. Musababnya, lahan mereka sudah tersedot HGU PT. Pasangkayu.

“Orang pertanahan bilang sudah tidak bisa,” kata Ardiansyah, warga pendatang Desa Pakawa.

Peta Bidang Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)–BPN, menunjukkan, Desa Pakawa tepat berada dalam HGU sawit, sisi utara. Dalam peta tampak, hak milik tertindih dengan peta HGU yang berwarna kuning. (Peta HGU dan hak milik dapat diakses di sini).

Warga pun gusar, memikirkan kelanjutan nasib mereka.

“Punyanya sekarang perusahaan, tapi menurut kita tetap kita yang punya, karena tanah adat kita. Dari dulu, turun temurun. Dari nenek-nenek moyang kita sampai kita ini yang sering digusur-gusur,” kata Mei.

Enam dusun, sedikitnya tersedot HGU, yakni, Dusun Moi, Tanga-tanga, Bamba Apu, Kumu, Lala, dan Dusun Putimata. Tiga lainnya, dalam hutan lindung (HL). Hanya Dusun Saloapo, bernasib mujur.

Warga adat atau masyarakat lokal sekitar hutan lindung, sebenarnya dapat mengelola hutan itu lewat model hutan adat. Namun, Perda pengakuan masyarakat hukum adat—yang jadi syarat pengajuan—hingga kini belum ada.

“Terancam kita ini. Kita mau ke hutan, tapi sudah hutan lindung. Mau ke mana kita ini? kata Burhan.

Mereka bukan tak melawan, mulai 2003 masyarakat Bunggu mengorganisir diri dan melakukan sejumlah protes ke pemerintah kabupaten dan perusahaan. Mereka layangkan tuntutan, minta kembali tanah adat.

Pada 5 November 2003, mereka inventarisir kerugian material dari dampak kebun sawit dan dikuatkan dengan temuan pemerintah setempat tahun berikutnya. Dokumen ini jadi pegangan mereka.

Medio 2004, Kepala Kanwil BPN Sulsel mengklaim, 1.263,50 hektar dari 9.319 hektar luas HGU PT Pasangkayu (GS/SU Nomor 31/1994) terindikasi bermasalah, lewat surat Nomor 500-629-53, tertanggal 7 Juni 2004. Juga surat Bupati Matra–sebelum Pasangkayu—Nomor 593.7/130/IV/2004, terbit empat hari berselang.

Dari kedua surat itu, areal kebun sawit yang terbagi beberapa afdeling di atasnya tumbuh pohon cokelat, jeruk, tanaman pelangi, sagu, pisang, dan kelapa milik warga Bunggu.

Bagaimana hasilnya?

“Tidak tahu, sekarang bagaimana kabarnya,” kata Mei. “Makanya kita ini tidak bisa tidur, perjuangkan hak kita. Tanah adat kita. Bagaimana pun caranya.”

Saya coba konfirmasi soal konflik ini ke perusahaan. Hingga, 22 September 2019, PT Astra Agro Lestari, enggan menjawab beberapa pertanyaan yang saya ajukan sejak 5 September 2019. Manager External Relation AAL, Mohamad Husni mengatakan, tengah mengurusi penanganan kebakaran hutan dan lahan (karhutla).

“Mohon maaf belum bisa respon,” katanya via WhatsApp, Jumat, (13/9/19).

Pemerintah provinsi juga belum memberi respon terkait konflik ini. Bunggu masih berjuang sendiri.

“Kita ini tidak karang-karang. Karena ini memang tanah adat kita. Kita siap bersumpah, apapun,” kata Mei.

 

Keterangan foto utama:    Akses jalan ke Desa pakawa, melalui kebun sawit perusahaan. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

Kepala Adat Dusun Kumu, Ima. Foto: Agus Mawan/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version